Thursday, January 15, 2015

Melihat Dinamika Poso Suatu Ketika

Ini adalah salah satu bagian dari sebuah laporan riset penganggaran partisipatif yang pernah saya kerjakan di Perkumpulan Demos tahun 2010, di bawah supervisi Dr. Daniel Dhakidae. Saya mengerjakan laporan ini dan berkunjung ke Poso awal tahun 2010. Poso saat itu ibarat sedang cooling down dari masalah terorisme. Dalam wawancara saya di lapangan saya mendapat informasi bahwa Bupati Piet menggelontorkan sejumlah dana bantuan sosial kepada mereka yang sering bertikai. Saya tidak tahu apakah alokasi anggaran ini punya relasi kuat dengan intensitas konflik di Poso yang kembali marak bulan-bulan ini?




Ketegangan Melahirkan Dinamika Penganggaran;
Studi Kasus Kabupaten Poso




Demografi Kabupaten Poso
Terletak di antara 10 06’44” - 20 12'53" Lintang Selatan serta 1200 05’ 25” – 1230 06’17” Bujur Timur, dengan luas 8.712 km persegi, kabupaten ini terdiri atas 18 kecamatan yang membawahi 133 desa definitif, dan 23 di antaranya yang berstatus kelurahan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS)[1] hingga tahun 2007, penduduk Poso berjumlah 183.511 jiwa dengan perbandingan laki-laki dan perempuan mendekati sama. Tingkat kepadatan penduduknya dapat dikatakan sangat rendah yakni 21 jiwa/km persegi. 

Luas wilayah Poso terbesar adalah kawasan perbukitan berupa hutan dan perkebunan. Luas kawasan hutan lindung sekitar 291.548,23 Ha (33,46%), kawasan hutan produksi 214.513,12 (24,62%), dan kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) seluas 365.163,65 Ha (41,91%) dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Poso.[2]

Komoditas unggulan kabupaten ini berasal dari sektor pertanian yang menempati urutan pertama penyumbang 50 persen Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) antara 1999 – 2003. Dalam laporan BPS setempat, yang dikutip dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Bupati Poso 2005 – 2010, sektor pertanian mengungguli sektor jasa-jasa, perdagangan, perhotelan, dan sektor industri pengolahan. 

Bila dilihat dari komposisinya, penduduk Poso sangat plural. Kabupaten ini didiami oleh beragam etnis seperti Toraja (yang terbagi-bagi dalam banyak sub etnik), Jawa, Gorontalo, Bugis, Minahasa, Bali, Tionghoa, Arab, serta etnis-etnis yang berasal dari daerah Nusa Tenggara. Menurut data BPS Kabupaten Poso pada 2007, lebih dari 58 % penduduk Poso beragama Kristen Protestan, disusul Islam 35 %, Hindu 5 %, Katholik 0,9 %. 

Keragaman etnis (yang kadang diidentikkan dengan agama) ini sangat kentara dengan pengelompokan-pengelompokan berbasis tempat tinggal. Pengelompokan ini terjadi lebih disebabkan oleh faktor historis atau asal-usul semata. Tidak didasarkan pada pengkotak-kotakan yang sifatnya administratif kewilayahan seperti yang kerap dilakukan oleh negara sebagai bagian dari politik kontrolnya.

Konteks Sosial-Politik “Sintuwu Maroso” Paska Konflik
Meski hidup dalam keragaman etnis dan agama, sebelum konflik elit lokal bernuansa sektarian pertama kali terjadi pada 1998, penduduk Poso hidup rukun. Mereka memegang teguh semboyan Poso yang cukup terkenal “Sintuwu Maroso” yang mencerminkan kebhinekaan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat. Slogan ini seakan sudah terinternalisasi dalam kehidupan warga Poso. Sehingga ketika terjadi konflik selama empat tahun hingga 2002, penduduk setempat mengalami polarisasi yang mereka sendiri tidak sadari penyebabnya.

Konflik membuat tingkat partisipasi masyarakat menjadi sangat terbatas. Kebebasan sipil barangkali tidak berlaku di wilayah konflik, seperti Poso ini. Perang kota yang terjadi di Poso membuat peran negara yang diwakili oleh kekuatan militer tampil mendominasi di segala urusan publik. Konflik pula yang menjadi alasan pembenar bagi aparat kepolisian untuk membangun pos-pos polisi di setiap desa di Kabupaten Poso dengan dalil menjaga ketertiban dan mencegah eskalasi konflik.

Alih-alih memperjuangkan partisipasi, saat konflik, masyarakat Poso justru terombang-ambing dalam ketidakpastian. Mereka banyak yang mengungsi menyelamatkan diri. Ruang-ruang partisipasi masyarakat dalam proses-proses pembangunan tertutup, kalah dominan dengan operasi-operasi militer pihak berwajib. Praktis konflik menyebabkan partisipasi menjadi nihil. Intinya, Poso seperti daerah konflik lainnya, mengalami kemunduran baik perangkat maupun instrumen demokrasi yang termasuk partisipasi warga.

Dalam situasi paskakonflik tersebut, Kabupaten Poso berhasil melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung untuk periode 2005-2010 yang dimenangi oleh pasangan Piet Inkiriwang dan Abdul Muthalib Rimi sebagai bupati dan wakil bupati. Awalnya pasangan ini didukung oleh Partai Damai Sejahtera (PDS) yang merupakan pemenang pemilu di tingkat lokal pada 2004 dan memperoleh mayoritas kursi di Dewan. Namun sekitar tahun 2006, Piet berganti haluan dengan menyeberang ke Partai Demokrat. Di DPRD Kabupaten Poso, Partai Demokrat hanya minoritas. DPRD didominasi oleh PDS yang berhasil memperoleh 6 kursi dan menempatkan kadernya, Sawerigading Pelima, sebagai Ketua DPRD Kabupaten Poso. Disusul kemudian oleh Partai Golkar dan Partai Patriot dengan 5 dan 4 kursi (lihat tabel komposisi anggota DPRD di bawah).
Komposisi Anggota DPRD Kabupaten Poso 2004 – 2009














Partai
Jumlah Kursi
Prosentase



Partai Damai Sejatera (PDS)
6
24 %



Partai Golkar
5
20 %



Partai Patriot
4
16 %



Partai Karya Pembangunan Indonesia (PKPI)
2
8 %



PDI Perjuangan
2
8 %



Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
1
4 %



Partai Bintang Reformasi (PBR)
1
4 %



Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
1
4 %



Partai Amanat Sejahtera (PAN)
1
4 %



Partai Demokrat
1
4 %



Partai Pelopor
1
4 %



Total
25
100 %





Melihat peta komposisi anggota DPRD di atas, tampaknya Piet memperoleh dukungan yang lemah di parlemen setempat. Abdul Muthalib Rimi, pasangannya, memang menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Poso, namun menurut sejumlah informan, pasangan ini sesungguhnya mengalami perpecahan. Piet tampak lebih piawai memanfaatkan kedudukannya, baik selaku bupati maupun ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Poso, guna memobilisasi dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan maupun komunitas berbasis agama yang dulu pernah terlibat dalam konflik untuk meraih popularitas di mata masyarakat Poso.[1]

Pelaksanaan Musrenbang; Partisipatif di Bawah, Terpenggal di Atas
Mengenai musrenbang, tidak semua desa di Kabupaten Poso melaksanakan secara konsisten sesuai dengan ketetapan dalam kerangka legal yang menjaminnya. Pasal 23 ayat (2) UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan bahwa batas waktu musrenbang untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) adalah Maret. Artinya, pelaksanaan musrenbang tingkat desa dan kecamatan antara Januari-Februari. Namun pada kenyataannya banyak desa yang melaksanakan musrenbang tingkat desa lebih cepat dari waktu yang ditentukan dalam aturan. Desa-desa tersebut mengadakan musyawarah pada bulan November tahun sebelumnya. Durasi pelaksanaan musyawarah cukup singkat untuk menentukan usulan pembangunan tingkat desa: hanya satu hari.

Satu hal yang menarik terjadi di Poso dimana pemerintah desa menamai pertemuan perencanaan pembangunan bukan musrenbang sebagaimana dikenal selama ini. Namun aparat desa menyebutnya dengan musyawarah pembangunan atau disingkat musbang. Meski berbeda dalam hal waktu dan penyebutan, namun para informan penelitian yang berasal dari kalangan kepala desa dan aktivis pendamping mereka mengatakan pada dasarnya tidak ada perbedaan antara musbang dengan musrenbang. Proses dan mekanismenya sama. 

Pada mulanya kepala desa mengundang secara resmi aparat pemerintahan di bawahnya, seperti para ketua rukun warga, rukun tetangga, dan juga tokoh masyarakat dan perwakilan perempuan, kelompok tani, nelayan serta Badan Perwakilan Daerah (BPD). Para undangan tersebut menghadiri rapat sekaligus memberikan masukan atau usulan program yang kelak dijadikan usulan bersama tingkat desa. Kehadiran representasi kepentingan diakui dapat berpengaruh terhadap jenis usulan. Sebagaimana yang terjadi di desa Tongko, Tumora, Betania, dan Kawende. Kawende merupakan satu-satunya desa di Kabupaten Poso yang dipimpin kepala desa seorang perempuan. 

Di Kawende dan desa-desa lainnya itu, kehadiran representasi perempuan yang mengikuti musrenbangdes memberikan usulan-usulan yang pro terhadap kepentingan perempuan, seperti usulan program pemberdayaan perempuan, pendidikan dan pelatihan keterampilan, pembangunan gedung pendidikan keterampilan keluarga (PKK). Menyangkut jenisnya, mayoritas usulan warga dalam musbangdes masih didominasi usulan fisik macam pembangunan saluran air atau riyol, pendirian perumahan bagi nelayan, jalan kantong produksi, pembangunan dan perbaikan sarana publik macam sekolah, puskesmas atau poliklinik desa (polindes). Semua desa memiliki kecenderungan yang sama. Amat minim usulan musbang selain usulan fisik.

Peran kepala desa dalam proses musrenbangdes sangat terbatas. Perannya hanya sebagai fasilitator dan tidak berposisi sebagai pemberi persetujuan usulan. Kepala desa membantu penyusunan usulan-usulan warga dan membuatnya lebih sistematis. Semua usulan dari warga ditampung dan dimusyawarahkan di antara mereka, kemudian disusun daftar usulan prioritas tingkat desa. Tak ada tim perumus khusus dalam penentuan ini. Semua membahasnya dan menyetujuinya dengan didasari argumen masing-masing. 

Metode peserta musrenbangdes untuk menentukan skala prioritas tampak sederhana namun terukur. Para kepala desa yang berperan sebagai fasilitator membantu menentukan usulan prioritas dengan jalan mendasarkan usulan-usulan tersebut pada tingkat ketermendesakan terhadap kebutuhan warga dan sejauhmana dampak usulan tersebut bermanfaat bagi banyak orang, bukan perorangan. Menariknya, di Poso, tiap usulan musbang desa dibikin tabel isian didasarkan lokasi, volume, estimasi biaya, sumber pendanaan, dan sasaran manfaat. Terkesan ada argumentasi yang cukup rasional dalam daftar usulan ini, diperkuat dengan keterangan status usulan “Mendesak”. Metode penyusunan usulan yang didasarkan pada need-based ini diperoleh warga desa dari para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terlibat dalam sebuah proyek penguatan peran kepala desa dan BPD.  

Metode ini telah diterapkan di sejumlah desa. Misalnya saja usulan pembangunan turap di bibir sungai di Kawende yang menjadi usulan sangat mendesak. Kepala desa Kawende selaku informan penelitian mengatakan bahwa di daerahnya, setiap hujan datang, air sungai pasti akan meluap membanjiri permukiman sekitarnya. Ketiadaan turap penghalang di bibir sungai selalu saja membuat air meluber merusak perkebunan. Kondisi ini mendasari warga untuk memasukkan pembuatan turap sepanjang 500 meter tersebut sebagai skala prioritas usulan musrenbang sejak 2007 hingga 2010. Usulan ini memang pernah disetujui pada tahun anggaran 2008-2009 namun realisasinya sangat jauh dari yang diharapkan. Pemda Poso hanya menyetujui pembangunan turap sepanjang 16 meter dari 500 meter yang diusulkan. 

Ketika daftar usulan yang dihasilkan dalam musrenbangdes selesai disusun, maka proses berikutnya adalah menyerahkan daftar usulan desa ke tingkat kecamatan. Di level ini usulan desa tidak mengalami perubahan, baik pengurangan maupun penambahan. Peran kecamatan hanya sebatas mengkompilasi usulan musrenbang tingkat desa-desa di bawahnya. Setidaknya demikian yang disampaikan oleh informan penelitian yang berlatar belakang kepala desa, aktivis, dan camat. Pada kenyataannya pihak kecamatan tidak menempatkan dirinya dalam posisi yang strategis guna mengaitkan usulan-usulan dari desa dengan rencana pembangunan jangka menengah kabupaten. Pemangku kewajiban musrenbang kecamatan pada akhirnya tak lebih dari seorang kurir yang membawa usulan masyarakat tanpa mendiskusikan dan mengusahakan supaya usulan tersebut dapat diterima dalam proses musrenbang selanjutnya.[2]  

Idealnya tidak demikian. Pihak kecamatan seyogyanya mampu berperan lebih dari sekadar kurir. Mereka seharusnya dapat pula berperan sebagai tim perumus skala prioritas usulan-usulan dari desa.[3] Kerja-kerja tersebut dapat saja mereka lakukan mengingat posisinya yang strategis dalam pengajuan usulan tingkat kabupaten. Yang dimaksud strategis karena Camat menjadi peserta dalam musrenbang kabupaten, di samping pemangku kepentingan lainnya. Lain halnya dengan kepala desa yang sama sekali tidak dilibatkan dalam proses musrenbang kabupaten.

Kompilasi usulan musrenbang kecamatan kemudian diserahkan oleh perwakilan kecamatan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang akan mengundangnya selaku delegasi dalam pertemuan Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) atau pra-musrenbang kabupaten. Forum ini dilaksanakan sebelum berlangsungnya musrenbang tingkat kabupaten dengan mempertemukan antara pihak kecamatan dengan SKPD tingkat kabupaten. Secara formal, forum ini disebut sebagai wahana untuk melakukan sinkronisasi usulan sebelum disepakati bersama sebagai usulan resmi daerah atau rencana kerja Pemda (RKPD) untuk dibahas dengan DPRD.

Di Forum SKPD ini terjadi pertemuan antara dua jenis pendekatan: partisipatif dan teknokratik. Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.[4] Esensi pendekatan ini adalah kehadiran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam forum-forum publik terbuka. Pendekatan ini diwujudkan dalam pelaksanaan musrenbangdes, di mana semua usulan program didasarkan pada tingkat kebutuhan masyarakat desa. Sementara pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja fungsional. Pendekatan ini tecermin dalam perumusan program-program perencanaan pembangunan oleh satuan kerja atau SKPD tertentu. Satuan-satuan kerja menggunakan mekanisme internal dalam menentukan usulannya. Sebagaimana institusi pemerintahan, SKPD tampak lebih mengandalkan peran birokrasi di bawahnya yang berada di level kecamatan hingga desa dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) dinas guna menjaring usulan SKPD.

Yang menarik, selain merupakan pertemuan dua pendekatan dalam satu titik, Forum SKPD juga mempertemukan dua arus besar jenis usulan yang berbeda. Bila usulan dari bawah yakni lewat musrenbangdes didominasi usulan fisik, maka usulan dari SKPD kebanyakan adalah usulan program nonfisik,[5] seperti belanja pegawai, honorarium, bimbingan teknis, dan perjalanan dinas. 

Satu hal lagi, bila dilihat dalam konteks relasi kekuasaan, pertemuan usulan musrenbang dengan usulan SKPD bukan pertemuan yang dapat dianggap setara secara politik. Satuan Kerja merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur birokrasi Pemda. Dengan posisinya yang demikian, SKPD memiliki sumber kekuasaan formal lebih besar untuk mengakses informasi tentang anggaran. Lain halnya dengan aparat desa selaku pelaksana musrenbangdes yang tidak memiliki otoritas apa pun dalam penentuan usulan di tingkat kabupaten. Bila ada satu usulan yang sama, maka usulan tersebut dapat dimasukkan menjadi usulan eksekutif yang akan dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menjadi masalah ketika ada perbedaan usulan antara musrenbangdes dengan SKPD. Dengan kuatnya dominasi teknokratisme, maka usulan musrenbang tingkat desa itu kerap tereliminasi dari daftar usulan Pemda. Usulan SKPD yang kemudian terpilih menjadi usulan resmi Pemda. Kenyataan ini diperparah dengan minimnya pengawalan dari publik serta rendahnya akuntabilitas dalam proses musrenbang tingkat kabupaten. Yang kemudian terjadi adalah usulan SKPD yang menjadi usulan resmi dari Pemda dengan mengeliminasi usulan warga yang telah dirancang sejak musrenbang tingkat desa.

Para informan yang berlatar belakang kepala desa mengatakan mereka tidak pernah tahu bagaimana proses penentuan usulan musrenbang tingkat kabupaten. Selama ini pihak Bappeda selaku pelaksana musrenbang kabupaten tidak pernah memberi penjelasan. Dalam pandangan informan tadi, Bappeda tidak memiliki metodologi yang jelas dalam menentukan sebuah usulan diterima atau ditolak. Ketiadaan metodologi dalam penentuan persetujuan usulan musrenbang kabupaten mengakibatkan kecurigaan di antara desa. Rasa curiga ini muncul disebabkan adanya pembangunan di daerah yang tidak mengajukan usulan lewat musrenbang, sedang desa yang telah berkali-kali mengajukan satu usulan tidak sekali pun direalisasikan.[6]
 
Kondisi ini makin mengukuhkan kenyataan bahwa pendekatan partisipatif tampak hanya berlaku sebatas musrenbang di level pemerintahan paling bawah. Pihak-pihak yang berkepentingan datang merumuskan usulan bersama. Namun usulan dari bawah yang sangat akomodatif tersebut dimentahkan oleh dominasi SKPD. Kepala desa baru tahu bila usulan mereka disetujui dari kecamatan. Perwakilan dari kecamatan yang biasa datang mengabarkan. 

Sejumlah informan telah menyadari kelemahan dalam prosedur pengakomodasian partisipasi warga yang diterjemahkan dalam perencanaan anggaran Pemda tersebut. Misalnya, dalam hal usulan program yang berasal dari dua pintu: SKPD dan musrenbangdes. Meski ada usulan program atau proyek yang dapat digabungkan karena kebetulan sama, namun usulan SKPD yang akhirnya lebih sering meminggirkan usulan musrenbangdes. Pada akhirnya, usulan musrenbangdes yang cenderung lebih partisipatif di tingkat bawah, berhenti pengajuannya di level kecamatan.

Para informan menganggap kondisi ini sebagai masalah dalam proses pelaksanaan partisipasi anggaran. Idealnya, semua usulan perencanaan proyek berawal dari musrenbang karena wilayah pelaksanaan pembangunan proyek berada di desa. Secara faktual memang ada juga proyek yang direalisasikan di luar mekanisme musrenbang. Dengan hanya melalui musrenbang maka dapat meminimalisasi kasus-kasus yang nepotistik tersebut.[7]
 
Satu contoh fenomenal mengenai proses pengawalan yang pernah terjadi di Poso berlangsung pada 2007. Saat itu dinamika politik lokal Poso memanas. Bupati Piet Inkiriwang yang saat pemilihannya tahun 2005 mendapat dukungan politik dari PDS, tiba-tiba melakukan manuver politik dengan mengarahkan dukungannya kepada Partai Demokrat. Dia memilih membesarkan Partai Demokrat dengan menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Poso. Manuver ini memancing amarah pengurus PDS Poso termasuk Ketua DPRD, S. Pelima, yang berasal dari partai berbasis agama Kristen itu. Ketua dan pimpinan DPRD lainnya lantas memanfaatkan otoritasnya guna mengumpulkan para camat se-Poso dalam sebuah forum resmi DPRD yang mereka sebut “Jaring Asmara”. Forum ini disebut-sebut sebagai forum tandingan musrenbang yang dilakukan oleh DPRD.[8] DPRD Poso lantas melakukan langkah politik dengan membentuk Panitia Khusus Angket dengan mengusung isu dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Piet terhadap pengucuran Dana Recovery Konflik Poso yang berasal dari Pemerintah Pusat.

Forum “Jaring Asmara” sejatinya menjadi semacam ‘koneksi’ antara camat, yang dalam alur musrenbang berfungsi mengkompilasi usulan musrenbang tingkat desa, dengan DPRD. Dewan memiliki fungsi strategis dalam penganggaran karena ia bersama dengan Bupati berwenang untuk menyetujui APBD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda).[9] Bila tidak ada persetujuan dari salah satu pihak maka Perda batal secara hukum. 

Camat berkepentingan dengan DPRD karena melalui institusi ini mereka ingin mencari tahu penyebab mengapa tingkat realisasi musrenbangdes sangat rendah. Pimpinan DPRD berdalih bahwa pertemuan “Jaring Asmara” bukanlah untuk menggantikan musrenbang yang diadakan pihak Bappeda, namun hanya untuk melakukan ‘pengecekan silang’ usulan musrenbangdes yang diajukan Bappeda kepada DPRD. Periode-periode sebelum 2007 belum pernah terjadi forum-forum resmi seperti “Jaring Asmara” ini. Koneksi camat dan DPRD ini bersifat taktis karena dilatari oleh kepentingan menaikkan posisi tawar DPRD di hadapan Bupati Piet Inkiriwang.

Menanggapi terjadinya koneksi DPRD dengan Camat, Bupati lantas merespon dengan mengeluarkan Surat Edaran Bupati Poso No: 180/330/Hukum tertanggal 12 Juni 2007. Isi surat tersebut melarang keras semua SKPD di lingkungan Pemkab Poso untuk mendatangi undangan rapat dan melarang memberikan informasi kepada setiap anggota Pansus DPRD. Drama politik elit tingkat lokal Poso ini baru berakhir pada Pemilu 2009 lalu yang menempatkan Partai Demokrat sebagai partai pemenang. Dengan demikian posisi politik Bupati Piet lebih kuat ketimbang S. Pelima dan PDS-nya yang mengalami kekalahan di ajang pemilu tahun itu.

Forum penjaringan aspirasi anggota berbeda dengan forum “Jaring Asmara”. Jika “Jaring Asmara” baru pertama kali berlangsung, yakni pada 2007, dilatari oleh rivalitas elit politik lokal, sedang forum penjaringan aspirasi masyarakat berlangsung setiap masa reses Dewan. Meski dapat dipastikan setiap tahun anggota Dewan memiliki kesempatan untuk mengagendakan penjaringan aspirasi secara formal, namun forum ini kurang produktif. Banyak anggota DPRD yang tidak melakukan kunjungan ke basis wilayah pemilihannya. Mereka jarang terlibat dialog dengan masyarakat sehingga masalah rendahnya realisasi usulan-usulan perencanaan pembangunan tidak terakomodasi dalam forum-forum resmi itu. Sekalipun terjadi pertemuan antara anggota parlemen lokal dengan konstituennya, namun nyatanya tidak berakibat pada tindakan apa pun oleh anggota Dewan terhadap usulan musrenbangdes.[10]

Selain problem tiadanya koneksi strategis yang didasari oleh kepentingan yang sama antara warga dengan DPRD, problem lainnya dalam proses pengawalan musrenbangdes adalah status usulan yang bukan dokumen pembahasan APBD.[11] Saat ini statusnya hanya daftar usulan yang dikompilasi pihak kecamatan dan hanya dijadikan referensi dalam rapat pembahasan tingkat kabupaten. Bila usulan musrenbang merupakan dokumen pembahasan, maka konsekuensi logisnya anggota Dewan dapat menggunakannya sebagai materi guna mengecek usulan penganggaran yang diajukan oleh pihak Pemda.

Fungsi bujeting DPRD lainnya diterjemahkan oleh anggota Dewan dengan jalan memainkan perannya sebagai penerima usulan program dari perorangan. Biasanya usulan tersebut diajukan dalam bentuk proposal bantuan oleh konstituen kepada anggota DPRD yang dikenal. Setiap anggota DPRD melakukan hal tersebut. Proses ini lebih kerap terjadi saat pembahasan sisa anggaran dalam pembahasan APBD Perubahan yang berlangsung pada bulan-bulan akhir tahun anggaran berjalan.

Menurut pengusaha yang menjadi informan penelitian ini, DPRD sering melakukan pemotongan alokasi anggaran yang telah dibahas dengan dalih anggaran terlalu besar. Pemotongan ini dianggap mereka bersifat politis. DPRD lebih berkepentingan untuk mengalokasikan anggaran ke pos pengeluaran lainnya ketimbang menyetujui nominal yang tertera dalam alokasi anggaran. Tampak relasi antara anggota DPRD dengan para pengusaha tak melulu soal deal-deal kepentingan ekonomi bagi para pengusaha yang dominan, namun kepentingan politis juga terjadi dalam negosiasi tersebut. Para pemilik modal menjadi patron utama aktor politik formal mengingat kepentingan ekonomi para pemilik modal tersebut yang sangat tergantung pada sumberdaya-sumberdaya yang berada dalam kewenangan aktor politik formal.

Selain DPRD, Bupati juga memiliki peran penting dalam proses pembahasan dan pengesahan APBD Kabupaten Poso. Keduanya menjadi para pihak yang mengesahkan anggaran yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah (Perda). Jika tidak disetujui oleh salah satu pihak, maka Perda tersebut tidak sah. Di Poso, Bupati berasal dari partai politik yang berbeda dengan mayoritas anggota DPRD. Selain melalui kekuasaan formal yang dimilikinya sebagai Bupati, Piet diduga juga memobilisasi dukungan dari sejumlah pengusaha besar guna memperoleh dukungan ekonomi dan politik ketika Pemilu 2009. Dukungan para pengusaha ini dikoordinasi oleh tiga orang yang kelak menjadi tim sukses Partai Demokrat dan berperan penting mengantarkan partai itu menjadi pemenang pada Pemilu 2009 tingkat Poso. Ketiga orang tersebut Sherly Mamuaya, Boy (Ketua DPC Partai Demokrat Poso), dan Yani Mamuaya (Ketua DPRD Poso). Ketiganya oleh para aktivis dijuluki “SBY Poso” yang diambil dari huruf depan nama mereka.[12]

Ketiga orang tersebut dianggap para informan penelitian sebagai aktor yang dominan dalam penentuan alokasi anggaran dengan memprioritaskan kelompok pengusaha-pengusaha besar yang dekat dengan Bupati Piet.

Politik Alokasi Anggaran Kabupaten Poso
(1)   Sebagian Visi Terealisasi dalam Penganggaran
Semasa awal periode pertama pemerintahan Bupati Piet Inkiriwang (2005-2010), pemerintahan Kabupaten Poso berjalan dengan bayang-bayang konflik sektarian yang masih berbekas di benak warga. Deklarasi Malino I meski sudah disepakati tahun 2004, namun sejumlah peristiwa pembunuhan dan teror masih terjadi meski secara intensitas menurun bila dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ketika terjadi pemilihan bupati tahun 2005, Poso tak ubahnya kota yang sedang berbenah. Pasangan Bupati Piet Inkiriwang dengan Wakil Bupati Abdul Muthalib Rimi terpilih menegaskan bahwa pemerintahan mereka mengusung visi “Terwujudnya Kabupaten Poso sebagai Daerah yang Aman, Damai, Adil, Bersatu, Demokratis, Sejahtera, Mandiri, dan Handal dalam Sumberdaya Manusia, dengan Menjunjung Tinggi nilai-nilai Kemanusiaan, Kemerdekaan, dan Persatuan”. Visi ini dianggap populis di mata masyarakat Poso yang bertahun-tahun hidup dalam konflik.

Visi Bupati terpilih tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam tiga misi pemerintahan selama lima tahun (2005-2010) yakni:
(1)   Mewujudkan Kabupaten Poso yang Aman dan Damai;
(2)   Mewujudkan Kabupaten Poso yang Adil dan Demokratis;
(3)   Mewujudkan Kabupaten Poso yang Sejahtera.
Sejalan dengan kerangka legal yang mengatur musrenbang,[13] visi-misi Bupati terpilih kemudian dijabarkan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menegah atau lima tahun Pemda (RPJM Daerah). Pengertian aman dan damai dalam misi pemerintahan Piet diartikan sebagai kondisi yang bebas dari bahaya ancaman dan juga keadaan tidak terjadi konflik, kerusuhan, atau saling bermusuhan, tapi bersatu dan rukun dalam sistem negara hukum.[14] Misi ini jelas ditawarkan oleh Piet dalam konteks paskakonflik sektarian yang berlangsung secara massif sebelumnya.

Dalam penjabaran RPJMD selanjutnya, mengenai indikator Kabupaten Poso yang aman dan damai adalah berkurangnya gejolak keamanan dan ketertiban masyarakat, pulihnya kehidupan sosial-budaya dari trauma konflik, serta kembalinya pengungsi Poso ke tempat masing-masing tanpa rasa takut dan kuatir.[15]

Situasi paska konflik sektarian memang menjadi perhatian utama bagi bupati Piet Inkiriwang guna menawarkan program-program yang dianggap dapat meredakan ketegangan para pihak. Tawaran ini jelas dinyatakan Piet dalam misi kedua yang menekankan pada aspek keadilan bagi semua. Dalam penjabaran misi kedua pemerintahannya, mewujudkan Kabupaten Poso yang Adil dan Demokratis, pemerintahan Piet mengartikan Adil dengan (a) tidak berat sebelah atau tidak memihak; (b) berpihak kepada yang benar, berpegang pada konstitusi dan hukum atau tidak sewenang-wenang; (c) menghendaki kepastian hukum; dan (d) menuntut tidak berat sebelah atau tidak memihak tetapi juga menuntut keberpihakan pada saat kebenaran menjadi taruhannya. Sementara Demokratis diartikan dengan memiliki arti pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara di depan hukum. 

Misi ketiga yang hendak ditawarkan oleh pemerintahan Piet adalah sejahtera dengan arti berada dalam keadaan aman dan tentram sejalan dengan kewajiban negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebagian informan menilai bahwa misi pemerintahan Piet telah dilaksanakan, terutama menyangkut keamanan. Tingkat kriminalitas dan teror di kabupaten ini semakin menurun seiring makin banyaknya aparat keamanan yang datang ke Poso. Pemda mendukung pemerintah pusat selaku penanggung jawab keamanan mendirikan satu pos polisi setiap desa. Sebagian warga berpendapat pendirian pos polisi di desa diharapkan mampu mendekatkan masyarakat dengan aparat keamanan sehingga tercipta rasa aman. Bila polisi hanya terkonsentrasi di kecamatan maka jaraknya dianggap terlalu jauh. Proses pendirian polmas dilakukan dengan jalan Pemda memberikan bantuan untuk pendirian bangunan, sementara pemerintah desa diminta untuk memberikan lahannya.[16]

Selain pendirian pos polisi masyarakat (Polmas) di setiap desa, satu kebijakan lain yang pernah dilakukan oleh Bupati Piet dalam rangka melaksanakan misi “aman” pemerintahannya adalah Proyek Peningkatan Sumberdaya Ketahanan Sipil (Hansip) atau Pelindung Masyarakat (Linmas), dan PAM Swakarsa. Proyek ini dilaksanakan pada 2007 dengan menelan dana Rp3,3 milyar. Sumber dana berasal dari Dana Recovery Konflik Poso dari Pemerintah Pusat Rp2,8 milyar dan APBD Rp500 juta. Proyek ini belakangan dianggap proyek mubazir karena setelah ditelisik ditemukan bahwa alokasi terbesar pengeluarannya untuk pengadaan perlengkapan seragam seperti pakaian dinas, sepatu lars, dan atribut pakaian dinas lainnya.[17] Biaya di atas belum termasuk pengeluaran untuk membiayai kinerja aparat keamanan, seperti gaji atau honor atau tunjangan lainnya.

Dua program di atas menunjukkan bahwa Piet di awal pemerintahannya lebih cenderung menggunakan pendekatan keamanan sebagai prioritas kerjanya. Agenda utama Piet ini nampaknya didorong keyakinan bahwa faktor keamanan merupakan faktor yang menentukan bagi berjalannya kehidupan masyarakat dan aktivitas ekonomi warga. Model pendekatan keamanan seperti ini selalu muncul dari inisiatif elit dengan mengatasnamakan stabilitas pemerintahan. Dampak yang diakibatkan adalah proyek yang sifatnya top-down itu cenderung mengabaikan usulan dari warga terutama dalam peta alokasi APBD.

Paling tidak pengabaian kepentingan warga tercermin dari rendahnya akomodasi dan realisasi musrenbang tingkat desa oleh Pemda. Hampir semua desa mengalami masalah minimnya realisasi ini. Minim tidak diartikan tidak pernah ada usulan yang sama sekali tidak disetujui. Namun bisa juga disetujui dengan catatan prosentase realisasinya sangat rendah. Usulan warga pada akhirnya menjadi sangat siklis. Usulan yang ditolak secara otomatis akan diajukan kembali dalam proses musrenbang tahun berikutnya dengan sejumlah tambahan usulan bila ada. Kecuali sudah ada realisasi atas usulan tersebut.

(2)   Dominasi Agenda Birokrasi dalam Alokasi Anggaran
Rendahnya realisasi usulan proyek pembangunan lewat musrenbang dari tingkat desa tampaknya lebih disebabkan dominannya agenda-agenda birokrasi guna menunjang kepentingan Pemda itu sendiri. Hal itu ditunjukkan dengan besarnya alokasi gaji pegawai yang dianggarkan dalam APBD. Struktur birokrasi Pemda Kabupaten Poso dinilai gemuk dengan pegawai sekitar 7.000 orang.[18]
 
Belanja pegawai sendiri terdapat di dua pos pengeluaran APBD, yakni di pos belanja tak langsung dan belanja langsung. Belanja pegawai merupakan bagian dari pengeluaran rutin yang tidak bisa diserap oleh publik, meski ditempatkan dalam pos belanja langsung. Dengan memisahkan pos pengeluaran belanja pegawai di alokasi belanja langsung dan belanja tidak langsung, penelitian ini menemukan alokasi belanja pegawai di pos tidak langsung berkisar antara 2,73 % - 7,11 % selama tahun 2007 hingga 2010. (Lebih jelasnya dapat disimak tabel di bawah).

Perbandingan Alokasi Pegawai di Pos Belanja Tak Langsung dan Belanja Langsung dalam APBD Kabupaten Poso 2007-2010
Tahun Anggaran
Belanja pegawai di pos biaya tidak langsung
Belanja pegawai di pos biaya langsung
Total APBD
Nominal
Prosentase dalam APBD
Nominal
Prosentase dalam APBD
2007
157,620,000,000
35,98%
31,161,000,000
7,11%
438,025,000,000
2008
254,008,000,000
53,13%
17,769,000,000
3,72%
478,086,000,000
2009
312,206,000,000
49,80%
17,087,000,000
2,73%
626,899,000,000
2010
309,223,000,000
57,49%
19,708,000,000
3,66%
537,870,000,000

Dari tabel di atas terlihat dalam APBD tahun 2007, alokasi belanja pegawai di pos belanja langsung mencapai Rp 31.161.000.000 dan pada tahun berikutnya mengalami penurunan prosentase hampir separuhnya. Meski dari sisi prosentase dalam APBD menurun, namun ternyata dalam tahun yang sama, prosentase belanja pegawai di pos belanja tak langsung mengalami lonjakan sebesar hampir Rp100 milyar atau setara 17,15 % (dari 35,98 % menjadi 53,13 %) dari total APBD. Nilai kenaikan alokasi untuk belanja pegawai ini hampir dua kali lipat dari nilai kenaikan total APBD tahun 2008. Artiya, porsi kenaikan anggaran publik lebih diperuntukkan bagi bertambahnya alokasi kepada aparatur pemerintahan ketimbang sektor-sektor vital masyarakat.

Yang juga dapat dibaca secara jelas dari paparan data di atas bahwa selama empat tahun, sejak 2007 hingga 2010, tampak alokasi belanja pegawai secara keseluruhan mengalami peningkatan secara prosentase sebesar 18,06 %. Lebih ringkasnya dapat digambarkan dalam grafik di bawah: 
Tren dan Grafik Prosentase Belanja Pegawai APBD Kabupaten Poso 2007-2010

Tahun
Prosentase
2007
43.10%
2008
56.85%
2009
52.53%
2010
61.15%
Dengan besarnya pengeluaran APBD untuk belanja pegawai berarti tingkat penyerapan anggaran untuk membiayai pemerintahan sangat tinggi. Pegawai banyak, birokrasi gemuk. Hal ini berpotensi koruptif karena anggaran publik dikuatirkan akan digunakan untuk mempertahankan oligarki kekuasaan elit melalui kaki-kakinya di birokrasi. Apalagi ditambah dengan rendahnya transparansi dan akuntabilitasnya di mata publik makin memperkuat oligarki kekuasaan dengan Bupati sebagai pusatnya. 

Salah satu contoh yang sering memperoleh sorotan adalah tingginya alokasi anggaran untuk Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda). Pada APBD 2007 saja alokasi untuk Bappeda sendiri mencapai hampir Rp9 milyar. Jumlah ini menurut DPRD tak masuk akal karena secara fungsional, Bappeda hanya koordinator anggaran yang tidak memerlukan kerja-kerja teknis hingga ke level pemerintahan terbawah. Setelah plafon anggaran Bappeda diperiksa ternyata alokasi perjalanan dinasnya sangat besar hingga mencapai Rp 300 juta. Hal ini menimbulkan kecurigaan mengingat Kepala Bappeda merupakan orang dekat Bupati sehingga dikuatirkan besarnya alokasi perjalanan dinas akan dimanfaatkan demi tujuan politik Bupati.[19]

(3)   Anggaran Pekerjaan Umum untuk Para Rente?
Bila dilihat dari prioritas peruntukan APBD, bidang Pendidikan menempati urutan pertama, sektor yang menerima alokasi dengan 28,21 % dari total APBD. Kemudian diikuti bidang Pemerintahan Umum dengan 23 %. Sedang bidang Pekerjaan Umum, Kesehatan, dan Perumahan menjadi bidang yang menerima prioritas alokasi APBD yang ke-3, 4, dan 5. Selengkapnya lihat tabel di bawah:
Lima Bidang Prioritas Alokasi APBD Kabupaten Poso Tahun 2007
No
Bidang
Total
Prosentase APBD
1
Pendidikan
   123,522,611,413
28,21%
2
Pemerintahan Umum
   104,625,135,812
23,89%
3
Pekerjaan Umum
     44,100,549,920
10,07%
4
Kesehatan
     40,238,243,669
9,19%
5
Perumahan
     25,534,278,365
5,83%
 Alokasi yang besar bagi bidang pekerjaan umum tampaknya dipengaruhi oleh menguatnya posisi para para pengusaha kontraktor secara politik karena faktor keterdekatan para pemodal tersebut dengan Bupati. Kontraktor seakan memiliki kekuasaan besar mengingat kebutuhan untuk mengadakan proyek-proyek infrastruktur fisik sangat besar di wilayah paskakonflik, seperti Poso ini. Tak mungkin semua proyek infrastruktur dikerjakan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) sehingga di sektor ini tampaknya anggaran paling banyak diserap oleh publik, yang tak lain adalah para kontraktor itu sendiri. 

Data APBD tahun 2007 di atas menunjukkan anggaran pembangunan infrastruktur dalam APBD yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum mencapai Rp44 milyar atau sebesar 10 % dari total APBD. Jumlah ini naik lagi pada tahun berikutnya menjadi Rp54 milyar. Tingginya nilai anggaran ini tentu saja diikuti dengan tingginya posisi tawar para pengusaha kontraktor terhadap pihak yang berwenang mengucurkan anggaran. 

Di Poso sendiri menurut data Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) pada tahun 2008 terdapat sekitar 300 pengusaha kontraktor yang memiliki ijin. Mulai dari skala kecil hingga skala besar. Sebagian besar pengusaha merupakan kontraktor kecil yang umumnya mengerjakan pembangunan proyek di bawah Rp100 juta. Mereka umumnya adalah para eks kombatan yang melakukan transformasi kegiatan. Dari memanggul senjata, ketika Poso damai, banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai kontraktor dadakan. Para eks kombatan ini tidak memiliki pengalaman dan pengalaman mengerjakan proyek-proyek infrastruktur. Mengingat latar belakang sosial mereka sebagai bekas pihak yang terlibat konflik membuat para kontraktor dadakan diperhitungkan secara politik.

Bupati Piet sendiri, misalnya, memiliki kepentingan supaya para mantan kombatan ini memiliki pekerjaan. Jika tidak, dikuatirkan mereka akan kembali berulah dan menciptakan konflik baru. Hal ini dilihat Bupati Piet sebagai peluang untuk memperkuat posisinya secara politik. Bupati diduga menangguk keuntungan di balik keberadaan mantan kombatan ini guna memperkuat legitimasi kepemimpinannya.[20] Dalihnya, Bupati berhasil berdiri di atas dua golongan yang bertikai meski pada kenyataannya dia memelihara hubungan secara patronase.

Selain pengusaha dadakan yang jumlahnya ratusan, di Poso banyak pengusaha besar yang berasal dari luar wilayah Poso. Model pengusaha ini mengandalkan koneksi yang kuat dengan pemimpin politik setempat. Anggaran pembangunan infrastruktur banyak diserap oleh kelompok pengusaha jenis ini dengan kekuatan kapital ekonominya yang sangat besar. Modal yang mereka miliki sulit sekali ditandingi oleh pengusaha kelas menengah-kecil.[21]

Di tengah sistem pemerintahan lokal paskakonflik yang minim akuntabilitas publik serta tiadanya pelembagaan transparansi, keberadaan aktor-aktor informal yang dominan menjadi bagian tak terpisahkan dalam lingkaran oligarki kekuasaan. Dengan demikian, faktor kedekatan dengan penguasa politik formal menjadi prasyarat mutlak guna mendapatkan alokasi sumberdaya publik dalam APBD. Sementara timbal balik dari pengusaha itu tak lain adalah donasi ekonomi kepada pemegang kekuasaan formal ketika membutuhkan modal ekonomi untuk memenangi pertarungan di ranah politik elektoral.

Dominannya pengaruh pemilik kapital ekonomi besar yang berkolaborasi dengan penguasa politik lokal sangat dirasakan oleh para pengusaha kecil tatkala mereka berkompetisi dalam sebuah tender. Pengusaha besar dengan segenap kekuatan ekonominya dapat dipastikan akan memenangi tender dengan nilai proyek yang sangat besar karena mereka memegang lisensi khusus[22] sebagai prasyarat tendernya. Sedang pengusaha kecil menengah tidak mungkin mengakses proyek-proyek skala besar karena terkendala persyaratan administratif.[23] Kondisi ini dikeluhkan oleh beberapa pengusaha kecil yang menjadi informan penelitian. Bahkan oleh Ketua Kadin setempat yang juga pengusaha golongan menengah dengan aset beberapa ratus juta saja. 

Salah seorang informan yang masuk dalam organisasi Kadin mengilustrasikan bagaimana diskriminasinya perlakuan Bupati Piet terhadap para pengusaha di luar lingkaran kekuasaannya. Menurutnya, Pemda sama sekali tidak pernah melibatkan dan memberikan informasi tentang proyek yang dibiayai Pemda kepada asosiasi pengusaha seperti Gapensi, Hipmi, maupun Kadin. Bupati lebih sering memberikan akses informasi kepada para pengusaha yang dekat dengannya. Menurutnya, praktik pemberian informasi yang diskriminatif dan memihak pengusaha besar macam ini susah untuk dilepaskan dari mobilisasi anggaran besar untuk proyek-proyek yang dibiayai dana publik.

Meski demikian para pengusaha kecil yang umumnya berada di luar lingkaran oligarki kekuasaan Bupati menggunakan alternatif lain untuk mengakses dana APBD. Penelitian ini mengindikasikan para pengusaha melakukan kontak yang bersifat individual dengan anggota Dewan dalam rangka menjamin kepentingan ekonominya dalam proses penganggaran. 

Pengusaha juga memanfaatkan situasi permusuhan politik yang terjadi antara Bupati dengan DPRD dengan lebih mendekat kepada anggota DPRD yang memiliki hak bujet dan sering menerima proposal proyek dari masyarakat. Menariknya, pengusaha kontraktor kelas kecil tidak hanya mengandalkan kontak-kontak dengan anggota Dewan, namun mereka juga menjalin hubungan dengan kepala desa. Mereka menerapkan strategi dua kaki secara vertikal guna memuluskan agenda kepentingan ekonominya: satu kaki di level pengesahan anggaran (entah DPRD maupun melalui eksekutif, dalam hal ini SKPD tertentu) sedangkan satu lainnya di level pengusul anggaran. 

Pengalaman ini pernah ditemui di Betania dan Tongko. Kepala desa Betania mengatakan bahwa perbaikan Polindes desa setempat merupakan hasil lobi kontraktor pelaksana yang sempat mendatanginya. Kepala desa tersebut tidak keberatan dengan pertimbangan kemanfaatannya bagi warga desa. Selain itu bangunan Polindes memang dianggap sudah tak layak pakai dan dikuatirkan akan ambruk. Pemerintah Desa setempat sudah memasukkan perbaikan Polindes dalam daftar usulan musrenbang selama beberapa tahun, namun tidak pernah sekalipun terealisasi, sebelum datangnya kontraktor yang menawarkan bantuan tadi.

Sementara di desa Tongko, kontraktor mengerjakan perbaikan gedung SD Tongko 1. Ada nuansa nepotisme dalam proses pengerjaannya. Kontraktor pelaksana proyek merupakan istri seorang pegawai negeri di instansi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso. Setelah sempat masuk dalam usulan musrenbang desa setempat, pada akhir 2009, perbaikan empat ruang kelas dan toilet sekolah akhirnya disetujui. Cepatnya proses persetujuan ini diduga karena kontraktor pelaksananya masih memiliki hubungan keluarga dengan Kepala SD tersebut.[24]

Yang menjadi ironi adalah tingginya alokasi untuk sektor infrastruktur ternyata tidak dibarengi dengan tingginya alokasi untuk upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Alokasi APBD tahun 2007 untuk bidang kesejahteraan sangat kecil, hanya sekitar Rp2,8 milyar atau 0,65 % dari total keseluruhan pengeluaran APBD Kabupaten Poso. Bila dibandingkan dengan alokasi untuk bidang pekerjaan umum maka anggaran bidang kesejahteraan sosial ini setara dengan seperduapuluh anggaran untuk sektor infastruktur tersebut. Dari prioritas alokasi ini tampak dengan jelas anggaran publik lebih diperuntukkan bagi sektor fisik yang memiliki nilai ekonomi-politik tinggi dibanding pemenuhan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Selain karena alokasi APBD untuk bidang kesejahteraan sosial yang amat kecil, jauh lebih sedikit dibanding bidang pekerjaan umum, penelitian ini menemukan pula lebih dari setengah alokasi untuk tiga bidang vital masyarakat dialokasikan guna pembayaran gaji aparatur. Bidang pendidikan, misalnya. Meski secara prioritas menempati urutan pertama, namun ternyata 77,45 % dari keseluruhan alokasi bidang ini diperuntukkan untuk belanja aparatur. Ini artinya cuma 22,55 % atau Rp22,8 milyar sisa alokasinya yang diperuntukkan untuk belanja publik seperti pembangunan atau perbaikan gedung sekolah dan ruang kelas, pendirian unit pendidikan anak usia dini (UPTD) yang dirasa mendesak bagi pemenuhan hak atas pendidikan warga Poso. 

Besarnya alokasi untuk belanja aparatur juga ditemukan dalam alokasi bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial. Alokasi belanja aparatur di sektor kesehatan mencapai 54,88 % sendiri, bahkan di bidang sosial hingga 84,11 %. Untuk selengkapnya dapat lihat tabel di bawah:
Perbandingan Belanja Aparatur dan Belanja Publik di Tiga Sektor Vital Masyarakat
APBD Kabupaten Poso tahun 2007
BIDANG
BELANJA APARATUR
BELANJA PUBLIK
NOMINAL
%
NOMINAL
%
Pendidikan
  95,674,227,973
77,45 %
   27,848,383,440
22,55 %
Kesehatan
  22,082,632,579
54,88 %
    18,155,611,100
45,12 %
Sosial
     2,389,475,795
84,11 %
          451,307,000
15,89 %
Dari data di atas menunjukkan bahwa meski dari segi alokasi, bidang pendidikan menempati prioritas pertama. Namun setelah ditelisik sesungguhnya alokasi terbesar bidang tersebut ternyata lebih banyak dinikmati untuk belanja aparatur. Sementara alokasi belanja publik yang dapat diserap manfaatnya oleh warga, memperoleh alokasi yang kecil. Sedang alokasi untuk bidang kesejahteraan sosial, Pemda dan DPRD Kabupaten Poso masih menganggap urusan tersebut bukan sebagai urusan prioritas. Hal ini ditunjukkan dengan sangat kecilnya alokasi untuk bidang tersebut. 

Mengenai alokasi anggaran, ketika terjadi permusuhan politik pada 2007, DPRD pernah menelisik lebih detail peta alokasi anggaran yang diajukan Bupati Piet. Saat itu DPRD berhasil melakukan rasionalisasi setelah menemukan alokasi perjalanan SKPD ke luar daerah yang cukup besar dibandingkan dengan anggaran perjalanan daerah. Pengeluaran perjalanan dinas yang besar ini menyumbang ketimpangan alokasi antara belanja tak langsung dengan belanja langsung yang dapat diserap masyarakat. Dengan komposisi yang timpang ini, kalangan DPRD yang memiliki mandat formal sebagai wakil rakyat berusaha mengubah peta alokasi anggaran sejalan dengan peraturan pemerintah tahun 2008 yang menekankan agar terjadi keseimbangan belanja tak langsung atau rutin dengan belanja langsung atau publik.[25]

(4)   Ketegangan Politik Mendorong Perubahan Peta Anggaran
Pengalaman penting dalam dinamika penganggaran di Kabupaten Poso adalah saat terjadinya permusuhan politik antara DPRD dengan Bupati. Anggota DPRD berpendapat bahwa Bupati dalam mengajukan RAPBD tidak lagi berpedoman pada KUA & PPAS yang telah disepakati bersama. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan program dan kegiatan yang ada dalam PPAS dengan RAPBD yang diajukan.

Ketegangan di antara kedua institusi tersebut berhasil mengubah sebagian peta alokasi anggaran. Negosiasi DPRD yang memperoleh dukungan dari perwakilan warga yang diwakili oleh para Camat menghasilkan penambahan alokasi belanja publik terutama untuk bidang Pekerjaan Umum atau anggaran infrastruktur, yang mengalami kenaikan menjadi 11,44 % pada 2008 dari semula 10,07 %. Selain adanya kenaikan pada sektor pekerjaan umum, kenaikan anggaran juga terjadi pada alokasi pengeluaran untuk Pemberdayaan Masyarakat Desa yang naik hampir 2 %, dari 2,74 % menjadi 4,58 %.

Meski demikian ada beberapa pos alokasi anggaran vital yang mengalami pemangkasan anggaran atau penurunan prosentasi anggaran seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Sektor ini naik secara pendanaan namun menurun bila dilihat dari prosentase secara keseluruhan. Sedang sektor pertanian yang mengalami penurunan baik secara dana maupun prosentasenya. Selengkapnya lihat tabel perbandingan prioritas APBD 2007 dan 2008.
Tabel Perbandingan Alokasi APBD Kabupaten Poso tahun 2007 dan 2008
2007

2008

Pendidikan

28.21%
1

27.43%
2
Dinas Pendidikan
123,522,611,413


131,156,696,000


Kesehatan

9.19%
4

9.75%
4
Dinas kesehatan
32,162,319,014


33,545,077,300


RSUD
8,075,924,655


13,055,951,000


Pekerjaan Umum

10.07%
3

11.44%
3
Dinas Prasarana Wilayah
44,100,549,920


54,691,740,000


Perumahan

5.83%
5

3.06%

Dinas pemukiman dan penataan wilayah
25,534,278,365


14,626,086,600


Perencanaan Pembangunan

2.05%


1.29%

Bappeda
8,996,440,066


6,144,769,000


Perhubungan

1.29%


0.69%

Dinas perhubungan dan LLAJ
5,645,132,000


3,279,989,400


Lingkungan Hidup

0.70%


0.60%

Bappeldada
3,048,999,078


2,850,292,000


Kependudukan dan Catatan Sipil

0.89%


0.77%

Dinas kependudukan, catatan sipil dan KB
3,901,171,939


3,700,432,000


Sosial

0.65%


0.46%

Dinas kesejahteraan sosial
2,840,782,795


2,180,695,500


Tenaga Kerja

0.56%


0.69%

Dinas tenaga kerja dan transmigrasi
2,437,568,932


3,280,193,000


Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

1.56%


0.57%

Dinas perindustrian perdagangan dan koperasi
6,840,568,932


2,733,686,000


Politik

1.51%


0.93%

Badan Kesbangpol linmas
5,005,998,089


2,584,028,300


Kantor Satpol PP
1,617,881,284


1,856,553,000


Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian

23.89%
2

29.53%
1
DPRD
4,224,341,028


3,281,861,000


Kepala daerah dan wakil
1,199,133,867


512,690,000


Sekretariat daerah
29,899,672,406


23,507,122,200


Sekretariat DPRD
7,368,180,766


7,921,426,800


Badang pengelola keuangan daerah
45,289,690,662


86,937,270,189


Badan pengawas daerah
3,528,000,000


3,137,935,000


15 kantor kecamatan
13,116,117,083


15,895,032,000


Kepegawaian

1.45%


0.95%

Badan kepegawaian daerah
6,356,487,000


4,540,745,000


Pemberdayaan Masyarakat Desa

2.74%


4.58%
5
Dinas pemberdayaan masyarakat kabupaten
11,990,124,391


21,909,318,478


Kearsipan

0.37%


0.31%

Kantor arsip dan perpustakaan
1,634,327,534


1,463,930,700


URUSAN PILIHAN






Pertanian

4.20%
6

3.60%

Dinas pertanian dan peternakan
14,838,559,071


10,793,631,000


Kantor ketahanan pangan dan penyuluhan pertanian
3,554,400,576


6,425,503,000


Kehutanan

1.67%


1.06%

Dinas kehutanan dan perkebunan
7,316,270,401


5,063,445,000


Energi dan Sumber Daya Mineral

1.06%


0.58%

Dinas pertambangan dan energy
4,645,158,970


2,756,166,000


Pariwisata

0.49%


0.33%

Dinas pariwisata, seni dan budaya
2,131,941,200


1,574,251,000


Kelautan dan Perikanan

1.63%


1.40%

Dinas perikanan dan kelautan
7,119,139,369


6,679,051,000


JUMLAH
437,941,770,806
100.00%

478,085,567,467
100.00%


Secara kalkulatif, berkat forum ’Jaring Asmara’ ini, DPRD mengklaim berhasil merasionalisasi anggaran sebesar 15 % yang sebagian besar merupakan pengurangan belanja aparatur seperti perjalanan dinas luar daerah, belanja kendaraan dinas yang berlebihan, belanja alat-alat studio yang berulang-ulang tiap tahun, dan honorarium pegawai negeri sipil.[26] Komposisi alokasi anggaran pun akhirnya berubah, dari 70 % untuk belanja aparatur atau tidak langsung berbanding 30 % untuk belanja langsung, menjadi 55 % : 45 %.

Memilih Jalur Pemberdayaan dan Marjinal secara Politik; Peran Masyarakat Sipil
Peran kelompok masyarakat sipil di Poso mulai menonjol ketika situasi konflik berangsur mereda. Aktivitas mereka berkutat pada proses pendampingan dan rehabilitasi korban konflik yang bersifat non politis. Namun saat konflik mereda, mereka mulai banyak melakukan aktivitas pemberdayaan masyarakat dengan menetapkan desa sebagai basis wilayah kerjanya. Beberapa kelompok masyarakat sipil kemudian menginisiasi program restrukturisasi dan revitalisasi pemerintahan desa mulai dari penguatan peran Badan Perwakilan Desa (BPD), pelatihan-pelatihan politik untuk tokoh masyarakat, asistensi alur pelaksanaan musrenbang, hingga proyek-proyek teknis seperti pembangunan sumur resapan, dan sebagainya.

Organisasi masyarakat sipil maupun gerakan tidak secara spesifik terlibat dalam proses advokasi proses musrenbang. Mereka hanya terlibat dalam kasus-kasus tertentu, tidak secara sistematis di semua alur. Dengan modal sosial yang dimiliki, organisasi-organisasi seperti LBH, PRKP maupun LPMS baru melakukan advokasi ketika diminta tolong oleh kepala desa menanyakan usulan-usulan warga yang tidak direalisasi ole Pemda. 

Sebagai contoh, pada 2009 sejumlah aktivis dari beberapa organisasi masyarakat sipil melakukan pendampingan di berbagai desa untuk menemui Bupati Piet. Mereka menanyakan mengenai usulan pembangunan baruga atau balai pertemuan masyarakat di kampung. Baruga ini penting bagi warga sebagai wahana sosial bertemunya warga untuk membahas masalah-masalah mereka. Warga protes kepada Bupati karena mereka sebenarnya telah memasukkan pembangunan baruga dalam usulan musrenbang selama bertahun-tahun namun belum juga direalisasi. Akhirnya, atas desakan warga tersebut, Bupati Piet menyetujui proyek pembangunan baruga.[27]

Selain sangat aktif melakukan pemberdayaan nonpolitis di tingkat desa, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan organisasi gerakan juga memelihara koneksi dengan beberapa anggota DPRD. Namun kontak ini tidak terbangun atas kepentingan yang strategis. Mereka hanya menggunakan kontak-kontak dengan anggota Dewan bila memerlukan informasi. Sejauh ini kelompok masyarakat sipil melakukan kontak secara intens hanya kepada 2-3 orang saja dari 45 keseluruhan anggota DPRD.


[1] Piet Inkiriwang, misalnya, membagikan sejumlah traktor kepada petani di daerah Meko, Tentena, yang ternyata tak lain adalah tim suksesnya dalam Pemilu 2009. Wawancara dengan Vincent, pengelola Radio Wasantara, Tentena.
[3] Wawancara dengan Faiz PRKP.
[4] Pelbagai macam pendekatan musrenbang dapat dilihat dalam dasar pemikiran UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam aturan hukum ini disebutkan empat metode pendekatan. Selain partisipatif dan teknokratif, perencanaan pembangunan juga menggunakan pendekatan bawah-atas (bottom-up) dan atas-bawah (top-down).
[5] Wawancara dengan Amir Kusa, anggota DPRD Kabupaten Poso.
[6] Wawancara dengan Franky Karepoan, kepala desa Betania.
[7] Wawancara dengan Ari Pamungkas, camat Poso Kota.
[8] Salah seorang anggota DPRD mengatakan bahwa latar ketegangan ini lebih disebabkan rendahnya penyerapan usulan masyarakat lewat musrenbang khususnya untuk belanja langsung dalam RAPBD yang diajukan pihak eksekutif.
[9] Pasal 344 ayat (1) UU No.27 tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
[10] Wawancara dengan Asparat, Kepala Desa Tongko.
[11] Wawancara dengan Iskandar Lamuka, tokoh masyarakat dan aktivis LPSHAM Poso.
[12] Wawancara dengan Fahmi dan Robert.
[13] Pasal 5 ayat (2) UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
[14] Penjabaran RPJMD Kabupaten Poso 2005-2010 Bupati Piet Inkiriwang dan Wakil Bupati Abdul Muthalib Rimmi.
[15] Penjabaran RPJMD Kabupaten Poso 2005-2010.
[16] Wawancara dengan Mardin, Kepala Desa Tumora.
[17] Laporan AJI Palu yang diterbitkan dalam laporan jurnal Telisik dengan judul “Merawat Api dalam Sekam”, terbitan AJI Palu, Kota Palu, Mei 2008. Halaman 48.
[18] Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi pernah menyatakan jumlah ini dalam sebuah berita di media online. Sumber: Sumber : http://beritaposo.blogspot.com/2008/10/15-pns-poso-masih-mangkir-masuk-kantor.html
[19] Op.Cit
[20] Ibid.
[21] Wawancara dengan Fahmi, sekretaris Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kabupaten Poso, dan juga Robert, seorang kontraktor.
[22] Lihat Keppres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
[23] Wawancara dengan Hamzah Thamrin, Ketua Kadin Kabupaten Poso.
[24] Wawancara dengan Asparat, Kepala Desa Tongko.
[25] Wawancara dengan Azmir Podungge, anggota DPRD Kabupaten Poso dari Partai PAN.
[26] Wawancara dengan Azmir Podungge, anggota DPRD Kabupaten Poso periode 2004-2009 dan 2009-sekarang.
[27] Wawancara dengan Faiz PRKP.


[1] Kabupaten Poso dalam Angka, BPS Kabupaten Poso, 2008.
[2] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Poso 2005-2010.