Wednesday, June 13, 2007

"Darah Juang" di Ibukota

Ketika masih kuliah di Jogja, saya sering mendengar lagu "Darah Juang" dinyanyikan aktivis saat berdemonstrasi. Tiap demo dapat dipastikan lagu ini akan jadi semacam lagu wajibnya.

Namun begitu pindah ke Jakarta, dua tahun ini, saya hanya tahu lagu ini dinyanyikan satu kali saja, yakni saat penguburan almarhum sastrawan Pramoedya Ananta Toer di pekuburan Karet 30 April 2006 lalu.

Jakarta kota yang serba instan. Kota ini mungkin paling padat penduduknya se-Asia Tenggara. Urusan apapun di negara ini pasti terkait dengan Jakarta entah itu soal kelangkaan minyak di pelosok Kalimantan sana atau pembunuhan tokoh adat berpengaruh di Papua.

Bila Anda ingin jadi bintang televisi terkenal, maka mendekatlah ke Jakarta. Hampir tiap minggu selalu muncul bocah-bocah yang didandani menor, rambut di-rebonding, dengan sedikit ponny menutupi jidat. Meski rata-rata umur mereka masih di bawah 15 tahun.

Jakarta dapat dipastikan akan memberi restu untuk jadi populer. Lagu-lagu romantis, manja, dan sedikit cengeng, diluncurkan di setiap penjuru ibukota. Kita bisa menghitung dengan dua telapak tangan dan dua telapak kaki untuk menghitung banyaknya album yang diluncurkan, didengarkan, didendangkan, lewat radio dan televisi.

I do not care! Itu semua hanya tawaran mimpi. Bagi yang merasa nyaman dengan mimpi-mimpi tadi, tak jadi soal. Saya hanya mau mengajak Anda untuk menyimak bait-bait menggugah lagu "Darah Juang" saja. Liriknya sederhana, realis, dan penuh inspirasi, setidaknya buat saya pribadi.

Berikut lirik lengkap "Darah Juang":


Di sini negeri kami
tempat padi terhampar luas
samuderanya kaya raya
tanah kami subur, Tuhan.

Di negeri permai ini
berjuta rakyat bersimbah luka
anak kurus tak sekolah
pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
Bunda, relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat

padamu kami berjanji
padamu kami berbakti

tuk membebaskan rakyat


Lagu ini dikarang oleh John Sonny Tobing, mantan mahasiswa Filsafat UGM pada 1990an. Saya tak pernah kenal dia, tapi saya kenal karyanya. Bila lagu ini masuk dapur rekaman, saya kira, dia patut mendapat banyak royalti.

Namun saya tahu industri rekaman sebuah bentuk kapitalisasi yang cukup nyata. Lagu "Darah Juang" hanya digemari oleh kalangan terbatas, cukup terbatas untuk ukuran pasar rekaman lagu. Pasar tidak melihatnya sebagai potensi yang cukup menguntungkan.

Selain itu, umumnya aktivis sosial yang sering menyanyikan lagu ini adalah mereka para penentang kapitalisme dan globalisasi ekonomi. Dua terminologi yang merupakan jelmaan terbesar dari apa yang kita sebut sebagai 'pasar'.








Monday, June 11, 2007

Mana Putusan, Mana Pertimbangan


Oleh Widiyanto

Jimly Asshiddiqie bukanlah seorang politikus yang suka membuat pernyataan sikap kepada media. Ia hanya seorang hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, pada pertengahan Februari 2005 lalu, tampaknya Jimly harus melakukan klarifikasi, seperti laiknya politikus, ke media atas putusan perkara 069/PUU-II/2004 tentang permohonan pengujian Pasal 68 Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi—disingkat KPK yang diajukan oleh Bram H.D. Manoppo, Direktur Utama PT. Putra Pobiagan Mandiri.

Bermula dari penetapan tersangka pada Manoppo—rekanan Gubernur Aceh non-aktif, Abdullah Puteh pada kasus pembelian helikopter yang diduga mengandung korupsi—pada 8 Oktober 2004 silam oleh KPK. Sebuah lembaga negara baru dan independen yang didirikan berdasarkan UU KPK.

Meski lembaga baru, kewenangan penyelidikan yang dimiliki KPK luar biasa. Di antaranya diperbolehkan menyadap dan merekam pembicaraan; memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; serta menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.

Pada kasus Manoppo, KPK mendasarkan kewenangan penanganannya dari Pasal 6 c UU KPK yang berbunyi, ”Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”

Bram Manoppo rupanya keberatan dengan tindakan KPK ini. Alasan Manoppo, kasus yang disangkakan pada dirinya terjadi (tempos delicti) antara tahun 2001 hingga Juli 2002, sedang UU KPK sendiri baru disahkan pada 27 Desember 2002. Sang direktur menganggap KPK telah menabrak asas legalitas, karena telah melakukan tindakan hukum terhadap perkara yang terjadi sebelum KPK terbentuk (retroaktif).

Dalam dalil permohonannya, Manoppo juga mengklaim akibat pemberlakuan pasal 68 UU KPK, dirinya telah mengalami kerugian konstitusional dan hak asasi yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Pernyataan yang kemudian dalam persidangan dibantah tegas oleh KPK.

Banyak orang beranggapan putusan atas kasus ini merupakan batas ukur keseriusan institusi hukum dalam memberantas korupsi. Apakah akan ditolak yang berarti eksistensi lembaga super-body anti-korupsi KPK diakui, atau diterima yang berarti KPK tak berwenang menangani korupsi yang terjadi sebelum 27 Desember 2002. Para aktivis antikorupsi pun menunggu pembacaan putusan dengan harapan, tentunya, Mahkamah Konstitusi akan menolak permohonan Bram Manoppo.

Dari empat suratkabar—Koran Tempo, Kompas, Sinar Harapan dan Media Indonesia—yang saya analisis, Koran Tempo menampilkan berita paling awal. Muncul tepat pada hari pembacaan putusan 15 Februari 2005, Koran Tempo mengambil judul besar “Mahkamah Konstitusi Didesak Tolak Uji Materiil Asas Retroaktif KPK”. Narasumbernya empat orang, kesemuanya aktivis antikorupsi. Tercatat nama macam Sudirman Said dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Lucky Djani dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Todung Mulya Lubis dari Transparency International-Indonesia (TI-I) dan Romly Atmasasmita, Koordinator Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi.

Dari sini, saya kira, terlihat jelas agenda setting Koran Tempo yang mendukung kalangan aktivis antikorupsi agar pleno hakim konstitusi menolak permohonan Manoppo. Di saat-saat media lain menunggu pembacaan putusan, Koran Tempo telah melontarkan wacana penolakan permohonan. Sepertinya Koran Tempo tak ingin sekadar memberitakan putusan, namun sebisa mungkin mempengaruhinya lewat agenda kepentingan yang mereka usung.

Akhirnya, Asshiddiqie dan delapan anggota hakim konstitusi yang tergabung dalam pleno hakim konstitusi menolak permohonan gugatan Bram Manoppo. Semua sepakat, tak ada yang berpendapat berbeda (dissenting opinion). Namun pertimbangan hukumnya dinilai sebagian kalangan tak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.

MK, seperti dalam pertimbangan putusan, berpendapat bahwa Pasal 68 Undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK dapat mengambilalih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannya UU KPK (vide pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide pasal 70).

Sikap MK ini kemudian menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ada yang berpendapat KPK tak berwenang menangani korupsi sebelum 27 Desember 2002. Sumber pendapat ini berasal dari pertimbangan hukum hakim. Sedang pendapat lain KPK tetap berwenang menyelidiki, menyidik, hingga menuntut korupsi sebelum 27 Desember 2002 yang bersumber dari amar putusan hakim.

”Putusan itu memang menyatakan permohonan Bram ditolak, namun ada pertimbangan yang tentunya menguntungkan Bram—soal kewenangan KPK menyidik kasus korupsi sebelum KPK beroperasi. Menariknya, putusan MK kali ini bulat tanpa dissenting opinion (perbedaan pendapat) di antara para hakim. Putusan MK itu tentunya merupakan hal baru, khususnya mengenai ‘kekuatan’ dari sebuah pertimbangan hukum hakim konstitusi, apakah mengikat atau tidak. Kita lihat saja,” kata Budiman Tanuredjo, Redaktur Kompas kepada saya.

Realitas media juga pada kenyataannya membelah. Saya menggunakan frekuensi pemberitaan, pilihan narasumber dan editorial sebagai bahan analisis untuk melihat bagaimana kecenderungan media dalam kasus putusan MK atas gugatan Manoppo ini.

Sehari selepas pembacaan putusan, empat suratkabar yang saya analisis turut memberitakan. Kompas menampilkannya dalam headline halaman pertama dengan judul “MK: KPK Tak Berwenang Tangani Perkara Sebelum Desember 2002”. Suratkabar ini mengutip lima orang narasumber di antaranya Asep Rakhmat Fadjar, Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI). Asep mengatakan, ”yang cukup disesalkan, putusan MK ini bertentangan dengan semangat dan filosofi KPK sebagai instrumen pemberantas korupsi yang dianggap bermasalah dari lembaga hukum lain. Putusan ini jelas preseden buruk yang bisa menjadikan koruptor-koruptor sebelum KPK berdiri tak bisa dijangkau.”

Koran Tempo menurunkan komentar Ketua KPK, Taufiequrachman Rukie, yang menyatakan kekecewaannya. ”Sesungguhnya KPK berharap majelis hakim MK seharusnya dan diharapkan mampu menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan tujuan diterbitkannya UU Nomor 30 Tahun 2002.” Dalam berita yang sama, Todung Mulya Lubis mengomentari, ”Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak membahas masalah substansi kalau sudah berkesimpulan dengan legal standing.”

Sementara Sinar Harapan memberitakan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap dapat membebaskan terdakwa korupsi , meski jelas-jelas putusan hakim konstitusi menolak permohonan Manoppo.

Dari sini saya menilai ketiga suratkabar—Kompas, Koran Tempo, Sinar Harapan—menurunkan pemberitaan yang kurang cermat. Tidak tegas membedakan mana putusan mana pertimbangan hukum. Bagi saya, ketiga media hanya memberitakan bagian pertimbangannya saja untuk direproduksi kepada publik. Warga hanya dijejali bagian pertimbangan hukum yang dianggap kontroversial, walau pertimbangan hukum tak punya daya mengikat.

Sedang amar putusan hakim konstitusi tak diberitakan secara proporsional. Ada fenomena menarik di sini. Media terkesan sebagai alat yang hanya mereproduksi wacana kontroversial bagi publik, walau terkadang wacana tersebut belum tentu benar.

Kritikan atas ketidakakuratan media datang dari Refly Harun, asisten hakim di MK. Dalam kolomnya di Koran Tempo, Refly mengatakan berita-berita yang berkembang di media massa kadang tidak cukup komprehensif merekam kejadian sesungguhnya. Sering sebuah media hanya memuat moment opname dari sebuah kejadian. Lalu para komentator yang mengiringinya hanya melandaskan diri pada berita tersebut. Akibatnya, sering terjadi distorsi dalam sebuah diskursus yang berkembang.

Bagi saya hanya Media Indonesia yang menurunkan berita dengan tepat sehari setelah pembacaan putusan. Dengan porsi di halaman lima, di dalam boks kecil dengan panjang lima kolom, Media menurunkan berita dengan judul tegas: “MK Tolak Permohonan Hak Uji Materiil KPK”. Narasumbernya Jimly Asshiddiqie dan Taufiequrachman Rukie. Dari pilihan judul, Media menunjukkan putusan MK yang punya kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno.

Selama empat belas hari setelah putusan, Kompas dan Koran Tempo menurunkan pemberitaan sebanyak delapan kali. Kedua harian ini punya intensitas pemberitaan lebih pada kasus permohonan Bram Manoppo ini dibanding Sinar Harapan yang menurunkan lima kali, dan Media Indonesia hanya dua kali.

Intensitas pemberitaan sebuah media terhadap kasus-kasus tertentu—dalam kasus ini permohonan Manoppo—menunjukkan bagaimana porsi penilaian media pada kasus tersebut. Dengan memberikan porsi yang besar, sebuah media dapat diyakini punya perhatian lebih atas masalah tersebut. Dan kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik secara umum, macam korupsi, kejahatan kemanusiaan, soal diskriminasi rasial, sudah selayaknya mendapat porsi berlebih oleh media.

Memang meliput persidangan bukan perkara mudah. Kerja peliputan ini perlu memperhatikan aspek-aspek tertentu yang tak dijumpai dalam peliputan sektor lain. Pemeriksaan pengadilan menonjolkan perselisihan antara manusia dengan manusia, antara warga dengan negara. Pengadilan merupakan kristalisasi ketegangan antar mereka. Untuk meliput di pengadilan yang baik, misalnya, menangkap puncak peristiwa yang terjadi di pengadilan, wartawan harus memahami bahwa pemeriksaan pengadilan adalah pemecahan perselisihan.

Amando E. Doronila, bekas wartawan The Age, dalam buku Wartawan Asia mengatakan bahwa dalam meliput pengadilan, ada tiga pertimbangan yang dapat dijadikan pegangan wartawan. Pertama, menjelaskan dan menafsir masalah yang disidangkan. Wartawan punya hak untuk mengintepretasikan masalah pengadilan tanpa harus keluar dari konteks hukum yang ada. Wartawan tidak boleh melakukan penghakiman terhadap seseorang yang belum divonis oleh pengadilan. Pun demikian dengan substansi masalah yang hendak diputus majelis.

Di lingkungan kehakiman Indonesia, MK merupakan lembaga peradilan baru yang muncul berdasar konstitusi hasil perubahan. Tugasnya memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi; pembubaran partai politik; perselisihan hasil pemilihan umum; dan memutuskan pendapat Presiden dan Wakil Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum.

Dengan tugasnya itu, MK wajib memberikan putusan. Putusan majelis MK bersifat tetap setelah pembacaan putusan selesai. Wartawan yang meliput gugatan Manoppo setidaknya punya bekal ini untuk mengintepretasikan putusan untuk membuat berita. Bukan pertimbangan hukumnya.

Pedoman kedua yang perlu dilakukan wartawan dalam meliput pengadilan adalah membuat berita mudah dimengerti bagi pembaca. Hukum, kata Armando, punya kosakata teknis sendiri. Kosakata itu sejenis kode yang hanya dimengerti oleh ahli hukum atau mereka yang terlibat dalam profesi hukum, dan yang dapat amat membingungkan bagi banyak orang.

Armando lantas menyarankan tugas wartawan adalah menembus tembok bahasa ini. Dalam berita permohonan Manoppo, kata ‘retroaktif’ adalah kata yang paling sering muncul, karena asas inilah yang jadi bahan permohonan Manoppo. Kata ini hanya dimengerti kelompok hukum saja. Mengacu pada pertimbangan kedua menurut Armando, istilah yang macam ini kiranya perlu diberi penjelasan agar banyak pihak yang mengetahui maksudnya.

Pedoman ketiga menurut Armando, wartawan diharapkan menangkap warna dan jalannya pengadilan sehingga memungkinkan pembaca memandang perjuangan hukum dalam arti manusiawi. Tapi, kata Armando, warna tidak boleh menyilaukan wartawan sehingga ia tidak melihat masalahnya, sebab kalau demikian, maka arti sesungguhnya dari pengadilan tidak sampai ke pembaca. Pertimbangan hukum berikut saksi-saksi kasus gugatan Manoppo, menurut saya, adalah warna dalam persidangan itu.

Dalam sidang pengadilan, saksi, hakim, pengacara, penggugat, tentu punya peran masing-masing. Dalam meliput sidang, mereka adalah pihak-pihak yang patut jadi narasumber utama.

David Protess, seorang professor di Medill School of Journalism di Universitas Northwestern yang mengenalkan teori ‘Tiga Lingkaran Konsentris’. Teori ini digunakan untuk menghasilkan laporan akurat, detail dan komprehensif. Tiga Lingkaran Konsentris diwujudkan dalam tiga buah lingkaran dengan sebuah titik pusat untuk menandai tingkat kompentensi sumber.

Di lingkaran paling luar adalah sumber berupa dokumen tangan kedua, seperti kliping suratkabar. Lingkaran berikutnya adalah berupa dokumen tangan pertama, dokumen pengadilan seperti kesaksian dan pernyataan. Lingkaran ketiga adalah orang-orang, para saksi. Sedang pada lingkaran terdalam adalah apa yang disebut Protess sebagai para sasaran—pengacara, penggugat, hakim.

Dalam kasus permohonan Manoppo, KPK, hakim konstitusi, penasehat hukum Manoppo adalah lingkaran pertama sumber. Namun penelitian saya menunjukkan media lebih banyak mengutip komentar para aktivis dan para praktisi hukum yang sebenarnya tak punya keterkaitan langsung pada kasus Manoppo. Dengan mengutip narasumber dari luar lingkaran pertama, maka substansi masalah akan semakin kabur karena media hanya mendasarkan pernyataan psikologis narasumber yang belum tentu benar konteks masalahnya.

Budiman Tanuredjo punya pendapat lain soal ini. Baginya, siapa pun boleh berkomentar. Aktivis antikorupsi, aktivis atau apa pun namanya yang bergelut dengan diskursus hukum tata negara tentunya punya kompetensi untuk memberikan penilaian terhadap putusan MK. ”Ahli hukum tata negara pun ikut memberikan komentar,” kata Budiman.

Analisa Isi Pemberitaan pada Putusan Mahkamah Konstitusi atas Kasus Gugatan Uji UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
(15-28 Februari 2005)

Nama Media Jumlah Berita Jumlah Narasumber
hakim KPK PH Aktivis Praktisi Total
1. Kompas 8 3 6 0 11 7 27
2. Koran Tempo 8 5 3 4 10 6 28
3. Media Indonesia 2 1 1 0 0 4 6
4. Sinar Harapan 5 4 1 0 2 7 14

Kamis, 17 Februari, Koran Tempo dan Sinar Harapan menurunkan editorial mengenai putusan MK atas permohonan Manoppo. Dari editorial, kita bisa mengetahui bagaimana sikap media terhadap kasus-kasus tertentu.

Koran Tempo menurunkan tajuk dengan judul “Bukan Soal Retroaktif”. Dinyatakan bahwa putusan MK sudah tepat. Seperti tak ikhlas mendukung putusan, Koran Tempo menyayangkan pertimbangan hukum yang dinilai kurang tegas. Suratkabar ini selanjutnya menegaskan sikap bahwa asas retroaktif yang disebut dalam konstitusi ini jelas tak ada hubungan sedikit pun dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 karena perangkat hukum ini hanya mengatur soal KPK. Apalagi, lanjutnya, kejahatan korupsi sudah dianggap sebagai pelanggaran hukum sejak Republik Indonesia berdiri.

Di akhir editorialnya, Koran Tempo berpesan agar MK sepatutnya segera menyebarkan keputusan yang sudah tepat ini ke masyarakat, termasuk memberi penjelasan yang tegas mengapa tak ada persoalan asas retroaktif pada UU Nomor 30 Tahun 2002. Hal ini diperlukan agar KPK terbebaskan dari kemungkinan gugatan uji materiil serupa di masa depan, sehingga lebih berkonsentrasi melakukan tugas utamanya memberantas korupsi.

Sinar Harapan mengambil judul “Negara Tanpa Kepastian Hukum” sebagai editorialnya menyikapi putusan MK. Suratkabar sore ini mengatakan secara hipotetis, pertimbangan hukum MK diperkirakan akan menimbulkan penurunan dukungan kepada KPK, karena lembaga ini hanya akan dipandang sebelah mata.

Para pembela koruptor, tulis Sinar Harapan, akan mengibarkan bendera perang menentang pengadilan dengan senjata putusan KPK, koruptor akan semakin bersemangat mencuri tanpa takut terkena jerat hukum. Koran ini berpendapat bahwa mengenai sah tidaknya atau berwenang tidaknya KPK menyelidiki, menyidik dan menuntut perkara korupsi, serta sah tidaknya dan berwenang tidaknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk memeriksa dan mengadili perkara korupsi sebelum 27 Desember 2002 biarlah Mahkamah Agung yang memutuskan, apabila perkara a quo di tingkat kasasi.

Sikap editorial Kompas berjudul “Pemberantasan Korupsi Tinggal Butuh Kemauan” menyesalkan putusan MK dan cenderung menyalahkan personal aparat. Kompas menulis putusan dari MK bukan hanya membuat harapan (pemberantasan korupsi) itu menjadi meredup. Yang lebih menonjolkan dirasakan adalah tak ada lagi harapan untuk menyentuh kasus-kasus besar yang terjadi sebelum 27 Desember 2002. Berbagai kasus yang diduga merugikan masyarakat banyak ibaratnya tidak mungkin bisa disentuh.

Bahwa kemudian UU itu tidak cukup bertaji memberantas korupsi, tulis Kompas, persoalannya bukan terletak pada UU-nya. Persoalannya terletak pada orang yang seharusnya menggunakan UU itu sebagai alat. Mereka tak bisa memanfaatkan secara optimal kekuatan yang berada dalam peraturan hukum itu.

Realitas media tentu bukan realitas yang otonom. Konstruksi realitas media dipengaruhi oleh beragam faktor: struktur redaksi, pemasang iklan, bagian perusahaan, pemilik media, hingga kompetensi personal wartawan. Dalam putusan MK atas gugatan Manoppo ini, saya kira, ketidakcermatan pemberitaan suratkabar lebih didorong pada kompetensi personal wartawan yang tak dapat membedakan mana putusan mana pertimbangan hukumnya. Mana yang punya kekuatan mengikat dan eksekutorial, mana yang tidak.

Namun akibat tulisan wartawan yang kurang cermat, pertimbangan hukum direproduksi terus oleh media, Jimly dan hakim konstitusi lainnya hanya bisa buru-buru klarifikasi atas ketakcermatan media ini. ”Untuk populer, kami sudah tahu caranya,” katanya pada Koran Tempo.


Tulisan ini pernah dimuat di jurnal hukum "JENTERA" PSHK edisi 09/Mei 2005 dengan tema utama 'Korupsi'.

Sunday, June 10, 2007

Gerakan Massa Max Lane

Bila kita bertanya siapa yang paling berpengaruh dalam proses demokrasi di Indonesia, seorang Max Lane pasti akan menjawab "gerakan massa".

Demikian tesis Max Lane yang lebih dari tiga puluh tahun bergelut dengan politik dan demokrasi di negeri ini. Pria asal Australia ini kembali menegaskan hal itu di atas podium ketika peluncuran bukunya "Bangsa Yang Belum Selesai" dan jurnal "Reform Review", Selasa (22 Mei 07) lalu. Buku dan jurnal diterbitkan oleh Reform Institute, sebuah lembaga nonpemerintahan.

Lane mengucapkan terima kasih kepada almarhum sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang telah meletakkan kerangka pemikirannya tentang bangsa kepada dirinya. Pikiran-pikiran Pram ini belakangan menjadi inspirasi bagi Lane untuk menulis buku ini.

Malam itu Lane mengenakan kemeja batik dan celana krem. Orangnya tambun. Rambutnya putih. Dia memberikan sambutan dengan bahasa Indonesia dengan lancar meski sempat pula tertatih-tatih.

Pertautannya dengan Pram terjadi sekira 20 tahun lalu. Saat itu Lane menjadi staf Kedutaan Australia di Jakarta dengan jabatan sekretaris dua pada seksi bantuan pembangunan.

Di sela-sela kesibukannya sebagai diplomat saat itu, Lane mempunyai aktivitas politik yakni menerjemahkan karya-karya besar Pramoedya ke dalam bahasa Inggris, antara lain "Cerita dari Blora" dan tetralogi Buru yang termasyhur itu: "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca".

Pemerintah Australia yang pro-Jakarta lantas memberhentikan Lane secara halus karena aktivitasnya ini.

Menurut Max Lane gerakan massa memiliki pengaruh penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Pada masa Orde Baru Soeharto, gerakan ini diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat dan tokoh demokrasi seperti Abdurrahman Wahid.

"Gerakan Kedung Ombo tahun 1989 besar kontribusinya mendorong gerakan massa yang kelak mendorong jatuhnya Soeharto," kata Lane. Dia mengatakan gerakan massa di angkatan ini memiliki keunggulan dibanding gerakan massa sebelumnya, pada 1965.

Gerakan massa pada 1980an relatif 'memiliki jarak' dengan angkatan sebelumnya. Selain itu, gerakan ini memiliki jaringan internasional yang lebih luas.