Monday, November 12, 2007

Turap Pengembang Diterjang Banjir



Sabtu sore (10/11) turap depan rumah sepanjang 10 meter ambrol tergerus air Kali Cijantung. Jalan depan rumah yang semula lebarnya tiga meter, nyaris habis, tersisa kurang dari semeter.

Sebenarnya warga kavling Rumbut, Pasir Gunung Selatan, Cimanggis Depok, sudah jauh hari mengingatkan Haji Agus, pengembang kavling kami, soal turap yang ambles. Kami mengamati turap dikerjakan dengan ngawur dan salah. Ini fatal karena turap ini selain berfungsi sebagai penahan arus, ia juga digunakan untuk menopang jalan.

Tiap kali komplain ke pengembang, warga hanya mendapat jawaban yang saya yakin sudah dihapal warga di luar kepala: “Siaaap, akan kami perhatikan, pak.” Itu saja. Memang satu dua ada realisasi janji, tapi kebanyakan tidak dilaksanakan atau molor.

Ketika banjir pada Februari lalu, jalan depan rumah no.12 ambles. Rumah ini letaknya selisih dua rumah sebelah kanan rumah saya. Waktu itu, adonan semen yang semula menutupi jalan tak kuat karena lapisan tanah di bawahnya turun. Permukaan pun ambrol. Pelan-pelan mulai ketahuan kalau struktur jalannya enggak bener. Saat itu pengembang hanya menambal bagian yang amblas.

Turap ala pengembang dibikin lewat cara yang murah. Strukturnya tak memperhatikan ‘tanah urukan’ yang mudah hanyut terbawa air. Turap versi pengembang disusun dari batu kali dengan adonan semen. Di bawahnya tak ada ‘batu bronjong’ sebagai pemecah gelombang dan pondasinya. Ini sudah keliru. Karena dengan hanya mengandalkan kekuatan batu yang dilumuri semen, ia rentan jebol. Belum lagi sudah terbukti adonan semennya amat sedikit.

Kekurangan turap pengembang lainnya adalah mengisinya dengan tanah urukan. Jenis tanah ini kurang solid. Sehingga begitu aliran air mulai menyerempet, tak sampai menggerus, ia akan mudah larut. Turap perlu lapisan bawah yang tahan terhadap air. Idealnya ada campuran pasir dan pecahan batu alias ‘sirtu’ untuk pelapis bawah. Untuk lebih kuat, maka dikasih paku bumi.

Menurut Nur Islam, perwakilan dari pihak pengembang, mereka tak menyangka kejadian akan seperti ini. Mereka seperti sudah kehabisan akal. Dalam pandangan warga, pengembang hanya ingin mengeluarkan biaya semurah-murahnya dan kurang memperhatikan tingkat keamanan rumah. Jebolnya turap kali ini merupakan perwujudan sikap pengembang itu.

Sabtu malam, atas saran warga, untuk sementara tanah jalan yang tersisa dipatok dengan bambu agar tanah tak langsung terseret air. Pengembang berjanji bila air surut, mereka akan membuat turap baru dengan ‘batu bronjong’ agar kejadian membahayakan ini tak terulang. Haji Agus yang datang pada Minggu malam bilang akan menguatkan turap dengan paku bumi. Ia janji akan bertanggungjawab.

Gara-gara ambrolnya turap ini, aktivitas warga kavling bawah sebanyak enam keluarga, jadi terhambat. Istri saya yang seharusnya Minggu ini ada pelatihan di kantor, terpaksa membatalkan karena kuatir kondisi akan makin memburuk. Jadwal kondangan pada malamnya pun dia urungkan.

Warga meronda pada malam hari untuk berjaga-jaga mengantisipasi kemungkinan terburuk. Semua sepeda motor sejak Sabtu sore sudah dipindah ke rumah tetangga yang rumahnya di sebelah atas. Warga memang tak sampai mengungsi, namun kejadian ini cukup membuat kami merasa was-was.

Sampai Minggu (11/11) jam 12 siang, kondisi turap makin mengkuatirkan. Tak tampak lagi susunan batu turap yang dibikin pengembang di depan dan sebelah kanan rumah. Sisa jalan depan rumah saya barangkali tak lebih dari 40 cm. Warga hanya mengandalkan bekas pohon nangka yang ditebang sebagai penopang. Pohon ini dulu tertutup rapat oleh jalan.

Ini pelajaran berharga bagi pengembang yang ceroboh.

Tuesday, November 6, 2007

Lebaran di Kampung Halaman


Bulan lalu, kami, seperti halnya semua umat Islam di belahan bumi lainnya, merayakan Idul Fitri. Biasanya, kami melakukan tradisi sungkeman pada orang tua, kakek, nenek, paman, sepupu, bibi, adik, sampai tetangga terdekat di kampung.

Saya dan istri berangkat pada 9 Oktober atau empat hari sebelum Lebaran karena memang kami kebagian tiket kereta tanggal itu. Sebenarnya saya berharap bisa pulang paling tidak pada keesokan harinya. Jatah cuti dan ijin dari kantor saya hampir habis. Jadi bila selisih sehari, saya bisa hemat sisa cuti untuk liburan akhir tahun.

Dari Jakarta saya menuju Jogja, tempat mertua. Di sana baru ada ibu mertua dan kakak ipar saya yang tiga minggu sebelumnya telah melahirkan anak keduanya. Bapak mertua, adik dan kakak ipar belum pulang. Mereka masih di tempat kerja masing-masing, di luar kota. Altof, keponakan pertama dari istri, senantiasa menunggu kedatangan kami. Dia laki-laki campuran Jawa-Betawi. Umurnya empat tahun.

Di Jogja kami tak sempat bepergian. Saya malas keluar siang bolong. Cuacanya sangat panas. Udara terasa amat kering. Debu. Bikin mata cepat pedih. Sebelum Lebaran, saya hanya dua hari berada di Jogja.

Kamis (11/10) saya berangkat ke Kudus sendirian. Istri akan menyusul bareng mertua dan kakak ipar. Seperti biasa, mereka akan mampir ke rumah Kudus sebelum berangkat ke rumah mbah di Pati. Kami merayakan takbiran di Kudus.

Saya jarang sekali pulang rumah. Saya ingat tahun ini saya hanya pulang sekali. Ada suasana rindu dekat dengan orang tua, adik-adikku, dan juga kakek-nenek yang sudah menua. Proses ini menjadi sarana refleksi personal bagi saya. Betapa tidak berartinya saya bila tanpa mereka semua.

Ada tradisi rutin di keluarga kami yang telah berjalan sekira empat tahun. Sejak 2003 lalu, keluarga besar kami selalu bikin 'Halal bi Halal' bersama pada hari kedua Lebaran. Ada sekira 40 keluarga yang ikutan. Semua ini dari keluarga besar kakek buyut kami bernama Mbah Djasmin Partowikardjo. Mbah Djasmin ini seorang guru sekolah rakyat pada zaman Belanda.

Mbah Djasmin pernah punya kebun kelapa yang luas di kampung. Menurut Pak De Rusmanto, tiap pohon kelapa miliknya ditandai dengan nomor urut untuk memudahkan orang memetiknya. Jadi dia tahu kira-kira pohon kelapa mana yang akan dipanen pada hari ini, mana yang akan dipanen selanjutnya. Saya merupakan generasi keempat Mbah Djasmin.

Ada rencana dalam keluarga besar kami untuk membuat buku tentang Mbah Djasmin. Bagaimana kehidupannya, apa nilai-nilai yang dia pegang dalam menjalani kehidupan, bagaimana kondisi keluarga. Saya diminta untuk koordinator pembuatan buku ini. Saya akan dibantu beberapa sepupu untuk melakukan riset data, foto keluarga, maupun wawancara dengan mbah-mbah yang tak lain adalah anak Mbah Djasmin.

Halal bi Halal kali ini berlangsung di kediaman Om Suyatno. Dia suami Lik Retno, adik nomor empat dari almarhum Bapak saya. Acaranya ramai. Hidangannya enak. Ada lele, ayam goreng, urap. Yang paling laris es cendolnya. Betapa besarnya keluarga ini.