Thursday, December 13, 2007

Janet Steele on the Picture



Ini adalah gambar Janet Steele bersama Goenawan Mohamad, serta teman-teman Pantau. Paling kiri Kokoh, Eva, Mbak Mini, dan paling kanan Yusrianti Pontodjaf. Saya sengaja mengambil posisi paling belakang. Saya bukan tipe fotogenic.

Foto ini diambil oleh Andreas Harsono. Saat itu kami bareng-bareng datang ke launching buku "Wars Within" tentang majalah Tempo karya Janet Steele di Klab Rasuna Kuningan, sekitar Juli 2005 silam. Janet perempuan yang sangat ramah dan rendah hati. Dia orang yang suka memberi semangat.

Terus terang saya beruntung berkesempatan mengikuti kursus jurnalisme sastrawi pada angkatan VI pada Juni 2004. Bersama Andreas, dia mengajar kami delapan sesi selama dua minggu. Saya merasa mendapat banyak manfaat dari kursus ini. Bagaimana membuat engine, membuat detail dalam tulisan hingga meresapi bagaimana kerja video ketika menulis.

Ketika meminta tanda tangan di buku yang saya beli saat launching itu, Janet masih ingat saya. Dia membubuhkan paraf dengan sedikit coretan yang kira-kira bunyinya begini: "Buat sahabat dan mahasiswa, Mas Widiyanto".

Sekira tiga minggu lalu ada kabar sedih dari Janet. Dari Florida, tepat di hari Thanksgiving, dia berkirim surat ke Andreas dan teman-teman Pantau kontributor, bilang bahwa ibunya baru saja meninggal dengan tenang.

Kematian ibu cukup damai dan dia tidak menderita, kata Janet. Semoga tabah.

Wednesday, December 12, 2007

"Kulo Ndiko Sami"

Program nonton dan diskusi film PSHK bulan ini menghadirkan film dokumenter "Kulo Ndiko Sami" tentang komunitas sedulur sikep atau populer disebut komunitas Samin. Film diputar Jumat (07/12) dihadiri dua puluhan orang.

Komunitas sedulur sikep tersebar di sebagian Pati, Kudus, Blora, Purwodadi hingga Bojonegoro. Setting cerita film ini adalah komunitas sedulur sikep Sukolilo, Pati. Sutradaranya Gunritno,Mokh. Sabirin dan Rabernir.

Dalam kosakata bahasa Indonesia, 'Kulo Ndiko Sami' berarti saya, Anda setara. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara satu orang dengan orang lain dalam komunitas ini. "Salah satu ciri khas dari komunitas ini adalah mereka sangat egaliter," kata Aa Sudirman, wartawan harian Suara Pembaruan yang pernah memfasilitasi beberapa masyarakat adat.

Film menceritakan bagaimana susahnya anggota komunitas ini mendapatkan kartu identitas penduduk lantaran penolakan mereka untuk mencantumkan kolom agama yang selama ini diakui di Indonesia. Komunitas sedulur sikep menganut ajaran Adam. Tak ada ritual tertentu seperti halnya shalat untuk Islam atau kebaktian di kalangan Kristen.

Sebagian dari komunitas sedulur sikep memilih mengosongi kolom agama dalam KTP karena mereka berprinsip lebih baik demikian ketimbang diisi dengan ajaran yang tidak mereka ketahui. Secara pribadi saya berpendapat ini merupakan bentuk pemaksaan negara terhadap keyakinan warganya.

Akibat penetrasi sosial yang cukup tinggi, sebagian dari mereka memilih terpaksa mencantumkan agama tertentu di KTP-nya. Mengingat kepemilikan KTP memiliki efek domino yang penting. Untuk mengurus surat ijin mengemudi, untuk pemasangan listrik, untuk bukti kepemilikan motor, atau bukti kepemilikan rumah.

Di film berdurasi 17:55 menit ini diceritakan sejumlah anggota komunitas sedulur sikep sempat mendatangi kecamatan hingga anggota dewan setempat. Hasilnya tak memuaskan. Kedua pejabat mengelak membantu karena soal agama sudah diatur dalam aturan pemerintah.

Di bawah remang-remang lampu minyak, komunitas sikep ini lantas berunding mengadakan musyawarah atau sesawrungan untuk membicarakan hal ini. Mereka berembug bagaimana bila mereka mendatangi parlemen di Jakarta. Satu hal yang tak selesai dari film ini.

Inti dari film ini adalah cerita tentang perjuangan komunitas adat yang sudah ada bahkan sejak Indonesia belum lahir, dalam melawan negara lewat aturannya yang represif.

Sejarah mencatat komunitas ini lahir dari sosok Samin Surontiko, seorang antikolonial Belanda yang hidup di sekitar Blora pada abad 19. Dalam melakukan perlawanannya, Samin menggunakan taktik antikekerasan, namun dengan cara-cara yang mbalelo atau ngeyel terhadap penjajah. Mereka menolak membayar upeti yang diminta Belanda.

Komunitas ini juga enggan membayar pajak tanah. Mereka menganggap tanah yang mereka tempati adalah tanah miliknya sendiri, bukan tanah milik negara. Jadi mengapa harus membayar? Ini merupakan satu contoh taktik mbalelo komunitas Samin.

"Kekuatan mereka ada di kata-kata," ucap Aa Sudirman.