Monday, January 28, 2008

"Indonesian Comfort Women"


Nasib ribuan mantan gadis penghibur--biasa disebut jugun ianfu--semasa pendudukan Jepang awal 1940an sampai sekarang masih terlunta-lunta. Mereka hidup menua, lelah, dengan raut muka yang redup namun bersemangat.

Para jugun tak memperoleh perhatian serius baik dari Pemerintah Jepang bahkan Pemerintah Indonesia sendiri. Banyak di antara mereka yang meninggal dalam kondisi yang mengenaskan.

Ini terlontar dalam diskusi film bulanan PSHK yang diselenggarakan Jumat (25/01) lalu. Kali ini kami menampilkan film berjudul 'Indonesian Comfort Women' yang disutradarai Lexy Rambadeta. Sebagai pembahas Reny Pasaribu, peneliti PSHK yang pernah meneliti korban-korban perkosaan di masa peperangan. Jugun ianfu jadi satu obyek riset Reny yang dikerjakan lima tahun lalu itu. Nonton bareng sore itu, dihadiri sepuluhan orang yang mayoritas perempuan.

"Sebenarnya Jepang telah memberikan bantuan, tapi itu diberikan kepada pemerintah. Bukan kepada korbannya secara langsung," kata Reny. Jepang memberikan berbagai kemudahan kredit buat Indonesia. Negara itu juga menempati peringkat teratas negara yang paling banyak menanamkan investasi.

Jepang ikut mendanai proyek-proyek besar macam pembangunan Jembatan Ampera di Palembang, Sumatera Selatan, meski tak ada catatan gadis-gadis belia di wilayah ini yang menjadi korban perbudakan seksual tentara Jepang, awal 1940an.

Reny mengatakan yang menjadi jugun ianfu tak cuma dari Indonesia, tapi juga negara-negara Asia lain yang dulu sempat diduduki tentara Jepang. "Paling banyak korban adalah Korea Selatan," katanya.

Hingga saat ini Pemerintah Jepang tidak pernah secara resmi meminta maaf atas kekejaman tentaranya dulu, meski kasus ini sudah jadi isu internasional. Memang, menurut Reny, PM Hasimoto pernah meminta maaf pada 1993, tapi tiga tahun kemudian permohonan maaf itu ditarik kembali.

Pada 1990an, sekelompok aktivis hak asasi manusia mengadakan semacam 'International Tribunal' untuk menghukum Jepang atas kasus jugun ianfu ini. Pengadilan ini merupakan pengadilan alternatif mengingat pengadilan baik di Jepang maupun di Indonesia telah gagal menghadirkan keadilan kepada korban. Banyak mantan jugun ianfu yang hadir di 'pengadilan' itu antara lain Mardiyem, ikon perjuangan jugun ianfu yang meninggal dunia akhir Desember lalu.

Bila tak ada komitmen negara yang jelas, tampaknya kasus jugun ianfu ini bakal berakhir seperti tragedi kemanusiaan lainnya yang terjadi di Indonesia: gelap hingga ujung waktu.


Note: photo taken from swaramuslim.com

Sunday, January 27, 2008

Soeharto dan Perdebatan Kecil


Soeharto, mantan diktator dan penguasa 32 tahun Indonesia itu, Minggu (27/01) siang pukul 13.10 kemarin, meninggal dunia dalam usia 86 tahun. Jutaan orang menangis meratapi kepergiannya. Kematian jenderal besar itu seperti bergema hingga ke ujung dunia.

Tak ada acara khusus yang saya lakukan ketika mendengar Soeharto meninggal. Saya pertama kali mengetahuinya ketika menonton acara tivi. Pukul satu siang kemarin, saya masih menyaksikan program 'Sigi 30 Menit' di SCTV yang menyiarkan liputan mendalam tentang Ahmadiyah di Indonesia.

Saya sedang menunggu acara highlight sepakbola pukul 13.30. Saya sudah tak sabar menunggu rekaman-rekaman pertandingan bola yang berlangsung semalam. Ada banyak pertandingan yang tidak saya ikuti di liga-liga Eropa. Pukul 13.20 tivi-tivi mulai menyiarkan breaking news. Mereka menyiarkan bahwa Soeharto telah wafat beberapa menit sebelumnya.

Melihat laporan kematian Soeharto di tivi, saat itu saya berpikir acara yang saya tunggu-tunggu pasti tidak akan tayang. Ketendang oleh liputan langsung meninggalnya Soeharto di RS Pusat Pertamina. Dan prediksi saya itu benar adanya.

Saya terpaksa larut dalam detik-detik liputan tivi tentang kematian Soeharto. Mulai dari jumpa pers keluarga dan tim dokter kepresidenan, hingga pengangkutan jenasah dari rumah sakit menuju kediaman keluarga Soeharto, Jl. Cendana no. 8 Jakarta Pusat.

Saya simak acara itu sambil memperhatikan siapa saja yang hadir di rumah sakit maupun di Cendana. Dari situ kita tahu tentang relasi atau mungkin interes seseorang terhadap orang yang meninggal. George Junus Aditjondro pernah menggunakan metode unik ketika melakukan pelacakan dugaan korupsi seseorang. Dia melacak dengan cara mengumpulkan kartu ucapan belasungkawa seorang pejabat atau pengusaha. Dengan demikian bisa dilihat pola relasi antara yang meninggal dan yang berkirim ucapan.

Saya pakai hal itu ketika saya baca running text SCTV kemarin. Di text itu tertulis PT. Surya Citra Media Tbk, PT. Surya Citra Televisi, dan Elang Mahkota Teknologi mengucapkan belasungkawa atas wafatnya mantan Presiden Soeharto. Ya, kira-kira seperti itu bunyi teks berjalannya. Apa hubungan perusahaan pertama, kedua dengan perusahaan ketiga? Apakah ia tidak memiliki hubungan sama sekali? Kalau tidak punya, mengapa mengucapkan belasungkawa secara bersama-sama?

Saya hanya tersenyum kecil karena saya tahu relasi ketiganya. Mereka adalah satu pemilik yang sekarang mengontrol tivi swasta kedua di Indonesia itu.

Jenasah Soeharto disemayamkan di Cendana ketika hari sudah beringsut sore. Kalau tak salah sekitar pukul 15.00. Di rumah saya, cuaca mendung diselingi hujan. Sampai saat itu, tak ada pesen pendek atau telpon yang saya terima tentang kematian Soeharto. Tivi menjadi sumber informasi utama saya saat itu.

Dalam keheningan di rumah, saya tertidur. Saya biarkan tivi menyala. Tidur saya tidak nyenyak. Kadang tidur, tapi sering bangun memperhatikan perkembangan informasi di tivi.

Sekira pukul empat sore telpon berbunyi. Ibuk menelpon dari Kudus menanyakan kabar. Saat itu saya sedang menyapu, membersihkan teras yang basah kena percikan air hujan. "Jangan lupa doakan," kata Ibuk saya tanpa menyebut nama siapa yang perlu didoakan. "Kalau bukan karena dia, aku gak bisa menyekolahkan kamu."

Awalnya saya pikir Ibuk suruh mendoakan almarhum Bapak tapi setelah saya perhatikan saya jadi paham yang dia maksud adalah Soeharto. Saya diam sambil mengalihkan pembicaraan.

Ibuk saya seorang guru sekolah dasar di kampung. Dia merasa Soeharto adalah segala-galanya. Dia presiden yang berwibawa, karismatik. Yang menjadi nilai plus Soeharto di mata Ibuk saya adalah dia orang yang stabil menjaga kondisi sosial ekonomi. Harga barang-barang pokok, di masa pemerintahan Soeharto, sangat terjangkau masyarakat banyak. Rakyat saat itu dimanja dengan pelbagai macam subsidi negara. Politik dikekang. Gaji pegawai negeri sangat kecil dan disunat untuk yayasan-yayasan pimpinan Soeharto.

Di masa Orde Baru hanya dibolehkan secara formal ada dua partai dan satu Golongan Karya (Golkar). Jika ditelisik lebih jauh dua partai di luar Golkar itu hanya asesoris politik untuk tidak mengatakan hanya ada satu kendaraan politik yang hidup di masa Orde Baru.

Praktek-praktek mobilisasi suara yang dipraktekkan Soeharto semasa Orde Baru dilakukan dengan jalan memaksa birokrasi dan pegawai negeri untuk memilih Golkar sebagai wadah tunggal aspirasi mereka. Ini adalah pilar-pilar kekuasaan yang digunakan Soeharto, tentu selain tentara yang menindas. Tiga pilar ini membentuk apa yang disebut banyak pengamat sebagai segitiga ABG (ABRI-Birokrasi-Golkar). Saya kira Ibuk saya termasuk korban mobilisasi itu.

Saya jadi teringat sebuah perdebatan kecil dalam keluarga kami sekira sembilan tahun silam, persisnya saat pemilihan umum 1999. Saat itu Soeharto sudah mundur dan partai politik peserta pemilu bertambah enam belas kali lipat dari jumlah partai peserta pemilu sebelumya.

Saat itu, saya sudah punya hak suara. Almarhum Bapak saya, yang jadi sekretaris desa di kampung, mendapat tugas menjadi ketua panitia pemilihan suara tingkat desa. Saya, almarhum dan Ibuk makan bersama di ruang makan belakang. Naluri politik saya sudah meledak-ledak untuk mendukung Partai Keadilan, partai yang saya kenal dari jejaring teman sekolah.

Ibuk saya sembari makan terus mengingatkan tentang jasa-jasa Golkar kepada keluarga. Secara tidak langsung, dia menyarankan saya untuk mencoblos partai berlogo beringin itu. Saya menolak dengan sejumlah argumentasi. Almarhum Bapak, orang yang saya tahu tidak suka memaksakan kehendak, hanya diam. Dia sepertinya mengijinkan saya untuk berbeda pandangan dengan Ibuk saya. Saya merasa senang meski sebenarnya almarhum Bapak punya kuasa untuk memaksa saya. Tapi syukur itu tak dia lakukan.

Saya menghargai pendapat Ibuk meminta saya mendoakan Soeharto, tapi saya tetap lebih akan mendoakan almarhum Bapak ketimbang mantan presiden itu. Soeharto mungkin sudah terlalu banyak didoakan orang, tapi siapa yang akan mengenang Bapak saya bila dia hanya seorang carik dan petani kecil?


Caption: photo by Abror Rizky taken from www.kompas.com

Tuesday, January 22, 2008

Jurnalisme Sastrawi

Janet Stelee, pengampu mata kuliah jurnalisme sastrawi di George Washington University, memberikan kopian laporan pendek Anthony Shadid dari Washington Post kepada peserta kursus jurnalisme sastrawi Pantau, termasuk saya, sebagai bahan bacaan. Judulnya A Boy Who was 'Like a Flower'. Isinya tentang tewasnya Arkan Daif, bocah 14 tahun akibat bom di Irak, akhir Maret 2003 silam.

Laporan Shadid ini terhitung cukup pendek: 1.578 kata. Hebatnya, pemenang Pulitzer Prize tahun 2004 untuk kategori International Reporting ini, mampu menyuguhkan rangkaian peristiwanya secara detail pada pembaca.

¨Coba perhatikan struktur dan dialognya,¨ kata Janet.

Shadid memulainya dengan adegan seorang penjaga masjid Imam Ali, Irak, yang sedang memandikan Arkan Daif untuk terakhir kalinya.

Dengan lap kain yang direndam air, penjaga masjid itu menyilangkan tangannya pada jenazah Daif yang meninggal tiga jam sebelumnya, tapi masih menampakkan sinar kehidupannya. Dia mengeringkan noda pecahan meriam mawar-merah yang mengenai lengan kanan dan pergelangan kaki kanan Daif dengan tenang. Kemudian sang penjaga masjid mengusap muka Daif yang berlumuran darah, meninggalkan sebuah lubang di belakang tengkoraknya.

Shadid baru memasukkan kutipan langsung narasumber dalam paragraf selanjutnya. ¨Apa dosa anak kecil ini? Apa yang telah mereka (tentara Amerika Serikat) lakukan?¨ kata Haider Kadhim, sang penjaga masjid itu.
Kutipannya memang pendek, tapi terkesan bukan kutipan biasa atau kutipan formal.

¨Kalau diperhatikan, narasumber ini dibiarkan mengeluarkan ekspresinya,¨ komentar Janet.

Kutipan singkat itu, oleh Shadid, digunakan sebagai engine atau mesin yang dapat menggerakkan emosi pembaca. Engine diperlukan untuk menaik-turunkan alur penulisan. Sehingga alur penulisan dalam jurnalisme kesastraan bergelombang. Tak datar, seperti straight news, meski sama-sama bisa berupa laporan pendek. Engine juga dapat digunakan untuk memikat pembaca.

Selanjutnya, dalam laporan itu, Shadid menceritakan bagaimana Daif sampai meninggal. Dalam straight news, dikenal dengan unsur how. Namun, how dalam jurnalisme sastrawi ini lebih luas menjadi narasi.

Diceritakannya, Daif terbunuh jam 11 siang, saat terjadi, seperti yang disebut saudaranya, ‘ledakan angkasa’. Bocah itu sedang menggali parit di depan pondok beton keluarganya yang digunakan sebagai tempat perlindungan selama terjadi pemboman yang berlangsung siang-malam.

Daif bekerja bersama Sabah Hassan, 16 tahun, dan Jalal Talib, 14 tahun. Meriam berwarna putih menumbangkan seluruh pohon yang ada. Tujuh bocah lainnya terluka.

Ledakan tak meninggalkan bekas kawah, dan penghuni tempat tinggal lingkungan Rahmaniya berusaha mencari dengan tepat sumber kerusakan. Beberapa saksi mata menegaskan mereka melihat sebuah pesawat terbang.
Narasi laporan Shadid belum selesai.

Ia masih menambahkannya dengan pendapat saudara-saudara Arkan Daif. Masih seputar narasi bagaimana Daif tewas terbunuh.

¨Siapa yang akan bertanggungjawab, kecuali Amerika?¨ kata Mohsin Hattab, paman Arkan Daif.

¨Perang ini adalah setan. Perang yang tidak adil,¨ kata Imad Hussein, seorang sopir yang juga paman Hassan. ¨Mereka (tentara Amerika Serikat) tak punya hak untuk memerangi kami. Hingga sekarang, kami hanya duduk di rumah, nyaman dan aman.¨

Sekali lagi, menurut saya, Shadid menyuguhkan dialog yang tak biasa. Untuk ini, Janet memberikan masukan, ¨biarkan narasumber mengatakan sesuatu menurut mereka sendiri. Bukan menurut kita.¨

Shadid pun menggunakan unsur jurnalisme sastrawi lainnya: melakukan konstruksi adegan per adegan. Itu dilakukan Shadid tatkala menggambarkan proses pemakaman jenazah Daif.

Shadid mengamati adegan Haider Kadhim, penjaga masjid, tatkala menyiapkan pemandian jenazah Daif di masjid.

Memandikannya di pemandian dengan warna jubin biru-kehijauan yang lembut, ruangannya hening, seperti bagaimana Haider memandikan jenazah Daif sampai selesai. Mereka membungkus kepalanya, menutupi mukanya dengan plastik merah dan kuning. Setelah itu, mereka menggulung jenazah dalam potongan plastik.

Kadhim bekerja dengan lembut, gerakannya adalah usaha untuk menghormati jenazah. Dia meletakkan jasad Daif di sampingnya dan membungkusnya dengan kain kafan, diperkuat dengan tambahan empat potong kain kafan. Dengan nafas yang terengah-engah, sejumlah orang berdoa berkomat-kamit. Mereka kemudian bergerak ke arah pelat beton dan mengangkat jasad Daif yang lemah ke dalam peti mati.

Saya sengaja tak menerjemahkan hingga akhir, karena unsur jurnalisme sastrawi telah termaktub.

Satu lagi laporan lebih pendek yang kental unsur jurnalisme sastrawinya adalah It’s an Honor karya Jimmy Breslin. Bercerita tentang tukang gali kubur mendiang Presiden AS John F. Kennedy yang mati dibunuh pada 22 November 1963.

It’s an Honor termasuk karya jurnalisme sastrawi klasik yang masih populer hingga sekarang. Bukan cerita tentang istri Kennedy, keluarganya, atau para elit Amerika saat itu. Melainkan cerita orang biasa, penggali kubur mendiang Kennedy, Clifton Pollard.

Diceritakan Breslin, Pollard sungguh senang berangkat kerja di hari Minggu saat ia bangun jam 9 pagi di apartemen berkamar tiga miliknya di Jalan Corcoran, dikenakannya pakaian lengkap sebelum pergi sarapan ke dapur. Istrinya, Nettie, membuat kukusan daging babi dan telur untuknya. Pollard tengah makan ketika ia menerima telepon dari Mazo Kawalchik, mandornya di pekuburan Arlington National Cemetery, tempatnya bekerja.

¨Polly, bisakah kamu ke mari pukul 11 pagi ini?¨ minta Kawalchik. ¨Aku tebak, kamu tahu alasannya untuk apa.¨ Pollard paham. Ia menutup telepon, menyelesaikan sarapannya, terus meninggalkan apartemennya, jadilah ia mengisi hari Minggu-nya untuk menggali kuburan untuk John Kennedy.

Ketika sampai di bengkel bercat kuning, tempat perlengkapan penggalian, Kawalchik dan Metzler, penjaga kuburan lainnya, sudah menunggu.

¨Maaf telah menyuruhmu seperti ini di hari Minggu,¨ kata Metzler.

¨Oh, jangan bilang seperti itu,¨ jawab Pollard. ¨Kenapa? Ini adalah sebuah penghargaan buatku berada di sini.¨

Pollard berdiri di belakang roda mesin penggali. Penggalian di Arlington tak dilakukan oleh manusia dan sekop saja. Mesin penggali adalah mesin lapangan dengan bucket kuning untuk menciduk tanah menghadap operator, yang letaknya tak jauh dan bekerja seperti derek. Di atas permukaan bukit di depan kuburan seorang pejuang tak dikenal, Pollard memulai menggali.

Dedaunan menutupi rerumputan. Ketika ujung sekop mesin penggali yang berwarna kuning ditancapkan ke tanah untuk pertama kali, dedaunan bikin suara menebah yang dapat terdengar di atas suara mesin. Ketika bucket mengangkat sekop berisi tanah untuk pertama kalinya, Metzler, penjaga kuburan, berjalan mendekat dan melihatnya.

¨Tanah yang bagus,¨ kata Metzler.

¨Saya akan menyimpan sedikit tanah ini,¨ kata Pollard. ¨Mesin penggali meninggalkan jejak di rerumputan dan aku akan menambalnya dengan mengambil tanah bagus di sekitar sini. Aku menginginkan segalanya, kamu tahu, agar terlihat bagus.¨

James Winners, penggali kubur lainnya, mengangguk. Dia bilang akan mengisi gerobak dengan tanah berkualitas ekstra, dan akan membawa tanah berumput untuk menambalnya.

¨Dia orang yang baik,¨ kata Pollard.

¨Ya,¨ kata Metzler.

¨Mereka akan segera datang ke mari untuk menguburkan jenazah Kennedy di kuburan yang aku buat ini,¨ kata Polard. ¨Kamu tahu, ini sebuah penghargaan bagiku untuk mengerjakan ini.¨

Sampai di sini, saya kira, Jimmy Breslin berhasil merekam tiap adegan tokoh yang sebenarnya juga adalah narasumbernya. Tokoh utamanya adalah penggali kubur, Clifton Pollard. Hampir tak ada satu adegan yang luput dari amatan Breslin.

Pun demikian, tatkala rombongan Jacqueline Kennedy, istri mendiang Kennedy, datang pukul 11.15 siang untuk upacara pemakaman jenazah suaminya, presiden Kennedy.

Breslin mengikuti Pollard yang memilih berdiri di bawah pohon menjauh dari para pelayat.

¨Saya berusaha melihat dari dekat pemakamannya,¨ kata Pollard. ¨Tapi, seorang tentara mengatakan saya tak bisa mendekat. Itu sebabnya saya hanya melihatnya dari sini, Pak. Tapi, saya pasti akan ke sana nanti. Setelah orang-orang kembali dan aku akan melihatnya. Seperti yang telah aku bilang, ini sebuah penghargaan.¨

Jurnalisme sastrawi berusaha mengenalkan teknik penulisan laporan yang memikat. Gerakan genre ini muncul di Amerika Serikat sekitar tahun 1973. Dipelopori oleh Tom Wolfe yang menerbitkan The New Journalism, antologi tulisan genre ini.

Di Indonesia, boleh dibilang, gerakan ini dipopulerkan oleh Pantau, lewat penerbitan majalah bulanan yang telah berhenti terbit pada Februari 2003, serta kursus jurnalisme sastrawi yang diadakan tiap semester. Saya mendapat kesempatan mengikuti kursus ini pada angkatan keenam Juni 2004 lalu.

¨Dunia suratkabar Indonesia, cepat atau lambat, akan lebih banyak menerangkan ketimbang sekadar menurunkan laporan hardnews. Dunia suratkabar Indonesia takkan mampu melayani publik dengan baik bila ia tak bisa tampil lebih dalam dari apa yang dilaporkan televisi atau internet,¨ alasan panitia.

Janet Steele adalah instruktur tetapnya. Kali ini didampingi oleh Andreas Harsono, alumnus Niemann Fellowship yang pernah dua semester mengambil mata kuliah narrative writing di Universitas Harvard.

Janet, perempuan rendah hati yang baik. Bahasa Indonesianya lumayan bagus. Ia memandu seminggu pertama. Enam sesi. Dalam tiap sesi, ia kerap menggunakan metode diskusi dengan peserta ketimbang searah.

Dengan duduk melingkar, kelas kursus bertambah akrab. Instruktur pun seperti tak ada jarak dengan para peserta yang hanya 14 dengan komposisi perempuan-laki-lakinya berimbang. Masing-masing tujuh. Pesertanya punya beragam latarbelakang: mahasiswa, jurnalis tetap, freelance, hingga redaktur. Dua orang dari Medan, satu dari Pontianak, tiga dari Jogjakarta. Seorang dari Semarang, dua asal Makassar, seorang dari Padang. Sisanya dari Jakarta.

¨Ada dua cara menulis laporan yang dapat digunakan untuk memikat pembaca,¨ kata Janet di sesi diskusi unsur-unsur jurnalisme sastrawi. ¨Pertama, gunakan engine atau mesin. Kedua, menekankan pada meaning atau arti bagi publik.¨

Seorang peserta mengatakan, susah membedakannya dengan feature. ¨Jurnalisme sastrawi dianggap terlalu melebih-lebihkan,¨ kata peserta lainnya. Terlebih dibilang bias. Seorang peserta bahkan mengeluh karena keterbatasan tempat.

Andreas Harsono dalam sesinya, minggu kedua, berusaha menjelaskan dari sisi yang lebih praktis. Ia mengenalkan struktur narasi yang jadi elemen wajib genre jurnalisme sastrawi. Bergelombang, dengan sebuah garis alur tegas yang berada di tengah-tengahnya.

¨Robert Vare mengatakan narasi ibarat gambar video. Ada perjalanan waktunya,¨ katanya. Robert Vare adalah mantan redaktur The New Yorker yang pernah menerbitkan laporan Hiroshima tahun 1946 yang populer itu.

¨Narasi ibarat kita memegang kamera video berjalan. Strukturnya sama dengan penulisan drama tiga babak. Ada pembukaan, klimaks dan penutup,¨ katanya.
Ini yang membedakan genre ini dengan straight news atau feature sekalipun.
¨Menurut Robert Vare,¨ lanjut Andreas, ¨ada tujuh pertimbangan dalam membuat narasi: fakta, konflik, karakter (tokoh), akses, emosi, perjalanan dan kebaruan.¨

Anthony Shadid dan Jimmy Breslin, telah menerapkannya. Meski laporannya terhitung pendek.


Tulisan ini pernah dimuat di majalah HIMMAH Oktober 2005, dengan judul awal Sastrawi nan Memikat.

Sampah Masyarakat

Hari Minggu lalu, warga di lingkungan kami, RT 13, seharusnya mengadakan kerja bakti membongkar tempat sampah. Keberadaan bak sampah di tengah permukiman dinilai warga sangat mengganggu. Bak itu terbuka dan menimbulkan bau tak sedap, belatung yang berkeliaran. Terlebih kalau datang hujan, bak tersebut agaknya menjadi tempat pesta pora lalat-lalat hijau.

Secara geografis, bak itu terletak di wilayah RT kami. Namun posisinya berada di tiga jalur lalu-lintas yang sering dilalui warga sehingga yang membuang sampah di situ tak cuma warga komplek kami. Adakalanya sebagian masyarakat Kalisari buang sampah di situ. Begitu juga warga Villa Kalisari yang berada di seberang bak sampah. Sering kami lihat orang yang tak kami kenal melempar satu dua bungkus plastik yang tentu isinya
sampah.

Memang tiap dua kali seminggu sampah-sampah diangkut truk dinas kebersihan. Tapi saking banyaknya orang membuang sampah di situ, timbunan tak sebanding dengan volume sampah yang diangkut. Bila Senin truk datang, maka bisa dipastikan Rabu atau paling tidak Kamis, sampah sudah menggunung kembali. Bahkan jumlahnya bisa lebih banyak dari yang diangkut truk pada keesokan harinya. Artinya sedikit demi sedikit timbunan itu makin banyak dan sangat kecil kemungkinan truk mampu mengikis timbunan yang tersisa. Ini diperparah lagi bila truk telat atau libur mengangkut.

Bila dicermati lebih jauh, sampah ini merupakan masalah khas kota-kota besar di negara berkembang. Saya lebih dari lima belas tahun tinggal di kampung tak pernah secara serius mendengar, melihat, atau menyaksikan sendiri sampah jadi masalah yang pelik. Intinya, saya kira, orang kampung lebih bijak dalam menangani sa
mpah. Rumah di kampung, setidaknya di desa saya, selalu menyisakan ruang untuk membuang atau membakar sampah rumah tangganya sendiri. Kalau tidak di halaman, biasanya di belakang rumah.

Di rumah Kudus, keluarga kami selalu mengumpulkan sampah di pojok halaman depan. Kami mengumpulkan sampah di situ, lalu kami bakar. Di rumah Jogja, sampah dikumpulkan di bis ukuran setengah meter yang terletak di belakang rumah. Bis ini adonan semen dan material yang biasa dipakai untuk dinding sumur.

Saya baru satu setengah tahun tinggal di Depok, namun tiap kali kami berbincang dengan tetangga, soal sampah seperti tidak pernah lepas dari obrolan kami. Kadang kami saling mengumpat bila melihat bungkusan sampah hanyut di sungai depan rumah kami. Kami berpikir bagaimana nasib daerah hilir, bila orang seenaknya buang sampah di sungai? Di mana letak nurani orang terhadap nasib orang lain?

Depok, seperti halnya Bekasi dan Tangerang merupakan kota satelit Jakarta. Artinya seca
ra formal sepertinya ia otonom dari pusat tapi sebenarnya ia memiliki ketergantungan yang cukup besar—entah seperti saya dan ribuan orang lainnya yang tinggal di Depok bekerja di Jakarta. Kota satelit tumbuh seiring dengan ketergantungannya itu.

Biasanya di kota-kota satelit tumbuh subur permukiman bagi kelas menengah bawah yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk membeli kemewahan yang ditawarkan di wilayah pusat. Kaum menengah bawah terlempar dari pusat karena modal ekonomi mereka yang terbatas.

Meski begitu di kota-kota satelit, ada juga komplek permukiman elit. Biasanya permukiman ini diperuntukkan bagi kelas menengah atas yang ingin melepas jenuh, ingin mendapatkan suasana alami meski terkadang artifisial. Tak sedikit kaum elit ini menggunakannya untuk investasi jangka menengah.

Meski sama-sama bermukim di pinggiran, ada perbedaan alasan yang cukup mencolok antara kelas menengah atas dan menengah bawah. Kelas elit (menengah atas) tinggal di pinggiran cenderung untuk kebutuhan sekunder, lain halnya dengan kelas menengah bawah yang lebih menekankan pada kebutuhan primer untuk bermukim.

Seiring gelombang urbanisasi besar-besaran, baik ke pusat maupun kota-kota satelit, masalah sosial makin kentara, seperti soal sampah yang dihadapi warga kami. Hans-Dieter Evers, ahli sosiologi perkotaan dalam bukunya Urbanisme di Asia Tenggara, mencatat masalah khas lain yang dialami kota metropolitan adalah soal lalu-lintas atau transportasi. Sarana dan angkutan umum publik tidak mampu menampung arus besar-besaran kaum pekerja yang bermukim di kota pinggiran. Ruas-ruas jalan penuh dengan moda transportasi yang menggiring orang-orang ke pusat bisnis dan kekuasaan yang tidak lain adalah ko
ta pusat: Jakarta.

Orang mencatat bahwa Jakarta merupakan contoh sempurna dari model kekuasaan yang sentralistik. Segala macam urusan berpangkal di sini. Model sentralisme macam ini diterapkan secara sistematik oleh penguasa kolonial Belanda dulu. Dan sepertinya Jakarta cuma berganti nama dari Batavia. Ia reinkarnasi yang sempurna.

Kota pusat seperti Jakarta dalam bahasa Hans Dieter Evers—if I’m not mistake—mengandung tiga wajah sekaligus. Ia mewakili identitas-identitas internasional (global) yang ditandai dengan perkantoran lembaga bisnis atau kepentingan global. Kita bisa simak hal ini dengan hadirnya puluhan hypermarket atau kantor-kantor macam IMF, Bank Dunia, AusAid, Usaid, Unesco, Unicef, dan kedutaan besar.

Wajah kedua mewakili kepentingan nasional seperti dengan didirikannya istana negara, gedung parlemen pusat, atau markas tentara sebagai basis pertahanan negara.

Wajah berikutnya, dan ironisnya ini yang sering dilupakan dan ditafsirkan salah para politisi dan pengambil kebijakan, bahwa kota pusat ini mengandung juga identitas kelokalan. Ada soal etnisitas disana. Kita tidak bisa munafik bahwa Jakarta ini sebuah melting-pot, tempat berkumpulnya bermacam orang yang memiliki identitas yang berbeda-beda. Seperti saya orang Jawa, ada juga ipar saya orang Betawi, si Ole office boy PSHK orang Betawi, Aria Suyudi, direktur PSHK orang Tionghoa-Padang, Mbak Bibip orang Palembang-Sunda.

Namun semua itu akan berujung ke sampah. Tiap orang akan memproduksi sampah. Kantong belanja dari hypermarket-hypermarket mewah, gelas plastik penampung soda restoran cepat saji, kertas bekas dari kantor para pejabat bakal memenuhi bak-bak sampah. Seperti bak di komplek kami yang akan dibongkar Kamis ini yang penuh dengan sampah. Ya, sampah masyarakat.


Tuesday, January 1, 2008

Weka Wardhani dan Nasib Skripsinya

Sudah empat tahun lamanya, Weka Wardhani, mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) berjibaku dengan tugas akhir. Berikut adalah surat Weka sebagai respon Dyasandria, orang se-almamater yang mengirim komentar pada tulisan saya tentang skripsi Weka yang saya posting Januari tahun lalu.

Terima kasih atas perhatian kawan-kawan (khususnya kawan-kawan Himmah dan Kang Wiwid yang memberi kontribusi berarti untuk skripsi saya). Sayang sekali baru sekarang saya menemukan tulisan ini (sebelumnya memang sudah saya cari-cari setelah Mb Tuti bercerita tentang tulisan ini). Skripsi saya sedang masuk ke bab 3, menentukan metode apa yang akan saya ambil untuk penelitian ini, sambil terus mengubah di sana-sini bab sebelumnya.

Saya memang membuang waktu terlalu lama untuk skripsi ini, lebih karena masalah individu, yang kurang tangguh saat mengalami benturan pola pikir dengan dosen pembimbing. Saya memang sudah mendapat kartu merah, tapi kasus saya memang anomali, judul ini masih bisa saya pertahankan.

Menurut saya birokrasi untuk mengganti judul ini bukan solusi kalau masalahnya adalah perbedaan mindstream. Memang, dosen pembimbing saya kompeten untuk membimbing saya pada tema skripsi ini, dengan catatan, untuk parameter Psikologi UII.

Sebelumnya saya sempat berganti judul, tentang orientasi keagamaan mahasiswa UII. Rencananya saya ingin mendapatkan informasi tentang orientasi keagamaan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia, bagaimana perannya dalam membentuk mindstream kehidupan beragama, dan bagaimana peran UII sebagai lembaga pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam pada hal tersebut.

Tetapi kebanyakan dosen tidak memahami maksud proposal dan presentasi saya. Saya baru teringat, paradigma di kampus ini berbeda dengan paradigma yang saya pelajari dari Himmah dan pengetahuan yang saya dapat dari luar. Sejak kuliah akhir dan skripsi, saya memang jarang ke kampus kecuali ke perpustakaan. Apa ini jadi parameter baik-buruknya mahasiswa? Ah, naif sekali.

Setelah saya pikir ulang, penelitian tema tentang orientasi keagamaan tersebut akan melenceng jauh dari rancangan awal saya saat membaca penelitian-penelitian dosen-dosen yang 'ditawarkan': tentang keagamaan secara praksis dan ritual. Kemudian saya berbalik pada judul awal.

Penelitian tentang dampak psikologis pembangunan Plaza Ambarrukmo ini juga tidak seperti yang saya harapkan. Sebelumnya saya berbicara tentang propaganda pembangunan yang membawa kesejahteraan dan kemajuan. Saya membandingkan penelitian-penelitian developmentalisme dengan penelitian dan teori dependensi.

Tapi rupanya antusiasme ini harus saya redam, karena sepertinya (tanpa mengurangi rasa hormat), pembimbing saya memiliki paradigma yang berbeda. Penelitian dan teori di dalam psikologi yang saya temukan memang menganut teori developmentalisme.

Saya rasa, untuk kelancaran akademik, mau-tidak mau, saya beradaptasi saja untuk secepatnya meninggalkan kampus yang menurut saya, tidak mencerdaskan ini.

salam