Tuesday, February 19, 2008

Pembunuh Udin yang tak Tersentuh


Judul buku : The Invisible Palace
Penulis : Jose Manuel Tesoro
Penerbit : Equinox Publishing (Asia) Pte.Ltd, Jakarta
Tebal : 326 halaman
Cetakan : I, tahun 2004

Oleh Widiyanto


Pepatah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan taring sekiranya perlu ditambah: jurnalis mati meninggalkan misteri. Terlebih lagi jika penyebab kematiannya karena dibunuh. Itu yang terjadi pada kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau lebih dikenal dengan Udin.

Ia dianiaya di rumah kontrakannya di Jalan Parangtritis km 13, Bantul. Selasa malam, tanggal 13 Agustus 1996. Ceritanya, menurut Marsiyem, istri almarhum Udin, malam itu sekitar pukul 10.40, ia sedang menyetrika. Sisa lima potong pakaian terakhir.

Tiba-tiba mendengar pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Ditinggalkannya menyetrika barang sejenak. Ia pun beranjak membuka pintu.
”Siapa?” tanya Marsiyem.
”Ini saya, Mbak,” kata orang yang mengetuk pintu. Marsiyem tak mengenali orang yang datang malam-malam ke rumahnya. Kepada Marsiyem, orang asing itu menanyakan apakah Udin di rumah? Dijawabnya, ya. ”Ada perlu apa dengan Udin?” Marsiyem balik bertanya. ”Saya mau menitipkan sepeda motor pada Udin,” kata orang asing itu. Tanpa curiga, Marsiyem memberitahukan kepada suaminya yang sedang main game di komputer.

Udin menemui tamunya dan Marsiyem melanjutkan menyetrika. Tak lama berselang, ia mendengar suara pukulan. Buk, buk, buk. Ia lalu mendekati dari mana asal suara. Dan ternyata…. Udin, suaminya, jatuh tersungkur di lantai. Bersimbah darah.

Itu merupakan episode-episode terakhir Marsiyem melihat sang suami dalam sejarah hidupnya. Tiga hari berselang, Udin dipastikan meninggal akibat luka-luka yang sangat serius pada bagian kepalanya.

Misteri pembunuhan Udin diduga berkaitan dengan tulisan-tulisannya di Bernas yang kerap mengungkap isu-isu korupsi, ketidakjujuran, hingga bisnis politik di Bantul. Kota kecil sebelah selatan Yogyakarta.

Karya jurnalistik Udin bernuansa investigatif. Tidak sekedar menengadah pernyataan elite pejabat semata.

Ia melakukan peliputan untuk membandingkan pernyataan pejabat dan apa yang terjadi dalam kenyataannya di lapangan. Datanya akurat. Tengok saja contoh tulisannya di Bernas: soal penyunatan IDT di desa Karangtengah, janji Bu-pati Bantul kala itu, Sri Roso Sudharmo, yang akan menyumbang Rp 1 miliar ke Yayasan Dharmais, pimpinan Soeharto, bila kelak ia akan terpilih menjadi Bupati untuk masa 1996-2001.

Kematian Udin menandai relasi kekuasaan antara rakyat dan negara yang buruk. Rezim Orba selama memerintah senantiasa menempatkan dirinya lebih tinggi derajatnya ketimbang rakyatnya di negara ini.

Di tingkat lokal Bantul, Sri Roso Sudarmo yang menjabat Bupati Bantul kala itu menunjukkan hal itu. Ia berniat menempuh jalur hukum terhadap Udin, wartawan yang selalu kritis terhadap kebijakannya. Tanggal 8 Agustus, Sri Roso menginstruksikan jajaran pemerintahan setempat untuk melawan Udin dengan perintah ”laksanakan” (halaman 98). Lima hari kemudian, Udin dianiaya. Tanggal 16 Agustus 1996 meninggal dunia.

Episode selanjutnya menghadirkan kisah persidangan sandiwara oknum reserse Polres Bantul, Edy Wuryanto dalam usaha pencarian pembunuh Udin. Oleh Edy Wuryanto, dihadirkanlah cerita dan tersangka fiktif bernama Dwi Sumadji alias Iwik. Supir sebuah perusahaan billboard di Jalan Magelang.

Edy Wuryanto yang menyamar jadi Franky, memaksa Iwik agar mau mengakui jadi pembunuh Udin. Triknya keji: memberi Iwik minuman yang telah dicampuri obat terlarang, menyuguhkan dua orang gadis penghibur di sebuah hotel di kawasan Parangtritis, serta memberi iming-iming hadiah, jika ia mau menjadi tersangka dalam skenario itu. (halaman 198-204). Iwik memang bukan pembunuh Udin yang sebenarnya. Sidang rekayasa ini sempat jadi kontroversi bagi sejarah penegakan hukum di Indonesia.

The Invisible Palace sangat dipengaruhi oleh latar belakang akademik penulisnya, yakni masalah hukum. Joel Tesoro mantan koresponden Asiaweek di Jakarta selama 1997-2000. Umurnya 31 tahun. Lulus dari Yale University tahun 1994, dan sekarang sedang mendalami studi hukum di Harvard Law School, Amerika.

Melalui kasus Udin ini, Joel juga membandingkan sistem hukum Indonesia yang kontinental klasik dengan sistem hukum Amerika yang Anglo Saxon. Seolah-olah hendak menunjukkan sisi buruk sistem kontinental ala Indonesia. Seperti misalnya kedudukan hakim yang terikat formalitas (halaman 256).
Meski sudah terjadi delapan tahun lebih, kasus Udin ini sekarang, masih digelayuti awan gelap. Tak ada tanda-tanda penyelesaian. Semua masih tanda tanya. Sepertinya tiada keadilan bagi korban maupun keluarga Udin yang telah ditinggalkannya.

Lewat kasus ini juga, dapat kita pahami bagaimana pelaku tindak kejahatan yang memperoleh ruang perhatian cukup besar ketimbang perhatian bagi si korban. Terlebih bila pelaku kejahatan itu berasal dari korps penegak hukum sendiri. Menunjukkan bahwa sistem hukum pidana kita masih berorientasi pada pelaku (offender oriented) bukan berorientasi pada keadilan bagi korban (victim oriented).

The Invisible Palace, karangan Joel Tesoro ini merupakan buku ke sekian yang mengupas kasus Udin. Kedua dalam versi Inggrisnya.

Joel Tesoro adalah orang luar pertama yang menulis buku tentang Udin. Buku-buku sebelumnya yang juga membahas kasus ini adalah Udin Darah Wartawan, Liputan Bawah Tanah, Tragedi Udin, dan The Journalist Slain terbitan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Oleh karenanya buku ini, terkesan menambal sulam buku-buku yang telah terbit.

Sedikit sekali disajikan data terbaru soal kasus Udin. Sehingga patut dipertanyakan label investigative journalism di sampul belakang buku mewah ini. Investigasi soal apa?

Joel Tesoro menyajikan rangkaian ceritanya dalam buku ini secara naratif. Bertutur. Tidak monoton. Membuat pembaca seperti tak ingin menutup buku sebelum membaca tuntas hingga akhir. Menggunakan pendekatan jurnalisme sastrawi dan travelogue writing dalam penulisan, penulis terkesan mampu mempermainkan emosi pembaca.

Engine yang berubah-ubah memaksa pembaca rela melepaskan ketegangan yang satu menuju ketegangan yang lain. Kelebihan buku ini adalah Joel Tesoro sepertinya berhasil menemukan celah menghindari penyampaian isi yang seragam dengan buku-buku tentang Udin yang lain.

Kelebihan lain adalah tidak seperti buku-buku sebelumnya, pendahuluan dan epilog The Invisible Palace ini, mungkin tak disangka banyak orang: berisi cerita dukun seputar Udin.

Dalam bab pendahuluan, diceritakan bahwa Darmodipuro, kurator Museum Radyapustoko Solo, telah meramal Udin yang hari kelahiran pada 18 Pebruari 1963 dengan sampar wangke. Pertanda hari buruk. Tepat bila Udin meninggal karena dibunuh (halaman 19). Diakhiri dengan cerita petualangan lima wartawan yang pernah tergabung dalam Tim Kijang Putih dalam usaha berdialog dengan arwah Udin. Dilakukan oleh seorang dukun bernama Cengkek. Berdomisili di Prambanan, Klaten (halaman 311 dan 321).

Kisah-kisah dunia mistik memberi warna tersendiri dalam buku ini. Terlihat jelas. Semoga saja kasus Udin ini tidak diakhiri dengan mistifikasi semata, melainkan fakta, menangkap siapa pelaku pembunuh Udin sesungguhnya.

Penulis adalah Mahasiswa FH Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Tulisan ini pernah dimuat di suratkabar sore Sinar Harapan, 5 Maret 2005.