Ini adalah salah satu bagian dari sebuah laporan riset penganggaran partisipatif yang pernah saya kerjakan di Perkumpulan Demos tahun 2010, di bawah supervisi Dr. Daniel Dhakidae. Saya mengerjakan laporan ini dan berkunjung ke Poso awal tahun 2010. Poso saat itu ibarat sedang cooling down dari masalah terorisme. Dalam wawancara saya di lapangan saya mendapat informasi bahwa Bupati Piet menggelontorkan sejumlah dana bantuan sosial kepada mereka yang sering bertikai. Saya tidak tahu apakah alokasi anggaran ini punya relasi kuat dengan intensitas konflik di Poso yang kembali marak bulan-bulan ini?
Ketegangan
Melahirkan Dinamika Penganggaran;
Studi
Kasus Kabupaten Poso
Demografi Kabupaten Poso
Terletak di
antara 10 06’44” - 20 12'53" Lintang Selatan serta
1200 05’ 25” – 1230 06’17” Bujur Timur, dengan luas 8.712
km persegi, kabupaten ini terdiri atas 18 kecamatan yang membawahi 133 desa
definitif, dan 23 di antaranya yang berstatus kelurahan. Menurut catatan Badan
Pusat Statistik (BPS)[1]
hingga tahun 2007, penduduk Poso berjumlah 183.511 jiwa dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan mendekati sama. Tingkat kepadatan penduduknya dapat
dikatakan sangat rendah yakni 21 jiwa/km persegi.
Luas wilayah
Poso terbesar adalah kawasan perbukitan berupa hutan dan perkebunan. Luas
kawasan hutan lindung sekitar 291.548,23 Ha (33,46%), kawasan hutan produksi
214.513,12 (24,62%), dan kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) seluas
365.163,65 Ha (41,91%) dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Poso.[2]
Komoditas
unggulan kabupaten ini berasal dari sektor pertanian yang menempati urutan
pertama penyumbang 50 persen Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) antara
1999 – 2003. Dalam laporan BPS setempat, yang dikutip dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Bupati Poso 2005 – 2010, sektor pertanian mengungguli
sektor jasa-jasa, perdagangan, perhotelan, dan sektor industri pengolahan.
Bila dilihat
dari komposisinya, penduduk Poso sangat plural. Kabupaten ini didiami oleh
beragam etnis seperti Toraja (yang terbagi-bagi dalam banyak sub etnik), Jawa,
Gorontalo, Bugis, Minahasa, Bali, Tionghoa, Arab, serta etnis-etnis yang
berasal dari daerah Nusa Tenggara. Menurut data BPS Kabupaten Poso pada 2007,
lebih dari 58 % penduduk Poso beragama Kristen Protestan, disusul Islam 35 %,
Hindu 5 %, Katholik 0,9 %.
Keragaman etnis
(yang kadang diidentikkan dengan agama) ini sangat kentara dengan
pengelompokan-pengelompokan berbasis tempat tinggal. Pengelompokan ini terjadi
lebih disebabkan oleh faktor historis atau asal-usul semata. Tidak didasarkan
pada pengkotak-kotakan yang sifatnya administratif kewilayahan seperti yang
kerap dilakukan oleh negara sebagai bagian dari politik kontrolnya.
Konteks Sosial-Politik “Sintuwu Maroso” Paska Konflik
Meski hidup
dalam keragaman etnis dan agama, sebelum konflik elit lokal bernuansa sektarian
pertama kali terjadi pada 1998, penduduk Poso hidup rukun. Mereka memegang
teguh semboyan Poso yang cukup terkenal “Sintuwu Maroso” yang mencerminkan
kebhinekaan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat.
Slogan ini seakan sudah terinternalisasi dalam kehidupan warga Poso. Sehingga
ketika terjadi konflik selama empat tahun hingga 2002, penduduk setempat
mengalami polarisasi yang mereka sendiri tidak sadari penyebabnya.
Konflik membuat
tingkat partisipasi masyarakat menjadi sangat terbatas. Kebebasan sipil
barangkali tidak berlaku di wilayah konflik, seperti Poso ini. Perang kota yang
terjadi di Poso membuat peran negara yang diwakili oleh kekuatan militer tampil
mendominasi di segala urusan publik. Konflik pula yang menjadi alasan pembenar
bagi aparat kepolisian untuk membangun pos-pos polisi di setiap desa di
Kabupaten Poso dengan dalil menjaga ketertiban dan mencegah eskalasi konflik.
Alih-alih
memperjuangkan partisipasi, saat konflik, masyarakat Poso justru terombang-ambing
dalam ketidakpastian. Mereka banyak yang mengungsi menyelamatkan diri.
Ruang-ruang partisipasi masyarakat dalam proses-proses pembangunan tertutup,
kalah dominan dengan operasi-operasi militer pihak berwajib. Praktis konflik
menyebabkan partisipasi menjadi nihil. Intinya, Poso seperti daerah konflik
lainnya, mengalami kemunduran baik perangkat maupun instrumen demokrasi yang
termasuk partisipasi warga.
Dalam situasi
paskakonflik tersebut, Kabupaten Poso berhasil melaksanakan pemilihan kepala daerah
secara langsung untuk periode 2005-2010 yang dimenangi oleh pasangan Piet
Inkiriwang dan Abdul Muthalib Rimi sebagai bupati dan wakil bupati. Awalnya
pasangan ini didukung oleh Partai Damai Sejahtera (PDS) yang merupakan pemenang
pemilu di tingkat lokal pada 2004 dan memperoleh mayoritas kursi di Dewan.
Namun sekitar tahun 2006, Piet berganti haluan dengan menyeberang ke Partai
Demokrat. Di DPRD Kabupaten Poso, Partai Demokrat hanya minoritas. DPRD
didominasi oleh PDS yang berhasil memperoleh 6 kursi dan menempatkan kadernya,
Sawerigading Pelima, sebagai Ketua DPRD Kabupaten Poso. Disusul kemudian oleh
Partai Golkar dan Partai Patriot dengan 5 dan 4 kursi (lihat tabel komposisi anggota DPRD di bawah).
|
Melihat peta
komposisi anggota DPRD di atas, tampaknya Piet memperoleh dukungan yang lemah
di parlemen setempat. Abdul Muthalib Rimi, pasangannya, memang menjabat sebagai
Ketua DPD Partai Golkar Poso, namun menurut sejumlah informan, pasangan ini
sesungguhnya mengalami perpecahan. Piet tampak lebih piawai memanfaatkan
kedudukannya, baik selaku bupati maupun ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten
Poso, guna memobilisasi dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan maupun
komunitas berbasis agama yang dulu pernah terlibat dalam konflik untuk meraih
popularitas di mata masyarakat Poso.[1]
Pelaksanaan Musrenbang; Partisipatif di Bawah, Terpenggal
di Atas
Mengenai
musrenbang, tidak semua desa di Kabupaten Poso melaksanakan secara konsisten
sesuai dengan ketetapan dalam kerangka legal yang menjaminnya. Pasal 23 ayat
(2) UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
menegaskan bahwa batas waktu musrenbang untuk penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) adalah Maret. Artinya, pelaksanaan musrenbang tingkat
desa dan kecamatan antara Januari-Februari. Namun pada kenyataannya banyak desa
yang melaksanakan musrenbang tingkat desa lebih cepat dari waktu yang
ditentukan dalam aturan. Desa-desa tersebut mengadakan musyawarah pada bulan
November tahun sebelumnya. Durasi pelaksanaan musyawarah cukup singkat untuk
menentukan usulan pembangunan tingkat desa: hanya satu hari.
Satu hal yang
menarik terjadi di Poso dimana pemerintah desa menamai pertemuan perencanaan
pembangunan bukan musrenbang sebagaimana dikenal selama ini. Namun aparat desa
menyebutnya dengan musyawarah pembangunan atau disingkat musbang. Meski berbeda
dalam hal waktu dan penyebutan, namun para informan penelitian yang berasal
dari kalangan kepala desa dan aktivis pendamping mereka mengatakan pada
dasarnya tidak ada perbedaan antara musbang dengan musrenbang. Proses dan
mekanismenya sama.
Pada mulanya
kepala desa mengundang secara resmi aparat pemerintahan di bawahnya, seperti
para ketua rukun warga, rukun tetangga, dan juga tokoh masyarakat dan
perwakilan perempuan, kelompok tani, nelayan serta Badan Perwakilan Daerah
(BPD). Para undangan tersebut menghadiri rapat sekaligus memberikan masukan
atau usulan program yang kelak dijadikan usulan bersama tingkat desa. Kehadiran
representasi kepentingan diakui dapat berpengaruh terhadap jenis usulan.
Sebagaimana yang terjadi di desa Tongko, Tumora, Betania, dan Kawende. Kawende
merupakan satu-satunya desa di Kabupaten Poso yang dipimpin kepala desa seorang
perempuan.
Di Kawende dan
desa-desa lainnya itu, kehadiran representasi perempuan yang mengikuti
musrenbangdes memberikan usulan-usulan yang pro terhadap kepentingan perempuan,
seperti usulan program pemberdayaan perempuan, pendidikan dan pelatihan
keterampilan, pembangunan gedung pendidikan keterampilan keluarga (PKK).
Menyangkut jenisnya, mayoritas usulan warga dalam musbangdes masih didominasi usulan
fisik macam pembangunan saluran air atau riyol,
pendirian perumahan bagi nelayan, jalan kantong produksi, pembangunan dan
perbaikan sarana publik macam sekolah, puskesmas atau poliklinik desa
(polindes). Semua desa memiliki kecenderungan yang sama. Amat minim usulan
musbang selain usulan fisik.
Peran kepala
desa dalam proses musrenbangdes sangat terbatas. Perannya hanya sebagai
fasilitator dan tidak berposisi sebagai pemberi persetujuan usulan. Kepala desa
membantu penyusunan usulan-usulan warga dan membuatnya lebih sistematis. Semua
usulan dari warga ditampung dan dimusyawarahkan di antara mereka, kemudian
disusun daftar usulan prioritas tingkat desa. Tak ada tim perumus khusus dalam
penentuan ini. Semua membahasnya dan menyetujuinya dengan didasari argumen
masing-masing.
Metode peserta
musrenbangdes untuk menentukan skala prioritas tampak sederhana namun terukur.
Para kepala desa yang berperan sebagai fasilitator membantu menentukan usulan
prioritas dengan jalan mendasarkan usulan-usulan tersebut pada tingkat
ketermendesakan terhadap kebutuhan warga dan sejauhmana dampak usulan tersebut
bermanfaat bagi banyak orang, bukan perorangan. Menariknya, di Poso, tiap
usulan musbang desa dibikin tabel isian didasarkan lokasi, volume, estimasi
biaya, sumber pendanaan, dan sasaran manfaat. Terkesan ada argumentasi yang
cukup rasional dalam daftar usulan ini, diperkuat dengan keterangan status
usulan “Mendesak”. Metode penyusunan usulan yang didasarkan pada need-based ini diperoleh warga desa dari
para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terlibat dalam sebuah proyek
penguatan peran kepala desa dan BPD.
Metode ini telah
diterapkan di sejumlah desa. Misalnya saja usulan pembangunan turap di bibir
sungai di Kawende yang menjadi usulan sangat mendesak. Kepala desa Kawende
selaku informan penelitian mengatakan bahwa di daerahnya, setiap hujan datang,
air sungai pasti akan meluap membanjiri permukiman sekitarnya. Ketiadaan turap
penghalang di bibir sungai selalu saja membuat air meluber merusak perkebunan. Kondisi
ini mendasari warga untuk memasukkan pembuatan turap sepanjang 500 meter
tersebut sebagai skala prioritas usulan musrenbang sejak 2007 hingga 2010.
Usulan ini memang pernah disetujui pada tahun anggaran 2008-2009 namun
realisasinya sangat jauh dari yang diharapkan. Pemda Poso hanya menyetujui
pembangunan turap sepanjang 16 meter dari 500 meter yang diusulkan.
Ketika daftar
usulan yang dihasilkan dalam musrenbangdes selesai disusun, maka proses
berikutnya adalah menyerahkan daftar usulan desa ke tingkat kecamatan. Di level
ini usulan desa tidak mengalami perubahan, baik pengurangan maupun penambahan.
Peran kecamatan hanya sebatas mengkompilasi usulan musrenbang tingkat desa-desa
di bawahnya. Setidaknya demikian yang disampaikan oleh informan penelitian yang
berlatar belakang kepala desa, aktivis, dan camat. Pada kenyataannya pihak
kecamatan tidak menempatkan dirinya dalam posisi yang strategis guna mengaitkan
usulan-usulan dari desa dengan rencana pembangunan jangka menengah kabupaten.
Pemangku kewajiban musrenbang kecamatan pada akhirnya tak lebih dari seorang
kurir yang membawa usulan masyarakat tanpa mendiskusikan dan mengusahakan
supaya usulan tersebut dapat diterima dalam proses musrenbang selanjutnya.[2]
Idealnya tidak
demikian. Pihak kecamatan seyogyanya mampu berperan lebih dari sekadar kurir.
Mereka seharusnya dapat pula berperan sebagai tim perumus skala prioritas
usulan-usulan dari desa.[3]
Kerja-kerja tersebut dapat saja mereka lakukan mengingat posisinya yang
strategis dalam pengajuan usulan tingkat kabupaten. Yang dimaksud strategis
karena Camat menjadi peserta dalam musrenbang kabupaten, di samping pemangku
kepentingan lainnya. Lain halnya dengan kepala desa yang sama sekali tidak
dilibatkan dalam proses musrenbang kabupaten.
Kompilasi usulan
musrenbang kecamatan kemudian diserahkan oleh perwakilan kecamatan kepada Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang akan mengundangnya selaku
delegasi dalam pertemuan Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) atau
pra-musrenbang kabupaten. Forum ini dilaksanakan sebelum berlangsungnya
musrenbang tingkat kabupaten dengan mempertemukan antara pihak kecamatan dengan
SKPD tingkat kabupaten. Secara formal, forum ini disebut sebagai wahana untuk
melakukan sinkronisasi usulan sebelum disepakati bersama sebagai usulan resmi
daerah atau rencana kerja Pemda (RKPD) untuk dibahas dengan DPRD.
Di Forum SKPD
ini terjadi pertemuan antara dua jenis pendekatan: partisipatif dan
teknokratik. Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan perencanaan
pembangunan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.[4]
Esensi pendekatan ini adalah kehadiran dan keterlibatan pemangku kepentingan
dalam forum-forum publik terbuka. Pendekatan ini diwujudkan dalam pelaksanaan
musrenbangdes, di mana semua usulan program didasarkan pada tingkat kebutuhan
masyarakat desa. Sementara pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan kerangka
berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja fungsional. Pendekatan ini
tecermin dalam perumusan program-program perencanaan pembangunan oleh satuan kerja
atau SKPD tertentu. Satuan-satuan kerja menggunakan mekanisme internal dalam
menentukan usulannya. Sebagaimana institusi pemerintahan, SKPD tampak lebih
mengandalkan peran birokrasi di bawahnya yang berada di level kecamatan hingga
desa dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) dinas guna menjaring usulan SKPD.
Yang menarik,
selain merupakan pertemuan dua pendekatan dalam satu titik, Forum SKPD juga
mempertemukan dua arus besar jenis usulan yang berbeda. Bila usulan dari bawah
yakni lewat musrenbangdes didominasi usulan fisik, maka usulan dari SKPD
kebanyakan adalah usulan program nonfisik,[5]
seperti belanja pegawai, honorarium, bimbingan teknis, dan perjalanan dinas.
Satu hal lagi,
bila dilihat dalam konteks relasi kekuasaan, pertemuan usulan musrenbang dengan
usulan SKPD bukan pertemuan yang dapat dianggap setara secara politik. Satuan
Kerja merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur birokrasi Pemda. Dengan
posisinya yang demikian, SKPD memiliki sumber kekuasaan formal lebih besar
untuk mengakses informasi tentang anggaran. Lain halnya dengan aparat desa
selaku pelaksana musrenbangdes yang tidak memiliki otoritas apa pun dalam
penentuan usulan di tingkat kabupaten. Bila ada satu usulan yang sama, maka
usulan tersebut dapat dimasukkan menjadi usulan eksekutif yang akan dibahas
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menjadi masalah ketika ada
perbedaan usulan antara musrenbangdes dengan SKPD. Dengan kuatnya dominasi
teknokratisme, maka usulan musrenbang tingkat desa itu kerap tereliminasi dari
daftar usulan Pemda. Usulan SKPD yang kemudian terpilih menjadi usulan resmi
Pemda. Kenyataan ini diperparah dengan minimnya pengawalan dari publik serta
rendahnya akuntabilitas dalam proses musrenbang tingkat kabupaten. Yang
kemudian terjadi adalah usulan SKPD yang menjadi usulan resmi dari Pemda dengan
mengeliminasi usulan warga yang telah dirancang sejak musrenbang tingkat desa.
Para informan
yang berlatar belakang kepala desa mengatakan mereka tidak pernah tahu
bagaimana proses penentuan usulan musrenbang tingkat kabupaten. Selama ini
pihak Bappeda selaku pelaksana musrenbang kabupaten tidak pernah memberi
penjelasan. Dalam pandangan informan tadi, Bappeda tidak memiliki metodologi
yang jelas dalam menentukan sebuah usulan diterima atau ditolak. Ketiadaan metodologi
dalam penentuan persetujuan usulan musrenbang kabupaten mengakibatkan
kecurigaan di antara desa. Rasa curiga ini muncul disebabkan adanya pembangunan
di daerah yang tidak mengajukan usulan lewat musrenbang, sedang desa yang telah
berkali-kali mengajukan satu usulan tidak sekali pun direalisasikan.[6]
Kondisi ini
makin mengukuhkan kenyataan bahwa pendekatan partisipatif tampak hanya berlaku
sebatas musrenbang di level pemerintahan paling bawah. Pihak-pihak yang
berkepentingan datang merumuskan usulan bersama. Namun usulan dari bawah yang
sangat akomodatif tersebut dimentahkan oleh dominasi SKPD. Kepala desa baru
tahu bila usulan mereka disetujui dari kecamatan. Perwakilan dari kecamatan
yang biasa datang mengabarkan.
Sejumlah
informan telah menyadari kelemahan dalam prosedur pengakomodasian partisipasi
warga yang diterjemahkan dalam perencanaan anggaran Pemda tersebut. Misalnya,
dalam hal usulan program yang berasal dari dua pintu: SKPD dan musrenbangdes.
Meski ada usulan program atau proyek yang dapat digabungkan karena kebetulan
sama, namun usulan SKPD yang akhirnya lebih sering meminggirkan usulan
musrenbangdes. Pada akhirnya, usulan musrenbangdes yang cenderung lebih
partisipatif di tingkat bawah, berhenti pengajuannya di level kecamatan.
Para informan
menganggap kondisi ini sebagai masalah dalam proses pelaksanaan partisipasi
anggaran. Idealnya, semua usulan perencanaan proyek berawal dari musrenbang
karena wilayah pelaksanaan pembangunan proyek berada di desa. Secara faktual
memang ada juga proyek yang direalisasikan di luar mekanisme musrenbang. Dengan
hanya melalui musrenbang maka dapat meminimalisasi kasus-kasus yang nepotistik
tersebut.[7]
Satu contoh
fenomenal mengenai proses pengawalan yang pernah terjadi di Poso berlangsung
pada 2007. Saat itu dinamika politik lokal Poso memanas. Bupati Piet Inkiriwang
yang saat pemilihannya tahun 2005 mendapat dukungan politik dari PDS, tiba-tiba
melakukan manuver politik dengan mengarahkan dukungannya kepada Partai
Demokrat. Dia memilih membesarkan Partai Demokrat dengan menjadi Ketua DPC
Partai Demokrat Poso. Manuver ini memancing amarah pengurus PDS Poso termasuk
Ketua DPRD, S. Pelima, yang berasal dari partai berbasis agama Kristen itu.
Ketua dan pimpinan DPRD lainnya lantas memanfaatkan otoritasnya guna mengumpulkan
para camat se-Poso dalam sebuah forum resmi DPRD yang mereka sebut “Jaring
Asmara”. Forum ini disebut-sebut sebagai forum tandingan musrenbang yang
dilakukan oleh DPRD.[8]
DPRD Poso lantas melakukan langkah politik dengan membentuk Panitia Khusus
Angket dengan mengusung isu dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Piet terhadap
pengucuran Dana Recovery Konflik Poso yang berasal dari Pemerintah Pusat.
Forum “Jaring
Asmara” sejatinya menjadi semacam ‘koneksi’ antara camat, yang dalam alur
musrenbang berfungsi mengkompilasi usulan musrenbang tingkat desa, dengan DPRD.
Dewan memiliki fungsi strategis dalam penganggaran karena ia bersama dengan
Bupati berwenang untuk menyetujui APBD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah
(Perda).[9]
Bila tidak ada persetujuan dari salah satu pihak maka Perda batal secara hukum.
Camat
berkepentingan dengan DPRD karena melalui institusi ini mereka ingin mencari
tahu penyebab mengapa tingkat realisasi musrenbangdes sangat rendah. Pimpinan
DPRD berdalih bahwa pertemuan “Jaring Asmara” bukanlah untuk menggantikan
musrenbang yang diadakan pihak Bappeda, namun hanya untuk melakukan ‘pengecekan
silang’ usulan musrenbangdes yang diajukan Bappeda kepada DPRD. Periode-periode
sebelum 2007 belum pernah terjadi forum-forum resmi seperti “Jaring Asmara”
ini. Koneksi camat dan DPRD ini bersifat taktis karena dilatari oleh
kepentingan menaikkan posisi tawar DPRD di hadapan Bupati Piet Inkiriwang.
Menanggapi
terjadinya koneksi DPRD dengan Camat, Bupati lantas merespon dengan
mengeluarkan Surat Edaran Bupati Poso No: 180/330/Hukum tertanggal 12 Juni
2007. Isi surat tersebut melarang keras semua SKPD di lingkungan Pemkab Poso
untuk mendatangi undangan rapat dan melarang memberikan informasi kepada setiap
anggota Pansus DPRD. Drama politik elit tingkat lokal Poso ini baru berakhir
pada Pemilu 2009 lalu yang menempatkan Partai Demokrat sebagai partai pemenang.
Dengan demikian posisi politik Bupati Piet lebih kuat ketimbang S. Pelima dan
PDS-nya yang mengalami kekalahan di ajang pemilu tahun itu.
Forum
penjaringan aspirasi anggota berbeda dengan forum “Jaring Asmara”. Jika “Jaring
Asmara” baru pertama kali berlangsung, yakni pada 2007, dilatari oleh rivalitas
elit politik lokal, sedang forum penjaringan aspirasi masyarakat berlangsung
setiap masa reses Dewan. Meski dapat dipastikan setiap tahun anggota Dewan
memiliki kesempatan untuk mengagendakan penjaringan aspirasi secara formal,
namun forum ini kurang produktif. Banyak anggota DPRD yang tidak melakukan
kunjungan ke basis wilayah pemilihannya. Mereka jarang terlibat dialog dengan
masyarakat sehingga masalah rendahnya realisasi usulan-usulan perencanaan
pembangunan tidak terakomodasi dalam forum-forum resmi itu. Sekalipun terjadi
pertemuan antara anggota parlemen lokal dengan konstituennya, namun nyatanya
tidak berakibat pada tindakan apa pun oleh anggota Dewan terhadap usulan
musrenbangdes.[10]
Selain problem
tiadanya koneksi strategis yang didasari oleh kepentingan yang sama antara
warga dengan DPRD, problem lainnya dalam proses pengawalan musrenbangdes adalah
status usulan yang bukan dokumen pembahasan APBD.[11]
Saat ini statusnya hanya daftar usulan yang dikompilasi pihak kecamatan dan
hanya dijadikan referensi dalam rapat pembahasan tingkat kabupaten. Bila usulan
musrenbang merupakan dokumen pembahasan, maka konsekuensi logisnya anggota
Dewan dapat menggunakannya sebagai materi guna mengecek usulan penganggaran
yang diajukan oleh pihak Pemda.
Fungsi bujeting
DPRD lainnya diterjemahkan oleh anggota Dewan dengan jalan memainkan perannya
sebagai penerima usulan program dari perorangan. Biasanya usulan tersebut
diajukan dalam bentuk proposal bantuan oleh konstituen kepada anggota DPRD yang
dikenal. Setiap anggota DPRD melakukan hal tersebut. Proses ini lebih kerap
terjadi saat pembahasan sisa anggaran dalam pembahasan APBD Perubahan yang
berlangsung pada bulan-bulan akhir tahun anggaran berjalan.
Menurut
pengusaha yang menjadi informan penelitian ini, DPRD sering melakukan
pemotongan alokasi anggaran yang telah dibahas dengan dalih anggaran terlalu
besar. Pemotongan ini dianggap mereka bersifat politis. DPRD lebih
berkepentingan untuk mengalokasikan anggaran ke pos pengeluaran lainnya
ketimbang menyetujui nominal yang tertera dalam alokasi anggaran. Tampak relasi
antara anggota DPRD dengan para pengusaha tak melulu soal deal-deal kepentingan ekonomi bagi para pengusaha yang dominan,
namun kepentingan politis juga terjadi dalam negosiasi tersebut. Para pemilik
modal menjadi patron utama aktor politik formal mengingat kepentingan ekonomi
para pemilik modal tersebut yang sangat tergantung pada sumberdaya-sumberdaya
yang berada dalam kewenangan aktor politik formal.
Selain DPRD,
Bupati juga memiliki peran penting dalam proses pembahasan dan pengesahan APBD
Kabupaten Poso. Keduanya menjadi para pihak yang mengesahkan anggaran yang
dituangkan ke dalam Peraturan Daerah (Perda). Jika tidak disetujui oleh salah
satu pihak, maka Perda tersebut tidak sah. Di Poso, Bupati berasal dari partai
politik yang berbeda dengan mayoritas anggota DPRD. Selain melalui kekuasaan
formal yang dimilikinya sebagai Bupati, Piet diduga juga memobilisasi dukungan
dari sejumlah pengusaha besar guna memperoleh dukungan ekonomi dan politik
ketika Pemilu 2009. Dukungan para pengusaha ini dikoordinasi oleh tiga orang
yang kelak menjadi tim sukses Partai Demokrat dan berperan penting mengantarkan
partai itu menjadi pemenang pada Pemilu 2009 tingkat Poso. Ketiga orang
tersebut Sherly Mamuaya, Boy (Ketua DPC Partai Demokrat Poso), dan Yani Mamuaya
(Ketua DPRD Poso). Ketiganya oleh para aktivis dijuluki “SBY Poso” yang diambil
dari huruf depan nama mereka.[12]
Ketiga orang
tersebut dianggap para informan penelitian sebagai aktor yang dominan dalam
penentuan alokasi anggaran dengan memprioritaskan kelompok pengusaha-pengusaha
besar yang dekat dengan Bupati Piet.
Politik Alokasi Anggaran Kabupaten Poso
(1) Sebagian Visi Terealisasi dalam
Penganggaran
Semasa awal
periode pertama pemerintahan Bupati Piet Inkiriwang (2005-2010), pemerintahan
Kabupaten Poso berjalan dengan bayang-bayang konflik sektarian yang masih berbekas
di benak warga. Deklarasi Malino I meski sudah disepakati tahun 2004, namun
sejumlah peristiwa pembunuhan dan teror masih terjadi meski secara intensitas
menurun bila dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ketika terjadi pemilihan bupati
tahun 2005, Poso tak ubahnya kota yang sedang berbenah. Pasangan Bupati Piet
Inkiriwang dengan Wakil Bupati Abdul Muthalib Rimi terpilih menegaskan bahwa
pemerintahan mereka mengusung visi “Terwujudnya Kabupaten Poso sebagai Daerah
yang Aman, Damai, Adil, Bersatu, Demokratis, Sejahtera, Mandiri, dan Handal
dalam Sumberdaya Manusia, dengan Menjunjung Tinggi nilai-nilai Kemanusiaan,
Kemerdekaan, dan Persatuan”. Visi ini dianggap populis di mata masyarakat Poso
yang bertahun-tahun hidup dalam konflik.
Visi Bupati
terpilih tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam tiga misi pemerintahan selama
lima tahun (2005-2010) yakni:
(1)
Mewujudkan Kabupaten Poso yang Aman dan
Damai;
(2)
Mewujudkan Kabupaten Poso yang Adil dan
Demokratis;
(3)
Mewujudkan Kabupaten Poso yang
Sejahtera.
Sejalan dengan
kerangka legal yang mengatur musrenbang,[13]
visi-misi Bupati terpilih kemudian dijabarkan ke dalam dokumen perencanaan
pembangunan jangka menegah atau lima tahun Pemda (RPJM Daerah). Pengertian aman
dan damai dalam misi pemerintahan Piet diartikan sebagai kondisi yang bebas
dari bahaya ancaman dan juga keadaan tidak terjadi konflik, kerusuhan, atau
saling bermusuhan, tapi bersatu dan rukun dalam sistem negara hukum.[14]
Misi ini jelas ditawarkan oleh Piet dalam konteks paskakonflik sektarian yang
berlangsung secara massif sebelumnya.
Dalam penjabaran
RPJMD selanjutnya, mengenai indikator Kabupaten Poso yang aman dan damai adalah
berkurangnya gejolak keamanan dan ketertiban masyarakat, pulihnya kehidupan
sosial-budaya dari trauma konflik, serta kembalinya pengungsi Poso ke tempat
masing-masing tanpa rasa takut dan kuatir.[15]
Situasi paska
konflik sektarian memang menjadi perhatian utama bagi bupati Piet Inkiriwang
guna menawarkan program-program yang dianggap dapat meredakan ketegangan para
pihak. Tawaran ini jelas dinyatakan Piet dalam misi kedua yang menekankan pada
aspek keadilan bagi semua. Dalam penjabaran misi kedua pemerintahannya,
mewujudkan Kabupaten Poso yang Adil dan Demokratis, pemerintahan Piet
mengartikan Adil dengan (a) tidak berat sebelah atau tidak memihak; (b)
berpihak kepada yang benar, berpegang pada konstitusi dan hukum atau tidak
sewenang-wenang; (c) menghendaki kepastian hukum; dan (d) menuntut tidak berat
sebelah atau tidak memihak tetapi juga menuntut keberpihakan pada saat
kebenaran menjadi taruhannya. Sementara Demokratis diartikan dengan memiliki
arti pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama bagi semua warga negara di depan hukum.
Misi ketiga yang
hendak ditawarkan oleh pemerintahan Piet adalah sejahtera dengan arti berada
dalam keadaan aman dan tentram sejalan dengan kewajiban negara yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagian
informan menilai bahwa misi pemerintahan Piet telah dilaksanakan, terutama
menyangkut keamanan. Tingkat kriminalitas dan teror di kabupaten ini semakin
menurun seiring makin banyaknya aparat keamanan yang datang ke Poso. Pemda
mendukung pemerintah pusat selaku penanggung jawab keamanan mendirikan satu pos
polisi setiap desa. Sebagian warga berpendapat pendirian pos polisi di desa
diharapkan mampu mendekatkan masyarakat dengan aparat keamanan sehingga
tercipta rasa aman. Bila polisi hanya terkonsentrasi di kecamatan maka jaraknya
dianggap terlalu jauh. Proses pendirian polmas dilakukan dengan jalan Pemda
memberikan bantuan untuk pendirian bangunan, sementara pemerintah desa diminta
untuk memberikan lahannya.[16]
Selain pendirian
pos polisi masyarakat (Polmas) di setiap desa, satu kebijakan lain yang pernah
dilakukan oleh Bupati Piet dalam rangka melaksanakan misi “aman” pemerintahannya
adalah Proyek Peningkatan Sumberdaya Ketahanan Sipil (Hansip) atau Pelindung
Masyarakat (Linmas), dan PAM Swakarsa. Proyek ini dilaksanakan pada 2007 dengan
menelan dana Rp3,3 milyar. Sumber dana berasal dari Dana Recovery Konflik Poso
dari Pemerintah Pusat Rp2,8 milyar dan APBD Rp500 juta. Proyek ini belakangan
dianggap proyek mubazir karena setelah ditelisik ditemukan bahwa alokasi
terbesar pengeluarannya untuk pengadaan perlengkapan seragam seperti pakaian
dinas, sepatu lars, dan atribut pakaian dinas lainnya.[17]
Biaya di atas belum termasuk pengeluaran untuk membiayai kinerja aparat
keamanan, seperti gaji atau honor atau tunjangan lainnya.
Dua program di
atas menunjukkan bahwa Piet di awal pemerintahannya lebih cenderung menggunakan
pendekatan keamanan sebagai prioritas kerjanya. Agenda utama Piet ini nampaknya
didorong keyakinan bahwa faktor keamanan merupakan faktor yang menentukan bagi
berjalannya kehidupan masyarakat dan aktivitas ekonomi warga. Model pendekatan
keamanan seperti ini selalu muncul dari inisiatif elit dengan mengatasnamakan
stabilitas pemerintahan. Dampak yang diakibatkan adalah proyek yang sifatnya top-down itu cenderung mengabaikan
usulan dari warga terutama dalam peta alokasi APBD.
Paling tidak
pengabaian kepentingan warga tercermin dari rendahnya akomodasi dan realisasi
musrenbang tingkat desa oleh Pemda. Hampir semua desa mengalami masalah
minimnya realisasi ini. Minim tidak diartikan tidak pernah ada usulan yang sama
sekali tidak disetujui. Namun bisa juga disetujui dengan catatan prosentase
realisasinya sangat rendah. Usulan warga pada akhirnya menjadi sangat siklis.
Usulan yang ditolak secara otomatis akan diajukan kembali dalam proses
musrenbang tahun berikutnya dengan sejumlah tambahan usulan bila ada. Kecuali
sudah ada realisasi atas usulan tersebut.
(2) Dominasi Agenda Birokrasi dalam Alokasi
Anggaran
Rendahnya realisasi usulan proyek pembangunan lewat musrenbang dari
tingkat desa tampaknya lebih disebabkan dominannya agenda-agenda birokrasi guna
menunjang kepentingan Pemda itu sendiri. Hal itu ditunjukkan dengan besarnya
alokasi gaji pegawai yang dianggarkan dalam APBD. Struktur birokrasi Pemda
Kabupaten Poso dinilai gemuk dengan pegawai sekitar 7.000 orang.[18]
Belanja pegawai
sendiri terdapat di dua pos pengeluaran APBD, yakni di pos belanja tak langsung
dan belanja langsung. Belanja pegawai merupakan bagian dari pengeluaran rutin
yang tidak bisa diserap oleh publik, meski ditempatkan dalam pos belanja
langsung. Dengan memisahkan pos pengeluaran belanja pegawai di alokasi belanja
langsung dan belanja tidak langsung, penelitian ini menemukan alokasi belanja
pegawai di pos tidak langsung berkisar antara 2,73 % - 7,11 % selama tahun 2007
hingga 2010. (Lebih jelasnya dapat
disimak tabel di bawah).
Perbandingan Alokasi Pegawai di Pos Belanja Tak Langsung dan Belanja
Langsung dalam APBD Kabupaten Poso 2007-2010
Tahun Anggaran
|
Belanja pegawai di pos biaya
tidak langsung
|
Belanja pegawai di pos biaya
langsung
|
Total APBD
|
||
Nominal
|
Prosentase dalam APBD
|
Nominal
|
Prosentase dalam APBD
|
||
2007
|
157,620,000,000
|
35,98%
|
31,161,000,000
|
7,11%
|
438,025,000,000
|
2008
|
254,008,000,000
|
53,13%
|
17,769,000,000
|
3,72%
|
478,086,000,000
|
2009
|
312,206,000,000
|
49,80%
|
17,087,000,000
|
2,73%
|
626,899,000,000
|
2010
|
309,223,000,000
|
57,49%
|
19,708,000,000
|
3,66%
|
537,870,000,000
|
Dari tabel di
atas terlihat dalam APBD tahun 2007, alokasi belanja pegawai di pos belanja
langsung mencapai Rp 31.161.000.000 dan pada tahun berikutnya mengalami
penurunan prosentase hampir separuhnya. Meski dari sisi prosentase dalam APBD
menurun, namun ternyata dalam tahun yang sama, prosentase belanja pegawai di
pos belanja tak langsung mengalami lonjakan sebesar hampir Rp100 milyar atau
setara 17,15 % (dari 35,98 % menjadi 53,13 %) dari total APBD. Nilai kenaikan
alokasi untuk belanja pegawai ini hampir dua kali lipat dari nilai kenaikan
total APBD tahun 2008. Artiya, porsi kenaikan anggaran publik lebih
diperuntukkan bagi bertambahnya alokasi kepada aparatur pemerintahan ketimbang
sektor-sektor vital masyarakat.
Yang juga dapat
dibaca secara jelas dari paparan data di atas bahwa selama empat tahun, sejak
2007 hingga 2010, tampak alokasi belanja pegawai secara keseluruhan mengalami
peningkatan secara prosentase sebesar 18,06 %. Lebih ringkasnya dapat
digambarkan dalam grafik di bawah:
Tren dan Grafik Prosentase Belanja Pegawai APBD Kabupaten Poso 2007-2010
Tahun
|
Prosentase
|
2007
|
43.10%
|
2008
|
56.85%
|
2009
|
52.53%
|
2010
|
61.15%
|
Dengan besarnya
pengeluaran APBD untuk belanja pegawai berarti tingkat penyerapan anggaran
untuk membiayai pemerintahan sangat tinggi. Pegawai banyak, birokrasi gemuk.
Hal ini berpotensi koruptif karena anggaran publik dikuatirkan akan digunakan
untuk mempertahankan oligarki kekuasaan elit melalui kaki-kakinya di birokrasi.
Apalagi ditambah dengan rendahnya transparansi dan akuntabilitasnya di mata
publik makin memperkuat oligarki kekuasaan dengan Bupati sebagai pusatnya.
Salah satu
contoh yang sering memperoleh sorotan adalah tingginya alokasi anggaran untuk
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda). Pada APBD 2007 saja alokasi
untuk Bappeda sendiri mencapai hampir Rp9 milyar. Jumlah ini menurut DPRD tak
masuk akal karena secara fungsional, Bappeda hanya koordinator anggaran yang
tidak memerlukan kerja-kerja teknis hingga ke level pemerintahan terbawah.
Setelah plafon anggaran Bappeda diperiksa ternyata alokasi perjalanan dinasnya
sangat besar hingga mencapai Rp 300 juta. Hal ini menimbulkan kecurigaan
mengingat Kepala Bappeda merupakan orang dekat Bupati sehingga dikuatirkan
besarnya alokasi perjalanan dinas akan dimanfaatkan demi tujuan politik Bupati.[19]
(3) Anggaran Pekerjaan Umum untuk Para
Rente?
Bila dilihat dari prioritas peruntukan APBD, bidang Pendidikan menempati
urutan pertama, sektor yang menerima alokasi dengan 28,21 % dari total APBD.
Kemudian diikuti bidang Pemerintahan Umum dengan 23 %. Sedang bidang Pekerjaan
Umum, Kesehatan, dan Perumahan menjadi bidang yang menerima prioritas alokasi
APBD yang ke-3, 4, dan 5. Selengkapnya
lihat tabel di bawah:
Lima
Bidang Prioritas Alokasi APBD Kabupaten Poso Tahun 2007
No
|
Bidang
|
Total
|
Prosentase APBD
|
1
|
Pendidikan
|
123,522,611,413
|
28,21%
|
2
|
Pemerintahan
Umum
|
104,625,135,812
|
23,89%
|
3
|
Pekerjaan
Umum
|
44,100,549,920
|
10,07%
|
4
|
Kesehatan
|
40,238,243,669
|
9,19%
|
5
|
Perumahan
|
25,534,278,365
|
5,83%
|
Alokasi yang
besar bagi bidang pekerjaan umum tampaknya dipengaruhi oleh menguatnya posisi
para para pengusaha kontraktor secara politik karena faktor keterdekatan para
pemodal tersebut dengan Bupati. Kontraktor seakan memiliki kekuasaan besar
mengingat kebutuhan untuk mengadakan proyek-proyek infrastruktur fisik sangat
besar di wilayah paskakonflik, seperti Poso ini. Tak mungkin semua proyek
infrastruktur dikerjakan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) sehingga di
sektor ini tampaknya anggaran paling banyak diserap oleh publik, yang tak lain
adalah para kontraktor itu sendiri.
Data APBD tahun
2007 di atas menunjukkan anggaran pembangunan infrastruktur dalam APBD yang
dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum mencapai Rp44 milyar atau sebesar 10 % dari
total APBD. Jumlah ini naik lagi pada tahun berikutnya menjadi Rp54 milyar.
Tingginya nilai anggaran ini tentu saja diikuti dengan tingginya posisi tawar
para pengusaha kontraktor terhadap pihak yang berwenang mengucurkan anggaran.
Di Poso sendiri
menurut data Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) pada tahun 2008 terdapat
sekitar 300 pengusaha kontraktor yang memiliki ijin. Mulai dari skala kecil
hingga skala besar. Sebagian besar pengusaha merupakan kontraktor kecil yang
umumnya mengerjakan pembangunan proyek di bawah Rp100 juta. Mereka umumnya
adalah para eks kombatan yang melakukan transformasi kegiatan. Dari memanggul
senjata, ketika Poso damai, banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai
kontraktor dadakan. Para eks kombatan ini tidak memiliki pengalaman dan pengalaman
mengerjakan proyek-proyek infrastruktur. Mengingat latar belakang sosial mereka
sebagai bekas pihak yang terlibat konflik membuat para kontraktor dadakan
diperhitungkan secara politik.
Bupati Piet
sendiri, misalnya, memiliki kepentingan supaya para mantan kombatan ini
memiliki pekerjaan. Jika tidak, dikuatirkan mereka akan kembali berulah dan
menciptakan konflik baru. Hal ini dilihat Bupati Piet sebagai peluang untuk
memperkuat posisinya secara politik. Bupati diduga menangguk keuntungan di
balik keberadaan mantan kombatan ini guna memperkuat legitimasi
kepemimpinannya.[20] Dalihnya,
Bupati berhasil berdiri di atas dua golongan yang bertikai meski pada
kenyataannya dia memelihara hubungan secara patronase.
Selain pengusaha
dadakan yang jumlahnya ratusan, di Poso banyak pengusaha besar yang berasal
dari luar wilayah Poso. Model pengusaha ini mengandalkan koneksi yang kuat
dengan pemimpin politik setempat. Anggaran pembangunan infrastruktur banyak
diserap oleh kelompok pengusaha jenis ini dengan kekuatan kapital ekonominya
yang sangat besar. Modal yang mereka miliki sulit sekali ditandingi oleh
pengusaha kelas menengah-kecil.[21]
Di tengah sistem
pemerintahan lokal paskakonflik yang minim akuntabilitas publik serta tiadanya
pelembagaan transparansi, keberadaan aktor-aktor informal yang dominan menjadi
bagian tak terpisahkan dalam lingkaran oligarki kekuasaan. Dengan demikian,
faktor kedekatan dengan penguasa politik formal menjadi prasyarat mutlak guna
mendapatkan alokasi sumberdaya publik dalam APBD. Sementara timbal balik dari
pengusaha itu tak lain adalah donasi ekonomi kepada pemegang kekuasaan formal
ketika membutuhkan modal ekonomi untuk memenangi pertarungan di ranah politik
elektoral.
Dominannya
pengaruh pemilik kapital ekonomi besar yang berkolaborasi dengan penguasa
politik lokal sangat dirasakan oleh para pengusaha kecil tatkala mereka
berkompetisi dalam sebuah tender. Pengusaha besar dengan segenap kekuatan
ekonominya dapat dipastikan akan memenangi tender dengan nilai proyek yang
sangat besar karena mereka memegang lisensi khusus[22]
sebagai prasyarat tendernya. Sedang pengusaha kecil menengah tidak mungkin
mengakses proyek-proyek skala besar karena terkendala persyaratan
administratif.[23] Kondisi ini
dikeluhkan oleh beberapa pengusaha kecil yang menjadi informan penelitian.
Bahkan oleh Ketua Kadin setempat yang juga pengusaha golongan menengah dengan
aset beberapa ratus juta saja.
Salah seorang
informan yang masuk dalam organisasi Kadin mengilustrasikan bagaimana
diskriminasinya perlakuan Bupati Piet terhadap para pengusaha di luar lingkaran
kekuasaannya. Menurutnya, Pemda sama sekali tidak pernah melibatkan dan
memberikan informasi tentang proyek yang dibiayai Pemda kepada asosiasi
pengusaha seperti Gapensi, Hipmi, maupun Kadin. Bupati lebih sering memberikan
akses informasi kepada para pengusaha yang dekat dengannya. Menurutnya, praktik
pemberian informasi yang diskriminatif dan memihak pengusaha besar macam ini
susah untuk dilepaskan dari mobilisasi anggaran besar untuk proyek-proyek yang
dibiayai dana publik.
Meski demikian
para pengusaha kecil yang umumnya berada di luar lingkaran oligarki kekuasaan
Bupati menggunakan alternatif lain untuk mengakses dana APBD. Penelitian ini
mengindikasikan para pengusaha melakukan kontak yang bersifat individual dengan
anggota Dewan dalam rangka menjamin kepentingan ekonominya dalam proses
penganggaran.
Pengusaha juga
memanfaatkan situasi permusuhan politik yang terjadi antara Bupati dengan DPRD
dengan lebih mendekat kepada anggota DPRD yang memiliki hak bujet dan sering
menerima proposal proyek dari masyarakat. Menariknya, pengusaha kontraktor
kelas kecil tidak hanya mengandalkan kontak-kontak dengan anggota Dewan, namun
mereka juga menjalin hubungan dengan kepala desa. Mereka menerapkan strategi
dua kaki secara vertikal guna memuluskan agenda kepentingan ekonominya: satu
kaki di level pengesahan anggaran (entah DPRD maupun melalui eksekutif, dalam
hal ini SKPD tertentu) sedangkan satu lainnya di level pengusul anggaran.
Pengalaman ini
pernah ditemui di Betania dan Tongko. Kepala desa Betania mengatakan bahwa
perbaikan Polindes desa setempat merupakan hasil lobi kontraktor pelaksana yang
sempat mendatanginya. Kepala desa tersebut tidak keberatan dengan pertimbangan
kemanfaatannya bagi warga desa. Selain itu bangunan Polindes memang dianggap
sudah tak layak pakai dan dikuatirkan akan ambruk. Pemerintah Desa setempat
sudah memasukkan perbaikan Polindes dalam daftar usulan musrenbang selama
beberapa tahun, namun tidak pernah sekalipun terealisasi, sebelum datangnya
kontraktor yang menawarkan bantuan tadi.
Sementara di
desa Tongko, kontraktor mengerjakan perbaikan gedung SD Tongko 1. Ada nuansa
nepotisme dalam proses pengerjaannya. Kontraktor pelaksana proyek merupakan
istri seorang pegawai negeri di instansi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso.
Setelah sempat masuk dalam usulan musrenbang desa setempat, pada akhir 2009,
perbaikan empat ruang kelas dan toilet sekolah akhirnya disetujui. Cepatnya
proses persetujuan ini diduga karena kontraktor pelaksananya masih memiliki
hubungan keluarga dengan Kepala SD tersebut.[24]
Yang menjadi
ironi adalah tingginya alokasi untuk sektor infrastruktur ternyata tidak
dibarengi dengan tingginya alokasi untuk upaya yang mengarah pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Alokasi APBD tahun 2007 untuk bidang kesejahteraan
sangat kecil, hanya sekitar Rp2,8 milyar atau 0,65 % dari total keseluruhan
pengeluaran APBD Kabupaten Poso. Bila dibandingkan dengan alokasi untuk bidang
pekerjaan umum maka anggaran bidang kesejahteraan sosial ini setara dengan seperduapuluh
anggaran untuk sektor infastruktur tersebut. Dari prioritas alokasi ini tampak
dengan jelas anggaran publik lebih diperuntukkan bagi sektor fisik yang
memiliki nilai ekonomi-politik tinggi dibanding pemenuhan terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Selain karena
alokasi APBD untuk bidang kesejahteraan sosial yang amat kecil, jauh lebih
sedikit dibanding bidang pekerjaan umum, penelitian ini menemukan pula lebih
dari setengah alokasi untuk tiga bidang vital masyarakat dialokasikan guna
pembayaran gaji aparatur. Bidang pendidikan, misalnya. Meski secara prioritas
menempati urutan pertama, namun ternyata 77,45 % dari keseluruhan alokasi
bidang ini diperuntukkan untuk belanja aparatur. Ini artinya cuma 22,55 % atau
Rp22,8 milyar sisa alokasinya yang diperuntukkan untuk belanja publik seperti
pembangunan atau perbaikan gedung sekolah dan ruang kelas, pendirian unit
pendidikan anak usia dini (UPTD) yang dirasa mendesak bagi pemenuhan hak atas
pendidikan warga Poso.
Besarnya alokasi
untuk belanja aparatur juga ditemukan dalam alokasi bidang kesehatan dan
kesejahteraan sosial. Alokasi belanja aparatur di sektor kesehatan mencapai
54,88 % sendiri, bahkan di bidang sosial hingga 84,11 %. Untuk selengkapnya dapat lihat tabel di bawah:
Perbandingan Belanja Aparatur dan
Belanja Publik di Tiga Sektor Vital Masyarakat
APBD
Kabupaten Poso tahun 2007
BIDANG
|
BELANJA
APARATUR
|
BELANJA
PUBLIK
|
||
NOMINAL
|
%
|
NOMINAL
|
%
|
|
Pendidikan
|
95,674,227,973
|
77,45 %
|
27,848,383,440
|
22,55 %
|
Kesehatan
|
22,082,632,579
|
54,88 %
|
18,155,611,100
|
45,12 %
|
Sosial
|
2,389,475,795
|
84,11 %
|
451,307,000
|
15,89 %
|
Dari data di
atas menunjukkan bahwa meski dari segi alokasi, bidang pendidikan menempati
prioritas pertama. Namun setelah ditelisik sesungguhnya alokasi terbesar bidang
tersebut ternyata lebih banyak dinikmati untuk belanja aparatur. Sementara
alokasi belanja publik yang dapat diserap manfaatnya oleh warga, memperoleh
alokasi yang kecil. Sedang alokasi untuk bidang kesejahteraan sosial, Pemda dan
DPRD Kabupaten Poso masih menganggap urusan tersebut bukan sebagai urusan
prioritas. Hal ini ditunjukkan dengan sangat kecilnya alokasi untuk bidang
tersebut.
Mengenai alokasi
anggaran, ketika terjadi permusuhan politik pada 2007, DPRD pernah menelisik
lebih detail peta alokasi anggaran yang diajukan Bupati Piet. Saat itu DPRD
berhasil melakukan rasionalisasi setelah menemukan alokasi perjalanan SKPD ke
luar daerah yang cukup besar dibandingkan dengan anggaran perjalanan daerah.
Pengeluaran perjalanan dinas yang besar ini menyumbang ketimpangan alokasi
antara belanja tak langsung dengan belanja langsung yang dapat diserap
masyarakat. Dengan komposisi yang timpang ini, kalangan DPRD yang memiliki
mandat formal sebagai wakil rakyat berusaha mengubah peta alokasi anggaran
sejalan dengan peraturan pemerintah tahun 2008 yang menekankan agar terjadi
keseimbangan belanja tak langsung atau rutin dengan belanja langsung atau
publik.[25]
(4) Ketegangan Politik Mendorong Perubahan
Peta Anggaran
Pengalaman
penting dalam dinamika penganggaran di Kabupaten Poso adalah saat terjadinya
permusuhan politik antara DPRD dengan Bupati. Anggota DPRD berpendapat bahwa
Bupati dalam mengajukan RAPBD tidak lagi berpedoman pada KUA & PPAS yang
telah disepakati bersama. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan program
dan kegiatan yang ada dalam PPAS dengan RAPBD yang diajukan.
Ketegangan di
antara kedua institusi tersebut berhasil mengubah sebagian peta alokasi
anggaran. Negosiasi DPRD yang memperoleh dukungan dari perwakilan warga yang
diwakili oleh para Camat menghasilkan penambahan alokasi belanja publik
terutama untuk bidang Pekerjaan Umum atau anggaran infrastruktur, yang
mengalami kenaikan menjadi 11,44 % pada 2008 dari semula 10,07 %. Selain adanya
kenaikan pada sektor pekerjaan umum, kenaikan anggaran juga terjadi pada
alokasi pengeluaran untuk Pemberdayaan Masyarakat Desa yang naik hampir 2 %,
dari 2,74 % menjadi 4,58 %.
Meski demikian
ada beberapa pos alokasi anggaran vital yang mengalami pemangkasan anggaran
atau penurunan prosentasi anggaran seperti yang terjadi pada sektor pendidikan.
Sektor ini naik secara pendanaan namun menurun bila dilihat dari prosentase
secara keseluruhan. Sedang sektor pertanian yang mengalami penurunan baik
secara dana maupun prosentasenya. Selengkapnya
lihat tabel perbandingan prioritas APBD 2007 dan 2008.
Tabel
Perbandingan Alokasi APBD Kabupaten Poso tahun 2007 dan 2008
2007
|
2008
|
|||||
Pendidikan
|
28.21%
|
1
|
27.43%
|
2
|
||
Dinas
Pendidikan
|
123,522,611,413
|
131,156,696,000
|
||||
Kesehatan
|
9.19%
|
4
|
9.75%
|
4
|
||
Dinas
kesehatan
|
32,162,319,014
|
33,545,077,300
|
||||
RSUD
|
8,075,924,655
|
13,055,951,000
|
||||
Pekerjaan
Umum
|
10.07%
|
3
|
11.44%
|
3
|
||
Dinas
Prasarana Wilayah
|
44,100,549,920
|
54,691,740,000
|
||||
Perumahan
|
5.83%
|
5
|
3.06%
|
|||
Dinas
pemukiman dan penataan wilayah
|
25,534,278,365
|
14,626,086,600
|
||||
Perencanaan
Pembangunan
|
2.05%
|
1.29%
|
||||
Bappeda
|
8,996,440,066
|
6,144,769,000
|
||||
Perhubungan
|
1.29%
|
0.69%
|
||||
Dinas
perhubungan dan LLAJ
|
5,645,132,000
|
3,279,989,400
|
||||
Lingkungan
Hidup
|
0.70%
|
0.60%
|
||||
Bappeldada
|
3,048,999,078
|
2,850,292,000
|
||||
Kependudukan
dan Catatan Sipil
|
0.89%
|
0.77%
|
||||
Dinas
kependudukan, catatan sipil dan KB
|
3,901,171,939
|
3,700,432,000
|
||||
Sosial
|
0.65%
|
0.46%
|
||||
Dinas
kesejahteraan sosial
|
2,840,782,795
|
2,180,695,500
|
||||
Tenaga
Kerja
|
0.56%
|
0.69%
|
||||
Dinas
tenaga kerja dan transmigrasi
|
2,437,568,932
|
3,280,193,000
|
||||
Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah
|
1.56%
|
0.57%
|
||||
Dinas
perindustrian perdagangan dan koperasi
|
6,840,568,932
|
2,733,686,000
|
||||
Politik
|
1.51%
|
0.93%
|
||||
Badan Kesbangpol
linmas
|
5,005,998,089
|
2,584,028,300
|
||||
Kantor
Satpol PP
|
1,617,881,284
|
1,856,553,000
|
||||
Otonomi
Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah,
Kepegawaian
|
23.89%
|
2
|
29.53%
|
1
|
||
DPRD
|
4,224,341,028
|
3,281,861,000
|
||||
Kepala
daerah dan wakil
|
1,199,133,867
|
512,690,000
|
||||
Sekretariat
daerah
|
29,899,672,406
|
23,507,122,200
|
||||
Sekretariat
DPRD
|
7,368,180,766
|
7,921,426,800
|
||||
Badang
pengelola keuangan daerah
|
45,289,690,662
|
86,937,270,189
|
||||
Badan
pengawas daerah
|
3,528,000,000
|
3,137,935,000
|
||||
15 kantor
kecamatan
|
13,116,117,083
|
15,895,032,000
|
||||
Kepegawaian
|
1.45%
|
0.95%
|
||||
Badan
kepegawaian daerah
|
6,356,487,000
|
4,540,745,000
|
||||
Pemberdayaan
Masyarakat Desa
|
2.74%
|
4.58%
|
5
|
|||
Dinas
pemberdayaan masyarakat kabupaten
|
11,990,124,391
|
21,909,318,478
|
||||
Kearsipan
|
0.37%
|
0.31%
|
||||
Kantor
arsip dan perpustakaan
|
1,634,327,534
|
1,463,930,700
|
||||
URUSAN PILIHAN
|
||||||
Pertanian
|
4.20%
|
6
|
3.60%
|
|||
Dinas
pertanian dan peternakan
|
14,838,559,071
|
10,793,631,000
|
||||
Kantor
ketahanan pangan dan penyuluhan pertanian
|
3,554,400,576
|
6,425,503,000
|
||||
Kehutanan
|
1.67%
|
1.06%
|
||||
Dinas
kehutanan dan perkebunan
|
7,316,270,401
|
5,063,445,000
|
||||
Energi dan
Sumber Daya Mineral
|
1.06%
|
0.58%
|
||||
Dinas pertambangan
dan energy
|
4,645,158,970
|
2,756,166,000
|
||||
Pariwisata
|
0.49%
|
0.33%
|
||||
Dinas
pariwisata, seni dan budaya
|
2,131,941,200
|
1,574,251,000
|
||||
Kelautan
dan Perikanan
|
1.63%
|
1.40%
|
||||
Dinas
perikanan dan kelautan
|
7,119,139,369
|
6,679,051,000
|
||||
JUMLAH
|
437,941,770,806
|
100.00%
|
478,085,567,467
|
100.00%
|
Secara
kalkulatif, berkat forum ’Jaring Asmara’ ini, DPRD mengklaim berhasil
merasionalisasi anggaran sebesar 15 % yang sebagian besar merupakan pengurangan
belanja aparatur seperti perjalanan dinas luar daerah, belanja kendaraan dinas
yang berlebihan, belanja alat-alat studio yang berulang-ulang tiap tahun, dan
honorarium pegawai negeri sipil.[26]
Komposisi alokasi anggaran pun akhirnya berubah, dari 70 % untuk belanja
aparatur atau tidak langsung berbanding 30 % untuk belanja langsung, menjadi 55
% : 45 %.
Memilih Jalur Pemberdayaan dan Marjinal secara Politik;
Peran Masyarakat Sipil
Peran kelompok
masyarakat sipil di Poso mulai menonjol ketika situasi konflik berangsur
mereda. Aktivitas mereka berkutat pada proses pendampingan dan rehabilitasi
korban konflik yang bersifat non politis. Namun saat konflik mereda, mereka
mulai banyak melakukan aktivitas pemberdayaan masyarakat dengan menetapkan desa
sebagai basis wilayah kerjanya. Beberapa kelompok masyarakat sipil kemudian
menginisiasi program restrukturisasi dan revitalisasi pemerintahan desa mulai
dari penguatan peran Badan Perwakilan Desa (BPD), pelatihan-pelatihan politik
untuk tokoh masyarakat, asistensi alur pelaksanaan musrenbang, hingga proyek-proyek
teknis seperti pembangunan sumur resapan, dan sebagainya.
Organisasi
masyarakat sipil maupun gerakan tidak secara spesifik terlibat dalam proses
advokasi proses musrenbang. Mereka hanya terlibat dalam kasus-kasus tertentu,
tidak secara sistematis di semua alur. Dengan modal sosial yang dimiliki,
organisasi-organisasi seperti LBH, PRKP maupun LPMS baru melakukan advokasi
ketika diminta tolong oleh kepala desa menanyakan usulan-usulan warga yang
tidak direalisasi ole Pemda.
Sebagai contoh,
pada 2009 sejumlah aktivis dari beberapa organisasi masyarakat sipil melakukan
pendampingan di berbagai desa untuk menemui Bupati Piet. Mereka menanyakan
mengenai usulan pembangunan baruga
atau balai pertemuan masyarakat di kampung. Baruga
ini penting bagi warga sebagai wahana sosial bertemunya warga untuk membahas
masalah-masalah mereka. Warga protes kepada Bupati karena mereka sebenarnya
telah memasukkan pembangunan baruga
dalam usulan musrenbang selama bertahun-tahun namun belum juga direalisasi.
Akhirnya, atas desakan warga tersebut, Bupati Piet menyetujui proyek
pembangunan baruga.[27]
Selain sangat
aktif melakukan pemberdayaan nonpolitis di tingkat desa, sejumlah organisasi
masyarakat sipil dan organisasi gerakan juga memelihara koneksi dengan beberapa
anggota DPRD. Namun kontak ini tidak terbangun atas kepentingan yang strategis.
Mereka hanya menggunakan kontak-kontak dengan anggota Dewan bila memerlukan
informasi. Sejauh ini kelompok masyarakat sipil melakukan kontak secara intens
hanya kepada 2-3 orang saja dari 45 keseluruhan anggota DPRD.
[1]
Piet Inkiriwang, misalnya,
membagikan sejumlah traktor kepada petani di daerah Meko, Tentena, yang
ternyata tak lain adalah tim suksesnya dalam Pemilu 2009. Wawancara
dengan Vincent, pengelola Radio Wasantara, Tentena.
[3] Wawancara dengan Faiz PRKP.
[4] Pelbagai macam pendekatan musrenbang
dapat dilihat dalam dasar pemikiran UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam aturan hukum ini disebutkan empat
metode pendekatan. Selain partisipatif dan teknokratif, perencanaan pembangunan
juga menggunakan pendekatan bawah-atas (bottom-up)
dan atas-bawah (top-down).
[5] Wawancara dengan Amir Kusa, anggota DPRD
Kabupaten Poso.
[6] Wawancara dengan Franky Karepoan, kepala
desa Betania.
[7] Wawancara dengan Ari Pamungkas, camat
Poso Kota.
[8] Salah
seorang anggota DPRD mengatakan bahwa latar ketegangan ini lebih disebabkan
rendahnya penyerapan usulan masyarakat lewat musrenbang khususnya untuk belanja
langsung dalam RAPBD yang diajukan pihak eksekutif.
[9] Pasal 344 ayat (1) UU No.27 tahun 2009
tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
[10] Wawancara dengan Asparat, Kepala Desa
Tongko.
[11] Wawancara dengan Iskandar Lamuka, tokoh
masyarakat dan aktivis LPSHAM Poso.
[12] Wawancara dengan Fahmi dan Robert.
[13] Pasal 5 ayat (2) UU No. 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
[14] Penjabaran RPJMD Kabupaten Poso 2005-2010
Bupati Piet Inkiriwang dan Wakil Bupati Abdul Muthalib Rimmi.
[15] Penjabaran RPJMD Kabupaten Poso
2005-2010.
[16] Wawancara dengan Mardin, Kepala Desa
Tumora.
[17] Laporan AJI Palu yang diterbitkan dalam
laporan jurnal Telisik dengan judul “Merawat Api dalam Sekam”, terbitan AJI
Palu, Kota Palu, Mei 2008. Halaman 48.
[18] Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi
pernah menyatakan jumlah ini dalam sebuah berita di media online. Sumber: Sumber : http://beritaposo.blogspot.com/2008/10/15-pns-poso-masih-mangkir-masuk-kantor.html
[19] Op.Cit
[20] Ibid.
[21] Wawancara dengan Fahmi, sekretaris
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kabupaten Poso, dan juga Robert,
seorang kontraktor.
[22] Lihat Keppres 80 tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa.
[23] Wawancara dengan Hamzah Thamrin, Ketua
Kadin Kabupaten Poso.
[24] Wawancara dengan Asparat, Kepala Desa
Tongko.
[25] Wawancara dengan Azmir Podungge,
anggota DPRD Kabupaten Poso dari Partai PAN.
[26]
Wawancara dengan Azmir Podungge, anggota DPRD Kabupaten Poso periode 2004-2009
dan 2009-sekarang.
[27]
Wawancara dengan Faiz PRKP.
[1] Kabupaten Poso dalam Angka, BPS Kabupaten
Poso, 2008.
[2] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Poso 2005-2010.