Tuesday, September 4, 2007

Mengunjungi Aceh

Awal Agustus kemarin saya pergi ke Aceh selama empat hari. Ini merupakan kehadiran pertama saya di daerah berjuluk Serambi Mekah itu.

Saya berangkat pada 1 Agustus pagi dari Jakarta menumpang pesawat Garuda Indonesia. Bersama saya, Mbak Herni, Maryam Rodja, dan Anton Karunia. Semuanya dari PSHK. Kami ingin melakukan prariset tentang perlindungan hak anak di Aceh.

Adalah Mitra Sejati Perempuan Indonesia (Mispi) yang menjadi partner lokal riset PSHK untuk proyek ini. Organisasi ini memiliki jaringan luas di kalangan aktivis perempuan di Aceh. Lembaga ini dipimpin oleh Kak Ipah.

Nama Mispi tercatat juga sebagai salah satu pengkritik laporan pemerintah di komisi pemantau Convention on Elimination on All of Discrimination Against Woman (Konvensi Internasional untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) tahun ini.

Sesampainya di Banda Aceh, kami dijemput dua staf Mispi dan seorang sopir bernama Bang Isal. Bang Isal ini orangnya kalem, ramah, dan baik hati. Bang Isal seorang calon bapak. Dirinya tinggal di daerah Peuniti bersama istri dan mertuanya.


Selain saya, ternyata bagi Maryam dan Anton, ini kedatangan di Aceh yang pertama kali juga. Kami lebih banyak bertanya tentang cerita seputar tsunami yang menerjang akhir 2004 lalu.

Bang Isal dengan sabar menceritakan penggalan kelam tsunami. Pada puncak tsunami, beberapa saat setelah terjadi gempa 9,8 skala Richter, air laut menerjang apa pun yang ada. Menggulung dan meluluhlantakkan rumah, pepohonan, mobil, orang-orang. Di beberapa pesisir pantai, ketinggian air bahkan mencapai tiga kali pohon kelapa.

Di Aceh kemarin, kami sempat melihat banyak pohon kelapa di pinggir pantai yang tinggal batangnya menjulang. Tak ada daun, tak ada buah. Saya kira itu saksi bisu kedahsyatan tsunami. Tak kurang dari 180 ribu warga Aceh meninggal. Infrastruktur publik di daerah bencana lumpuh.

Kami mengunjungi PLTD Apung, sebuah kapal pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang terdampar di daratan daerah Pungee Blang Cut. Kapal ini jadi tontonan warga sekitar. Tak sedikit orang luar Aceh yang mampir kesini hanya untuk melihatnya. Saya, Anton, dan Maryam sempat menaiki kapal ini. Dari atas, saya memperhatikan pantai terdekat. Membayangkan betapa besarnya kekuatan air sehingga mampu membawa kapal berbobot 3600 ton ini, dari Pantai Ulee Lheue, sekira empat kilometer.

Tempat lain yang kami kunjungi adalah Solong, Ulee Kareng. Ini tempat orang ngopi paling terkenal di Banda Aceh. Tampaknya tempat ini jadi tempat favorit banyak pekerja NGO. Mereka mengobrol, berdiskusi, atau sekadar buang beban pikiran sementara waktu. Kopi disini sangat khas aromanya. Rasanya pun beda dengan kopi buatan pabrik. Lebih lembut. Sedapnya lebih terasa. Aromanya khas. Saya memutuskan untuk beli seperempat kilogram untuk oleh-oleh. Harganya Rp. 12.500.


Setelah urusan prariset dengan Mispi selesai, kami menyempatkan diri mengunjungi Pantai Ujung Batee. Tentu diantar dengan Bang Isal. Disitu kami bakar ikan dan makan mie instan. Minum es kelapa muda. Menurut Bang Isal, daerah Ujung Batee salah satu basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dirinya pernah ditahan oleh GAM di daerah ini. "Saya nggak diapa-apain, cuma diperiksa, tak lama kemudian dilepaskan," kata Bang Isal.

Sepintas pantai ini sepi. Jarang ada kendaraan yang lewat. Pantainya seperti tak terurus, meski masih alami. Tak ada tanda-tanda kawasan ini akan dibangun, baik oleh pemerintah daerah atau investor. Kami mendapati papan peringatan "Pengunjung dilarang berdua-duaan di pantai. Pantai buka dari jam 09 dan tutup jam 18." Papan ini dipaku menempel di pepohonan pinggir pantai. Papan beginian banyak banget kami jumpai di Pantai Ujung Batee.

Saya paham maksudnya. Itulah kenangan kecil tentang Aceh.