Wednesday, June 13, 2007

"Darah Juang" di Ibukota

Ketika masih kuliah di Jogja, saya sering mendengar lagu "Darah Juang" dinyanyikan aktivis saat berdemonstrasi. Tiap demo dapat dipastikan lagu ini akan jadi semacam lagu wajibnya.

Namun begitu pindah ke Jakarta, dua tahun ini, saya hanya tahu lagu ini dinyanyikan satu kali saja, yakni saat penguburan almarhum sastrawan Pramoedya Ananta Toer di pekuburan Karet 30 April 2006 lalu.

Jakarta kota yang serba instan. Kota ini mungkin paling padat penduduknya se-Asia Tenggara. Urusan apapun di negara ini pasti terkait dengan Jakarta entah itu soal kelangkaan minyak di pelosok Kalimantan sana atau pembunuhan tokoh adat berpengaruh di Papua.

Bila Anda ingin jadi bintang televisi terkenal, maka mendekatlah ke Jakarta. Hampir tiap minggu selalu muncul bocah-bocah yang didandani menor, rambut di-rebonding, dengan sedikit ponny menutupi jidat. Meski rata-rata umur mereka masih di bawah 15 tahun.

Jakarta dapat dipastikan akan memberi restu untuk jadi populer. Lagu-lagu romantis, manja, dan sedikit cengeng, diluncurkan di setiap penjuru ibukota. Kita bisa menghitung dengan dua telapak tangan dan dua telapak kaki untuk menghitung banyaknya album yang diluncurkan, didengarkan, didendangkan, lewat radio dan televisi.

I do not care! Itu semua hanya tawaran mimpi. Bagi yang merasa nyaman dengan mimpi-mimpi tadi, tak jadi soal. Saya hanya mau mengajak Anda untuk menyimak bait-bait menggugah lagu "Darah Juang" saja. Liriknya sederhana, realis, dan penuh inspirasi, setidaknya buat saya pribadi.

Berikut lirik lengkap "Darah Juang":


Di sini negeri kami
tempat padi terhampar luas
samuderanya kaya raya
tanah kami subur, Tuhan.

Di negeri permai ini
berjuta rakyat bersimbah luka
anak kurus tak sekolah
pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
Bunda, relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat

padamu kami berjanji
padamu kami berbakti

tuk membebaskan rakyat


Lagu ini dikarang oleh John Sonny Tobing, mantan mahasiswa Filsafat UGM pada 1990an. Saya tak pernah kenal dia, tapi saya kenal karyanya. Bila lagu ini masuk dapur rekaman, saya kira, dia patut mendapat banyak royalti.

Namun saya tahu industri rekaman sebuah bentuk kapitalisasi yang cukup nyata. Lagu "Darah Juang" hanya digemari oleh kalangan terbatas, cukup terbatas untuk ukuran pasar rekaman lagu. Pasar tidak melihatnya sebagai potensi yang cukup menguntungkan.

Selain itu, umumnya aktivis sosial yang sering menyanyikan lagu ini adalah mereka para penentang kapitalisme dan globalisasi ekonomi. Dua terminologi yang merupakan jelmaan terbesar dari apa yang kita sebut sebagai 'pasar'.








5 komentar:

syahranny said...

sepaket ma internasionalisme, setuju ga?

Anonymous said...

sepertinya kita semua kangen Jogja, dan saya salah satunya! aku kini tinggal di Bandung. mencari rejeki di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa BArat. kawan, masih ingat aku? PENDAPA TAMANSISWA.
kawan,sepertinya ada waktu yang harus kita luangkan bersama untuk duduk kembali mengenang jogja ketika kita dahulu sering berdiskusi malam-malam. aku ada di blog multiply: http://ramaprabu.multiply.com jangan lupa, kita harus tetap menjaga bahwa NKRI menjadi darah dan nafas kita.......haaaaaa.............

engkos kosnadi

Gerson Y. Sumolang said...

Kalo mo denger lagunya skaligus download ntar aku sediakan...karena di multiply-ku masih terisi lagu2 LONTAR album 1. Sedangkan lagu DARAH JUANG tsb ada di album ke-3 nya. Emang itu karya John.Sonny Tobing dibantu ama Andy Munajat..itu kawan2 aku ketika kami sama2 berjuang melawan kekuasan lalim Soeharto di masa Orde Baru. Aku dan bandku: LONTAR mengaransir lagu tersebut dengan apik dan kami sematkan di album ber\title; Indonesia...Siapa Yang Punya??
Kunjungi: babelontar.multiply.com

Anonymous said...

saya juga menulis mengenai darah juang. tapi tak selengkap anda. mohon ijin mengutip nama penciptanya....

saya juga menulis sedikit soal himmah di posting 'mereka yang menjaga tradisi'. harap ditambahi.

salam kenal.
mpep

Anonymous said...

saya jadi teringat pada awal 98 di bunderan, saat itu masih duduk di semester 2. waktu itu saya tidak begitu paham dan hafal akan syair dan bait yang terucap. hanya nuansa kejuangan yang dapat dirasakan.

teringat pula di tempat yang sama, bunderan-- awal 98.... saat butet kertaradjasa mambacakan puisi sutardji calzoum bachri berjudul 'air mata kami" dengan memakai intonasi soeharto dan dengan ditambahkan kata 'dari pada' di beberapa tempat dalam bait- puisi itu.

tentu dikedua pertunjukan itu ditambah kejar-kejaran dengan polisi...


dan syair darah juang itu mengingatkan pula pada awal 2003 dimana mungkin satu-satunya acara wisuda kampus yang menyanyikan lagu darah juang.....

wah.... posting jenengan membangkitkan memori lama mas, antara air mata dan perjuangan.

salam hangat... jangan lupa titp proyek tanggung depan rumah.

ttd ali yudhi