Wednesday, March 5, 2008

Pelatihan Legislative Drafting di Banda Aceh

Selama tujuh hari kemarin, saya meninggalkan Jakarta untuk mengikuti pelatihan perancangan perundang-undangan di Banda Aceh. Ini pelajaran baru buat saya.

Penyelenggara acara itu dari kantor kami (PSHK) bekerja sama dengan satu organisasi sosial Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI). Empat orang trainer dari PSHK, sedang panitia dari MiSPI. Peserta berjumlah sekira 18 orang. Ada birokrat, dosen, komisioner, politikus, aktivis perempuan, polisi, dan pendamping anak.

Pelatihan itu dirancang untuk membuat, menilai dan memperbaiki metode pembuatan perundang-undangan. Ketentuan hukum membolehkan tiap daerah mengeluarkan aturan sendiri. Aturan daerah berada paling dasar struktur hirarki sumber peraturan perundang-undangan. Artinya, ia tak boleh bertentangan dengan sumber hukum di atasnya seperti konstitusi atau UU.

Kesannya mengekang, namun memang demikian ketentuan normatifnya. Bila di daerah lain disebut peraturan daerah, maka di Aceh, aturan lokal dinamai qanun. Istilah ini diambil dari bahasa Arab yang berarti peraturan.

Istilah qanun ini besar kemungkinan ini karena arabisasi yang sedang mekar di Aceh. Jadi hampir semua aspek sosial masyarakat disimbolkan dengan kosakata dan gambar-gambar bernuansa Arab.

Menurut Suraiyya Kamaruzzaman, penerapan Syariat Islam ini merupakan satu rekomendasi solusi konflik Aceh dengan Jakarta. Ini rekomendasi tim penasehat Aceh yang dibentuk oleh Presiden Habibie pada 1999. Tim ini diketuai oleh H. Usman Hasan, seorang tokoh Aceh.

Mulai saat itu, syariatisasi muncul secara massif dan sistematis di Aceh. Perempuan wajib mengenakan jilbab, pegawai pemerintahan berhenti kerja ketika azan terdengar, rumah makan wajib tutup bila ada azan magrib. Dari sisi masyarakat, muncul kelompok-kelompok macam milisi yang bertindak sebagai penegak syariat. Mereka menggebuk, menangkapi, menahan orang-orang yang dituduh melanggar.

Tak kurang dari dua undang-undang tentang Aceh yang kemudian disahkan parlemen Jakarta: UU no 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU no 37 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Aturan pertama belakangan direvisi ketika zaman pemerintahan Megawati yang memberikan status daerah otonomi buat Aceh.

Dasar diterapkannya qanun dan syariat Islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999. Praktis sejak itu semua peraturan daerah berganti nama dengan qanun. Pelatihan kemarin hendak menawarkan metodologi dalam perancangan qanun. Ini guna menghindarkan aturan yang tidak operasional. "Antara implementasi dengan hukum itu merupakan satu kesatuan," kata Irfan Hutagalung, salah satu fasilitator.

"Jadi bukan soal implementasinya saja yang bermasalah, namun perlu dicek jangan-jangan aturannya yang bermasalah."

Trainer lantas memberi contoh sebuah perda yang mengatur soal larangan seragam yang sama buat tukang ojek. Ini contoh salah karena yang diatur itu seragam, bukan tukang ojeknya. Subyek harus orang atau lembaga yang disebut secara khusus. Bukan benda mati.

Peserta diminta mengoreksi perda-perda yang salah secara metodologi. Kami harus menunjukkan di mana letak kesalahan dan bagaimana yang benar. Patokannya banyak. Selain dari aspek subyek, ada juga dari kalimat. Kalimat perundang-undangan atau qanun setidaknya mengandung norma wajib atau harus, atau dilarang. Ini penting sebagai penegasan dari prinsip 'siapa melakukan apa'.

Reny Rawasita, trainer yang lain, menyarankan agar perancang menghindari kata-kata yang bermakna sangat umum, seperti demokrasi, pemerintah, atau negara. Kata ini berpotensi menimbulkan perdebatan, dan bermakna abstrak. Kata macam ini perlu dielaborasi lagi sehingga operasional.

Dalam pelatihan itu, kami juga diajari membuat naskah akademis sebagai basis pembuatan aturan. Naskah ini intinya berisi soal analisis masalah sosial yang hendak diatur. Ada faktor sosial, siapa aktor yang terlibat di situ, bagaimana perjalanan sejarah masa lalu masalah sosial, hingga rincian solusi yang ditawarkan.

PSHK menyebut metode ini dengan Metode Pemecahan Masalah, disingkat MPM. Metode ini memakai tujuh alat analisis meliputi aturan (rule), kesempatan (opportunity), sosialisasi (communication), kapasitas (capacity), kepentingan (interest), proses (process), dan pandangan masyarakat (ideology). Kami biasa menyingkatnya dengan ROCCIPI.

Poin penting yang tak saya lupakan bahwa tak semua masalah sosial dapat dipecahkan lewat aturan. Banyak model solusi yang lebih murah dan efektif ketimbang sebuah aturan. Saya setuju dengan hal ini. Alasan saya lainnya karena institusi-institusi sosial dan pemerintahan senantiasa masih dikuasai elit oligarki yang tak merakyat.

Elit membajak institusi atau lembaga-lembaga sosial itu untuk melayani kepentingan mereka. Rakyat masih saja dipinggirkan. Contoh paling hangat ketika politisi Senayan mengesahkan UU Pemilihan Umum, Senin (03/03) lalu.

Dari Aceh saya berkaca.


Note: Saya mengganti titel dari semula 'Pelatihan Legal Drafting' menjadi 'Legislative Drafting'. Penggunaan istilah pertama kurang tepat dilihat dari penamaan.

0 komentar: