Sunday, June 10, 2007

Gerakan Massa Max Lane

Bila kita bertanya siapa yang paling berpengaruh dalam proses demokrasi di Indonesia, seorang Max Lane pasti akan menjawab "gerakan massa".

Demikian tesis Max Lane yang lebih dari tiga puluh tahun bergelut dengan politik dan demokrasi di negeri ini. Pria asal Australia ini kembali menegaskan hal itu di atas podium ketika peluncuran bukunya "Bangsa Yang Belum Selesai" dan jurnal "Reform Review", Selasa (22 Mei 07) lalu. Buku dan jurnal diterbitkan oleh Reform Institute, sebuah lembaga nonpemerintahan.

Lane mengucapkan terima kasih kepada almarhum sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang telah meletakkan kerangka pemikirannya tentang bangsa kepada dirinya. Pikiran-pikiran Pram ini belakangan menjadi inspirasi bagi Lane untuk menulis buku ini.

Malam itu Lane mengenakan kemeja batik dan celana krem. Orangnya tambun. Rambutnya putih. Dia memberikan sambutan dengan bahasa Indonesia dengan lancar meski sempat pula tertatih-tatih.

Pertautannya dengan Pram terjadi sekira 20 tahun lalu. Saat itu Lane menjadi staf Kedutaan Australia di Jakarta dengan jabatan sekretaris dua pada seksi bantuan pembangunan.

Di sela-sela kesibukannya sebagai diplomat saat itu, Lane mempunyai aktivitas politik yakni menerjemahkan karya-karya besar Pramoedya ke dalam bahasa Inggris, antara lain "Cerita dari Blora" dan tetralogi Buru yang termasyhur itu: "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca".

Pemerintah Australia yang pro-Jakarta lantas memberhentikan Lane secara halus karena aktivitasnya ini.

Menurut Max Lane gerakan massa memiliki pengaruh penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Pada masa Orde Baru Soeharto, gerakan ini diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat dan tokoh demokrasi seperti Abdurrahman Wahid.

"Gerakan Kedung Ombo tahun 1989 besar kontribusinya mendorong gerakan massa yang kelak mendorong jatuhnya Soeharto," kata Lane. Dia mengatakan gerakan massa di angkatan ini memiliki keunggulan dibanding gerakan massa sebelumnya, pada 1965.

Gerakan massa pada 1980an relatif 'memiliki jarak' dengan angkatan sebelumnya. Selain itu, gerakan ini memiliki jaringan internasional yang lebih luas.

4 komentar:

zen said...

Sayangnya, dalam konteks yang lain yaitu prosesi lahirnya Indonesia sebagai sebuah gugusan gagasan dan konsep, elitisme lebih menonjol ketimbang gerakan massa.

Ini pula yang kurang tercover dengan proporsional dari karya Max Lane: apa yang disebut kaum cendekiawan sebagai artikulator gagasan perlawanan tak diberi ruang yang proporsional, termasuk di sini adalah Widji Thukul (sekadar sebagai contoh!)

Saya sudah membaca buku ini. Kesan saya, buku ini akan manis sekali kalo dibaca setelah membaca lebih dulu buku Daniel Dhakidae yang judulnya Cendekiawan dan Kekuasaan dan bukunya Yudi Latief yang judulnya Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20.

Keduanya saling memerkaya dan memertajam pemahaman akan faset-faset dalam arus transoformasi yang berlangsung masyarakat dan "negara-bangsa" Indonesia, lengkap dengan semua sengkarutnya.

from jogja with love, mas Wid!

zen

Anonymous said...

Thanks for writing this.

Anonymous said...

pak max lane adalah seorang dosen tamu di universitas saya. ya, beliau memang selalu mengatakan bahwa gerakan massa adalah organisasi yang paling berpengaruh dalam proses demokrasi suatu bangsa.
saya sangat setuju dengan pendapat beliau. karena bagaimanapun suara rakyat memnag harus didengarkan oleh pemerintah. karena rakyatlah yang menjalani seluruh kebijakan yang digulirkan pemerintah.
caiyo pak! terus semangat.
malu sekali kita sebagai orang indonesia belum mempunyai semangat yang begitu besar seperti yang dimiliki beliau.

cakcak said...

salam! massa musik populer; balada/rock (Iwan Fals) dan heavy-metal (Metallica) juga masuk dalam tesis Max Lane... trims. http://www.greenleft.org.au/node/4974