Tuesday, November 6, 2007

Lebaran di Kampung Halaman


Bulan lalu, kami, seperti halnya semua umat Islam di belahan bumi lainnya, merayakan Idul Fitri. Biasanya, kami melakukan tradisi sungkeman pada orang tua, kakek, nenek, paman, sepupu, bibi, adik, sampai tetangga terdekat di kampung.

Saya dan istri berangkat pada 9 Oktober atau empat hari sebelum Lebaran karena memang kami kebagian tiket kereta tanggal itu. Sebenarnya saya berharap bisa pulang paling tidak pada keesokan harinya. Jatah cuti dan ijin dari kantor saya hampir habis. Jadi bila selisih sehari, saya bisa hemat sisa cuti untuk liburan akhir tahun.

Dari Jakarta saya menuju Jogja, tempat mertua. Di sana baru ada ibu mertua dan kakak ipar saya yang tiga minggu sebelumnya telah melahirkan anak keduanya. Bapak mertua, adik dan kakak ipar belum pulang. Mereka masih di tempat kerja masing-masing, di luar kota. Altof, keponakan pertama dari istri, senantiasa menunggu kedatangan kami. Dia laki-laki campuran Jawa-Betawi. Umurnya empat tahun.

Di Jogja kami tak sempat bepergian. Saya malas keluar siang bolong. Cuacanya sangat panas. Udara terasa amat kering. Debu. Bikin mata cepat pedih. Sebelum Lebaran, saya hanya dua hari berada di Jogja.

Kamis (11/10) saya berangkat ke Kudus sendirian. Istri akan menyusul bareng mertua dan kakak ipar. Seperti biasa, mereka akan mampir ke rumah Kudus sebelum berangkat ke rumah mbah di Pati. Kami merayakan takbiran di Kudus.

Saya jarang sekali pulang rumah. Saya ingat tahun ini saya hanya pulang sekali. Ada suasana rindu dekat dengan orang tua, adik-adikku, dan juga kakek-nenek yang sudah menua. Proses ini menjadi sarana refleksi personal bagi saya. Betapa tidak berartinya saya bila tanpa mereka semua.

Ada tradisi rutin di keluarga kami yang telah berjalan sekira empat tahun. Sejak 2003 lalu, keluarga besar kami selalu bikin 'Halal bi Halal' bersama pada hari kedua Lebaran. Ada sekira 40 keluarga yang ikutan. Semua ini dari keluarga besar kakek buyut kami bernama Mbah Djasmin Partowikardjo. Mbah Djasmin ini seorang guru sekolah rakyat pada zaman Belanda.

Mbah Djasmin pernah punya kebun kelapa yang luas di kampung. Menurut Pak De Rusmanto, tiap pohon kelapa miliknya ditandai dengan nomor urut untuk memudahkan orang memetiknya. Jadi dia tahu kira-kira pohon kelapa mana yang akan dipanen pada hari ini, mana yang akan dipanen selanjutnya. Saya merupakan generasi keempat Mbah Djasmin.

Ada rencana dalam keluarga besar kami untuk membuat buku tentang Mbah Djasmin. Bagaimana kehidupannya, apa nilai-nilai yang dia pegang dalam menjalani kehidupan, bagaimana kondisi keluarga. Saya diminta untuk koordinator pembuatan buku ini. Saya akan dibantu beberapa sepupu untuk melakukan riset data, foto keluarga, maupun wawancara dengan mbah-mbah yang tak lain adalah anak Mbah Djasmin.

Halal bi Halal kali ini berlangsung di kediaman Om Suyatno. Dia suami Lik Retno, adik nomor empat dari almarhum Bapak saya. Acaranya ramai. Hidangannya enak. Ada lele, ayam goreng, urap. Yang paling laris es cendolnya. Betapa besarnya keluarga ini.

2 komentar:

Anonymous said...

wah asyik nih lebaran di kampung halaman...
taun ini qta belum bisa juga lebaran dikudus...

mampir kesini lagi untuk menjawab pertanyaan yang ada di sini soalnya dulu blogger belum ada layanan email follow up jadi gak tahu kalo dijawab...

yup saya orang kudus... istri demak
sekarang sedang merantau di Kuwait
dulu kuliah sekarang kerja istri masih s2...salam kenal

Wiwid said...

Aziz di Kuwait.

Saya sudah mampir ke blog dan multiply Anda yang menarik dan ramai. Saya pikir Anda termasuk orang beruntung bisa menjejakkan kaki di Kuwait bahkan sejak lima belas tahun lalu.

Rumah Anda di Kudus di daerah mana? Apa masih sering pulang kampung? Dulu sempat sekolah di Kudus?

Salam buat keluarga dan si baby yang lucu banget.