Monday, January 28, 2008

"Indonesian Comfort Women"


Nasib ribuan mantan gadis penghibur--biasa disebut jugun ianfu--semasa pendudukan Jepang awal 1940an sampai sekarang masih terlunta-lunta. Mereka hidup menua, lelah, dengan raut muka yang redup namun bersemangat.

Para jugun tak memperoleh perhatian serius baik dari Pemerintah Jepang bahkan Pemerintah Indonesia sendiri. Banyak di antara mereka yang meninggal dalam kondisi yang mengenaskan.

Ini terlontar dalam diskusi film bulanan PSHK yang diselenggarakan Jumat (25/01) lalu. Kali ini kami menampilkan film berjudul 'Indonesian Comfort Women' yang disutradarai Lexy Rambadeta. Sebagai pembahas Reny Pasaribu, peneliti PSHK yang pernah meneliti korban-korban perkosaan di masa peperangan. Jugun ianfu jadi satu obyek riset Reny yang dikerjakan lima tahun lalu itu. Nonton bareng sore itu, dihadiri sepuluhan orang yang mayoritas perempuan.

"Sebenarnya Jepang telah memberikan bantuan, tapi itu diberikan kepada pemerintah. Bukan kepada korbannya secara langsung," kata Reny. Jepang memberikan berbagai kemudahan kredit buat Indonesia. Negara itu juga menempati peringkat teratas negara yang paling banyak menanamkan investasi.

Jepang ikut mendanai proyek-proyek besar macam pembangunan Jembatan Ampera di Palembang, Sumatera Selatan, meski tak ada catatan gadis-gadis belia di wilayah ini yang menjadi korban perbudakan seksual tentara Jepang, awal 1940an.

Reny mengatakan yang menjadi jugun ianfu tak cuma dari Indonesia, tapi juga negara-negara Asia lain yang dulu sempat diduduki tentara Jepang. "Paling banyak korban adalah Korea Selatan," katanya.

Hingga saat ini Pemerintah Jepang tidak pernah secara resmi meminta maaf atas kekejaman tentaranya dulu, meski kasus ini sudah jadi isu internasional. Memang, menurut Reny, PM Hasimoto pernah meminta maaf pada 1993, tapi tiga tahun kemudian permohonan maaf itu ditarik kembali.

Pada 1990an, sekelompok aktivis hak asasi manusia mengadakan semacam 'International Tribunal' untuk menghukum Jepang atas kasus jugun ianfu ini. Pengadilan ini merupakan pengadilan alternatif mengingat pengadilan baik di Jepang maupun di Indonesia telah gagal menghadirkan keadilan kepada korban. Banyak mantan jugun ianfu yang hadir di 'pengadilan' itu antara lain Mardiyem, ikon perjuangan jugun ianfu yang meninggal dunia akhir Desember lalu.

Bila tak ada komitmen negara yang jelas, tampaknya kasus jugun ianfu ini bakal berakhir seperti tragedi kemanusiaan lainnya yang terjadi di Indonesia: gelap hingga ujung waktu.


Note: photo taken from swaramuslim.com

0 komentar: