Sunday, January 27, 2008

Soeharto dan Perdebatan Kecil


Soeharto, mantan diktator dan penguasa 32 tahun Indonesia itu, Minggu (27/01) siang pukul 13.10 kemarin, meninggal dunia dalam usia 86 tahun. Jutaan orang menangis meratapi kepergiannya. Kematian jenderal besar itu seperti bergema hingga ke ujung dunia.

Tak ada acara khusus yang saya lakukan ketika mendengar Soeharto meninggal. Saya pertama kali mengetahuinya ketika menonton acara tivi. Pukul satu siang kemarin, saya masih menyaksikan program 'Sigi 30 Menit' di SCTV yang menyiarkan liputan mendalam tentang Ahmadiyah di Indonesia.

Saya sedang menunggu acara highlight sepakbola pukul 13.30. Saya sudah tak sabar menunggu rekaman-rekaman pertandingan bola yang berlangsung semalam. Ada banyak pertandingan yang tidak saya ikuti di liga-liga Eropa. Pukul 13.20 tivi-tivi mulai menyiarkan breaking news. Mereka menyiarkan bahwa Soeharto telah wafat beberapa menit sebelumnya.

Melihat laporan kematian Soeharto di tivi, saat itu saya berpikir acara yang saya tunggu-tunggu pasti tidak akan tayang. Ketendang oleh liputan langsung meninggalnya Soeharto di RS Pusat Pertamina. Dan prediksi saya itu benar adanya.

Saya terpaksa larut dalam detik-detik liputan tivi tentang kematian Soeharto. Mulai dari jumpa pers keluarga dan tim dokter kepresidenan, hingga pengangkutan jenasah dari rumah sakit menuju kediaman keluarga Soeharto, Jl. Cendana no. 8 Jakarta Pusat.

Saya simak acara itu sambil memperhatikan siapa saja yang hadir di rumah sakit maupun di Cendana. Dari situ kita tahu tentang relasi atau mungkin interes seseorang terhadap orang yang meninggal. George Junus Aditjondro pernah menggunakan metode unik ketika melakukan pelacakan dugaan korupsi seseorang. Dia melacak dengan cara mengumpulkan kartu ucapan belasungkawa seorang pejabat atau pengusaha. Dengan demikian bisa dilihat pola relasi antara yang meninggal dan yang berkirim ucapan.

Saya pakai hal itu ketika saya baca running text SCTV kemarin. Di text itu tertulis PT. Surya Citra Media Tbk, PT. Surya Citra Televisi, dan Elang Mahkota Teknologi mengucapkan belasungkawa atas wafatnya mantan Presiden Soeharto. Ya, kira-kira seperti itu bunyi teks berjalannya. Apa hubungan perusahaan pertama, kedua dengan perusahaan ketiga? Apakah ia tidak memiliki hubungan sama sekali? Kalau tidak punya, mengapa mengucapkan belasungkawa secara bersama-sama?

Saya hanya tersenyum kecil karena saya tahu relasi ketiganya. Mereka adalah satu pemilik yang sekarang mengontrol tivi swasta kedua di Indonesia itu.

Jenasah Soeharto disemayamkan di Cendana ketika hari sudah beringsut sore. Kalau tak salah sekitar pukul 15.00. Di rumah saya, cuaca mendung diselingi hujan. Sampai saat itu, tak ada pesen pendek atau telpon yang saya terima tentang kematian Soeharto. Tivi menjadi sumber informasi utama saya saat itu.

Dalam keheningan di rumah, saya tertidur. Saya biarkan tivi menyala. Tidur saya tidak nyenyak. Kadang tidur, tapi sering bangun memperhatikan perkembangan informasi di tivi.

Sekira pukul empat sore telpon berbunyi. Ibuk menelpon dari Kudus menanyakan kabar. Saat itu saya sedang menyapu, membersihkan teras yang basah kena percikan air hujan. "Jangan lupa doakan," kata Ibuk saya tanpa menyebut nama siapa yang perlu didoakan. "Kalau bukan karena dia, aku gak bisa menyekolahkan kamu."

Awalnya saya pikir Ibuk suruh mendoakan almarhum Bapak tapi setelah saya perhatikan saya jadi paham yang dia maksud adalah Soeharto. Saya diam sambil mengalihkan pembicaraan.

Ibuk saya seorang guru sekolah dasar di kampung. Dia merasa Soeharto adalah segala-galanya. Dia presiden yang berwibawa, karismatik. Yang menjadi nilai plus Soeharto di mata Ibuk saya adalah dia orang yang stabil menjaga kondisi sosial ekonomi. Harga barang-barang pokok, di masa pemerintahan Soeharto, sangat terjangkau masyarakat banyak. Rakyat saat itu dimanja dengan pelbagai macam subsidi negara. Politik dikekang. Gaji pegawai negeri sangat kecil dan disunat untuk yayasan-yayasan pimpinan Soeharto.

Di masa Orde Baru hanya dibolehkan secara formal ada dua partai dan satu Golongan Karya (Golkar). Jika ditelisik lebih jauh dua partai di luar Golkar itu hanya asesoris politik untuk tidak mengatakan hanya ada satu kendaraan politik yang hidup di masa Orde Baru.

Praktek-praktek mobilisasi suara yang dipraktekkan Soeharto semasa Orde Baru dilakukan dengan jalan memaksa birokrasi dan pegawai negeri untuk memilih Golkar sebagai wadah tunggal aspirasi mereka. Ini adalah pilar-pilar kekuasaan yang digunakan Soeharto, tentu selain tentara yang menindas. Tiga pilar ini membentuk apa yang disebut banyak pengamat sebagai segitiga ABG (ABRI-Birokrasi-Golkar). Saya kira Ibuk saya termasuk korban mobilisasi itu.

Saya jadi teringat sebuah perdebatan kecil dalam keluarga kami sekira sembilan tahun silam, persisnya saat pemilihan umum 1999. Saat itu Soeharto sudah mundur dan partai politik peserta pemilu bertambah enam belas kali lipat dari jumlah partai peserta pemilu sebelumya.

Saat itu, saya sudah punya hak suara. Almarhum Bapak saya, yang jadi sekretaris desa di kampung, mendapat tugas menjadi ketua panitia pemilihan suara tingkat desa. Saya, almarhum dan Ibuk makan bersama di ruang makan belakang. Naluri politik saya sudah meledak-ledak untuk mendukung Partai Keadilan, partai yang saya kenal dari jejaring teman sekolah.

Ibuk saya sembari makan terus mengingatkan tentang jasa-jasa Golkar kepada keluarga. Secara tidak langsung, dia menyarankan saya untuk mencoblos partai berlogo beringin itu. Saya menolak dengan sejumlah argumentasi. Almarhum Bapak, orang yang saya tahu tidak suka memaksakan kehendak, hanya diam. Dia sepertinya mengijinkan saya untuk berbeda pandangan dengan Ibuk saya. Saya merasa senang meski sebenarnya almarhum Bapak punya kuasa untuk memaksa saya. Tapi syukur itu tak dia lakukan.

Saya menghargai pendapat Ibuk meminta saya mendoakan Soeharto, tapi saya tetap lebih akan mendoakan almarhum Bapak ketimbang mantan presiden itu. Soeharto mungkin sudah terlalu banyak didoakan orang, tapi siapa yang akan mengenang Bapak saya bila dia hanya seorang carik dan petani kecil?


Caption: photo by Abror Rizky taken from www.kompas.com

1 komentar:

Ahmad Muhibullah said...

SOEHARTO ADALAH PEMBUNUH MAHASISWA.
SOEHARTO ADALAH PAHLAWAN KESIANGAN.