Tuesday, January 22, 2008

Jurnalisme Sastrawi

Janet Stelee, pengampu mata kuliah jurnalisme sastrawi di George Washington University, memberikan kopian laporan pendek Anthony Shadid dari Washington Post kepada peserta kursus jurnalisme sastrawi Pantau, termasuk saya, sebagai bahan bacaan. Judulnya A Boy Who was 'Like a Flower'. Isinya tentang tewasnya Arkan Daif, bocah 14 tahun akibat bom di Irak, akhir Maret 2003 silam.

Laporan Shadid ini terhitung cukup pendek: 1.578 kata. Hebatnya, pemenang Pulitzer Prize tahun 2004 untuk kategori International Reporting ini, mampu menyuguhkan rangkaian peristiwanya secara detail pada pembaca.

¨Coba perhatikan struktur dan dialognya,¨ kata Janet.

Shadid memulainya dengan adegan seorang penjaga masjid Imam Ali, Irak, yang sedang memandikan Arkan Daif untuk terakhir kalinya.

Dengan lap kain yang direndam air, penjaga masjid itu menyilangkan tangannya pada jenazah Daif yang meninggal tiga jam sebelumnya, tapi masih menampakkan sinar kehidupannya. Dia mengeringkan noda pecahan meriam mawar-merah yang mengenai lengan kanan dan pergelangan kaki kanan Daif dengan tenang. Kemudian sang penjaga masjid mengusap muka Daif yang berlumuran darah, meninggalkan sebuah lubang di belakang tengkoraknya.

Shadid baru memasukkan kutipan langsung narasumber dalam paragraf selanjutnya. ¨Apa dosa anak kecil ini? Apa yang telah mereka (tentara Amerika Serikat) lakukan?¨ kata Haider Kadhim, sang penjaga masjid itu.
Kutipannya memang pendek, tapi terkesan bukan kutipan biasa atau kutipan formal.

¨Kalau diperhatikan, narasumber ini dibiarkan mengeluarkan ekspresinya,¨ komentar Janet.

Kutipan singkat itu, oleh Shadid, digunakan sebagai engine atau mesin yang dapat menggerakkan emosi pembaca. Engine diperlukan untuk menaik-turunkan alur penulisan. Sehingga alur penulisan dalam jurnalisme kesastraan bergelombang. Tak datar, seperti straight news, meski sama-sama bisa berupa laporan pendek. Engine juga dapat digunakan untuk memikat pembaca.

Selanjutnya, dalam laporan itu, Shadid menceritakan bagaimana Daif sampai meninggal. Dalam straight news, dikenal dengan unsur how. Namun, how dalam jurnalisme sastrawi ini lebih luas menjadi narasi.

Diceritakannya, Daif terbunuh jam 11 siang, saat terjadi, seperti yang disebut saudaranya, ‘ledakan angkasa’. Bocah itu sedang menggali parit di depan pondok beton keluarganya yang digunakan sebagai tempat perlindungan selama terjadi pemboman yang berlangsung siang-malam.

Daif bekerja bersama Sabah Hassan, 16 tahun, dan Jalal Talib, 14 tahun. Meriam berwarna putih menumbangkan seluruh pohon yang ada. Tujuh bocah lainnya terluka.

Ledakan tak meninggalkan bekas kawah, dan penghuni tempat tinggal lingkungan Rahmaniya berusaha mencari dengan tepat sumber kerusakan. Beberapa saksi mata menegaskan mereka melihat sebuah pesawat terbang.
Narasi laporan Shadid belum selesai.

Ia masih menambahkannya dengan pendapat saudara-saudara Arkan Daif. Masih seputar narasi bagaimana Daif tewas terbunuh.

¨Siapa yang akan bertanggungjawab, kecuali Amerika?¨ kata Mohsin Hattab, paman Arkan Daif.

¨Perang ini adalah setan. Perang yang tidak adil,¨ kata Imad Hussein, seorang sopir yang juga paman Hassan. ¨Mereka (tentara Amerika Serikat) tak punya hak untuk memerangi kami. Hingga sekarang, kami hanya duduk di rumah, nyaman dan aman.¨

Sekali lagi, menurut saya, Shadid menyuguhkan dialog yang tak biasa. Untuk ini, Janet memberikan masukan, ¨biarkan narasumber mengatakan sesuatu menurut mereka sendiri. Bukan menurut kita.¨

Shadid pun menggunakan unsur jurnalisme sastrawi lainnya: melakukan konstruksi adegan per adegan. Itu dilakukan Shadid tatkala menggambarkan proses pemakaman jenazah Daif.

Shadid mengamati adegan Haider Kadhim, penjaga masjid, tatkala menyiapkan pemandian jenazah Daif di masjid.

Memandikannya di pemandian dengan warna jubin biru-kehijauan yang lembut, ruangannya hening, seperti bagaimana Haider memandikan jenazah Daif sampai selesai. Mereka membungkus kepalanya, menutupi mukanya dengan plastik merah dan kuning. Setelah itu, mereka menggulung jenazah dalam potongan plastik.

Kadhim bekerja dengan lembut, gerakannya adalah usaha untuk menghormati jenazah. Dia meletakkan jasad Daif di sampingnya dan membungkusnya dengan kain kafan, diperkuat dengan tambahan empat potong kain kafan. Dengan nafas yang terengah-engah, sejumlah orang berdoa berkomat-kamit. Mereka kemudian bergerak ke arah pelat beton dan mengangkat jasad Daif yang lemah ke dalam peti mati.

Saya sengaja tak menerjemahkan hingga akhir, karena unsur jurnalisme sastrawi telah termaktub.

Satu lagi laporan lebih pendek yang kental unsur jurnalisme sastrawinya adalah It’s an Honor karya Jimmy Breslin. Bercerita tentang tukang gali kubur mendiang Presiden AS John F. Kennedy yang mati dibunuh pada 22 November 1963.

It’s an Honor termasuk karya jurnalisme sastrawi klasik yang masih populer hingga sekarang. Bukan cerita tentang istri Kennedy, keluarganya, atau para elit Amerika saat itu. Melainkan cerita orang biasa, penggali kubur mendiang Kennedy, Clifton Pollard.

Diceritakan Breslin, Pollard sungguh senang berangkat kerja di hari Minggu saat ia bangun jam 9 pagi di apartemen berkamar tiga miliknya di Jalan Corcoran, dikenakannya pakaian lengkap sebelum pergi sarapan ke dapur. Istrinya, Nettie, membuat kukusan daging babi dan telur untuknya. Pollard tengah makan ketika ia menerima telepon dari Mazo Kawalchik, mandornya di pekuburan Arlington National Cemetery, tempatnya bekerja.

¨Polly, bisakah kamu ke mari pukul 11 pagi ini?¨ minta Kawalchik. ¨Aku tebak, kamu tahu alasannya untuk apa.¨ Pollard paham. Ia menutup telepon, menyelesaikan sarapannya, terus meninggalkan apartemennya, jadilah ia mengisi hari Minggu-nya untuk menggali kuburan untuk John Kennedy.

Ketika sampai di bengkel bercat kuning, tempat perlengkapan penggalian, Kawalchik dan Metzler, penjaga kuburan lainnya, sudah menunggu.

¨Maaf telah menyuruhmu seperti ini di hari Minggu,¨ kata Metzler.

¨Oh, jangan bilang seperti itu,¨ jawab Pollard. ¨Kenapa? Ini adalah sebuah penghargaan buatku berada di sini.¨

Pollard berdiri di belakang roda mesin penggali. Penggalian di Arlington tak dilakukan oleh manusia dan sekop saja. Mesin penggali adalah mesin lapangan dengan bucket kuning untuk menciduk tanah menghadap operator, yang letaknya tak jauh dan bekerja seperti derek. Di atas permukaan bukit di depan kuburan seorang pejuang tak dikenal, Pollard memulai menggali.

Dedaunan menutupi rerumputan. Ketika ujung sekop mesin penggali yang berwarna kuning ditancapkan ke tanah untuk pertama kali, dedaunan bikin suara menebah yang dapat terdengar di atas suara mesin. Ketika bucket mengangkat sekop berisi tanah untuk pertama kalinya, Metzler, penjaga kuburan, berjalan mendekat dan melihatnya.

¨Tanah yang bagus,¨ kata Metzler.

¨Saya akan menyimpan sedikit tanah ini,¨ kata Pollard. ¨Mesin penggali meninggalkan jejak di rerumputan dan aku akan menambalnya dengan mengambil tanah bagus di sekitar sini. Aku menginginkan segalanya, kamu tahu, agar terlihat bagus.¨

James Winners, penggali kubur lainnya, mengangguk. Dia bilang akan mengisi gerobak dengan tanah berkualitas ekstra, dan akan membawa tanah berumput untuk menambalnya.

¨Dia orang yang baik,¨ kata Pollard.

¨Ya,¨ kata Metzler.

¨Mereka akan segera datang ke mari untuk menguburkan jenazah Kennedy di kuburan yang aku buat ini,¨ kata Polard. ¨Kamu tahu, ini sebuah penghargaan bagiku untuk mengerjakan ini.¨

Sampai di sini, saya kira, Jimmy Breslin berhasil merekam tiap adegan tokoh yang sebenarnya juga adalah narasumbernya. Tokoh utamanya adalah penggali kubur, Clifton Pollard. Hampir tak ada satu adegan yang luput dari amatan Breslin.

Pun demikian, tatkala rombongan Jacqueline Kennedy, istri mendiang Kennedy, datang pukul 11.15 siang untuk upacara pemakaman jenazah suaminya, presiden Kennedy.

Breslin mengikuti Pollard yang memilih berdiri di bawah pohon menjauh dari para pelayat.

¨Saya berusaha melihat dari dekat pemakamannya,¨ kata Pollard. ¨Tapi, seorang tentara mengatakan saya tak bisa mendekat. Itu sebabnya saya hanya melihatnya dari sini, Pak. Tapi, saya pasti akan ke sana nanti. Setelah orang-orang kembali dan aku akan melihatnya. Seperti yang telah aku bilang, ini sebuah penghargaan.¨

Jurnalisme sastrawi berusaha mengenalkan teknik penulisan laporan yang memikat. Gerakan genre ini muncul di Amerika Serikat sekitar tahun 1973. Dipelopori oleh Tom Wolfe yang menerbitkan The New Journalism, antologi tulisan genre ini.

Di Indonesia, boleh dibilang, gerakan ini dipopulerkan oleh Pantau, lewat penerbitan majalah bulanan yang telah berhenti terbit pada Februari 2003, serta kursus jurnalisme sastrawi yang diadakan tiap semester. Saya mendapat kesempatan mengikuti kursus ini pada angkatan keenam Juni 2004 lalu.

¨Dunia suratkabar Indonesia, cepat atau lambat, akan lebih banyak menerangkan ketimbang sekadar menurunkan laporan hardnews. Dunia suratkabar Indonesia takkan mampu melayani publik dengan baik bila ia tak bisa tampil lebih dalam dari apa yang dilaporkan televisi atau internet,¨ alasan panitia.

Janet Steele adalah instruktur tetapnya. Kali ini didampingi oleh Andreas Harsono, alumnus Niemann Fellowship yang pernah dua semester mengambil mata kuliah narrative writing di Universitas Harvard.

Janet, perempuan rendah hati yang baik. Bahasa Indonesianya lumayan bagus. Ia memandu seminggu pertama. Enam sesi. Dalam tiap sesi, ia kerap menggunakan metode diskusi dengan peserta ketimbang searah.

Dengan duduk melingkar, kelas kursus bertambah akrab. Instruktur pun seperti tak ada jarak dengan para peserta yang hanya 14 dengan komposisi perempuan-laki-lakinya berimbang. Masing-masing tujuh. Pesertanya punya beragam latarbelakang: mahasiswa, jurnalis tetap, freelance, hingga redaktur. Dua orang dari Medan, satu dari Pontianak, tiga dari Jogjakarta. Seorang dari Semarang, dua asal Makassar, seorang dari Padang. Sisanya dari Jakarta.

¨Ada dua cara menulis laporan yang dapat digunakan untuk memikat pembaca,¨ kata Janet di sesi diskusi unsur-unsur jurnalisme sastrawi. ¨Pertama, gunakan engine atau mesin. Kedua, menekankan pada meaning atau arti bagi publik.¨

Seorang peserta mengatakan, susah membedakannya dengan feature. ¨Jurnalisme sastrawi dianggap terlalu melebih-lebihkan,¨ kata peserta lainnya. Terlebih dibilang bias. Seorang peserta bahkan mengeluh karena keterbatasan tempat.

Andreas Harsono dalam sesinya, minggu kedua, berusaha menjelaskan dari sisi yang lebih praktis. Ia mengenalkan struktur narasi yang jadi elemen wajib genre jurnalisme sastrawi. Bergelombang, dengan sebuah garis alur tegas yang berada di tengah-tengahnya.

¨Robert Vare mengatakan narasi ibarat gambar video. Ada perjalanan waktunya,¨ katanya. Robert Vare adalah mantan redaktur The New Yorker yang pernah menerbitkan laporan Hiroshima tahun 1946 yang populer itu.

¨Narasi ibarat kita memegang kamera video berjalan. Strukturnya sama dengan penulisan drama tiga babak. Ada pembukaan, klimaks dan penutup,¨ katanya.
Ini yang membedakan genre ini dengan straight news atau feature sekalipun.
¨Menurut Robert Vare,¨ lanjut Andreas, ¨ada tujuh pertimbangan dalam membuat narasi: fakta, konflik, karakter (tokoh), akses, emosi, perjalanan dan kebaruan.¨

Anthony Shadid dan Jimmy Breslin, telah menerapkannya. Meski laporannya terhitung pendek.


Tulisan ini pernah dimuat di majalah HIMMAH Oktober 2005, dengan judul awal Sastrawi nan Memikat.

0 komentar: