Tuesday, January 22, 2008

Sampah Masyarakat

Hari Minggu lalu, warga di lingkungan kami, RT 13, seharusnya mengadakan kerja bakti membongkar tempat sampah. Keberadaan bak sampah di tengah permukiman dinilai warga sangat mengganggu. Bak itu terbuka dan menimbulkan bau tak sedap, belatung yang berkeliaran. Terlebih kalau datang hujan, bak tersebut agaknya menjadi tempat pesta pora lalat-lalat hijau.

Secara geografis, bak itu terletak di wilayah RT kami. Namun posisinya berada di tiga jalur lalu-lintas yang sering dilalui warga sehingga yang membuang sampah di situ tak cuma warga komplek kami. Adakalanya sebagian masyarakat Kalisari buang sampah di situ. Begitu juga warga Villa Kalisari yang berada di seberang bak sampah. Sering kami lihat orang yang tak kami kenal melempar satu dua bungkus plastik yang tentu isinya
sampah.

Memang tiap dua kali seminggu sampah-sampah diangkut truk dinas kebersihan. Tapi saking banyaknya orang membuang sampah di situ, timbunan tak sebanding dengan volume sampah yang diangkut. Bila Senin truk datang, maka bisa dipastikan Rabu atau paling tidak Kamis, sampah sudah menggunung kembali. Bahkan jumlahnya bisa lebih banyak dari yang diangkut truk pada keesokan harinya. Artinya sedikit demi sedikit timbunan itu makin banyak dan sangat kecil kemungkinan truk mampu mengikis timbunan yang tersisa. Ini diperparah lagi bila truk telat atau libur mengangkut.

Bila dicermati lebih jauh, sampah ini merupakan masalah khas kota-kota besar di negara berkembang. Saya lebih dari lima belas tahun tinggal di kampung tak pernah secara serius mendengar, melihat, atau menyaksikan sendiri sampah jadi masalah yang pelik. Intinya, saya kira, orang kampung lebih bijak dalam menangani sa
mpah. Rumah di kampung, setidaknya di desa saya, selalu menyisakan ruang untuk membuang atau membakar sampah rumah tangganya sendiri. Kalau tidak di halaman, biasanya di belakang rumah.

Di rumah Kudus, keluarga kami selalu mengumpulkan sampah di pojok halaman depan. Kami mengumpulkan sampah di situ, lalu kami bakar. Di rumah Jogja, sampah dikumpulkan di bis ukuran setengah meter yang terletak di belakang rumah. Bis ini adonan semen dan material yang biasa dipakai untuk dinding sumur.

Saya baru satu setengah tahun tinggal di Depok, namun tiap kali kami berbincang dengan tetangga, soal sampah seperti tidak pernah lepas dari obrolan kami. Kadang kami saling mengumpat bila melihat bungkusan sampah hanyut di sungai depan rumah kami. Kami berpikir bagaimana nasib daerah hilir, bila orang seenaknya buang sampah di sungai? Di mana letak nurani orang terhadap nasib orang lain?

Depok, seperti halnya Bekasi dan Tangerang merupakan kota satelit Jakarta. Artinya seca
ra formal sepertinya ia otonom dari pusat tapi sebenarnya ia memiliki ketergantungan yang cukup besar—entah seperti saya dan ribuan orang lainnya yang tinggal di Depok bekerja di Jakarta. Kota satelit tumbuh seiring dengan ketergantungannya itu.

Biasanya di kota-kota satelit tumbuh subur permukiman bagi kelas menengah bawah yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk membeli kemewahan yang ditawarkan di wilayah pusat. Kaum menengah bawah terlempar dari pusat karena modal ekonomi mereka yang terbatas.

Meski begitu di kota-kota satelit, ada juga komplek permukiman elit. Biasanya permukiman ini diperuntukkan bagi kelas menengah atas yang ingin melepas jenuh, ingin mendapatkan suasana alami meski terkadang artifisial. Tak sedikit kaum elit ini menggunakannya untuk investasi jangka menengah.

Meski sama-sama bermukim di pinggiran, ada perbedaan alasan yang cukup mencolok antara kelas menengah atas dan menengah bawah. Kelas elit (menengah atas) tinggal di pinggiran cenderung untuk kebutuhan sekunder, lain halnya dengan kelas menengah bawah yang lebih menekankan pada kebutuhan primer untuk bermukim.

Seiring gelombang urbanisasi besar-besaran, baik ke pusat maupun kota-kota satelit, masalah sosial makin kentara, seperti soal sampah yang dihadapi warga kami. Hans-Dieter Evers, ahli sosiologi perkotaan dalam bukunya Urbanisme di Asia Tenggara, mencatat masalah khas lain yang dialami kota metropolitan adalah soal lalu-lintas atau transportasi. Sarana dan angkutan umum publik tidak mampu menampung arus besar-besaran kaum pekerja yang bermukim di kota pinggiran. Ruas-ruas jalan penuh dengan moda transportasi yang menggiring orang-orang ke pusat bisnis dan kekuasaan yang tidak lain adalah ko
ta pusat: Jakarta.

Orang mencatat bahwa Jakarta merupakan contoh sempurna dari model kekuasaan yang sentralistik. Segala macam urusan berpangkal di sini. Model sentralisme macam ini diterapkan secara sistematik oleh penguasa kolonial Belanda dulu. Dan sepertinya Jakarta cuma berganti nama dari Batavia. Ia reinkarnasi yang sempurna.

Kota pusat seperti Jakarta dalam bahasa Hans Dieter Evers—if I’m not mistake—mengandung tiga wajah sekaligus. Ia mewakili identitas-identitas internasional (global) yang ditandai dengan perkantoran lembaga bisnis atau kepentingan global. Kita bisa simak hal ini dengan hadirnya puluhan hypermarket atau kantor-kantor macam IMF, Bank Dunia, AusAid, Usaid, Unesco, Unicef, dan kedutaan besar.

Wajah kedua mewakili kepentingan nasional seperti dengan didirikannya istana negara, gedung parlemen pusat, atau markas tentara sebagai basis pertahanan negara.

Wajah berikutnya, dan ironisnya ini yang sering dilupakan dan ditafsirkan salah para politisi dan pengambil kebijakan, bahwa kota pusat ini mengandung juga identitas kelokalan. Ada soal etnisitas disana. Kita tidak bisa munafik bahwa Jakarta ini sebuah melting-pot, tempat berkumpulnya bermacam orang yang memiliki identitas yang berbeda-beda. Seperti saya orang Jawa, ada juga ipar saya orang Betawi, si Ole office boy PSHK orang Betawi, Aria Suyudi, direktur PSHK orang Tionghoa-Padang, Mbak Bibip orang Palembang-Sunda.

Namun semua itu akan berujung ke sampah. Tiap orang akan memproduksi sampah. Kantong belanja dari hypermarket-hypermarket mewah, gelas plastik penampung soda restoran cepat saji, kertas bekas dari kantor para pejabat bakal memenuhi bak-bak sampah. Seperti bak di komplek kami yang akan dibongkar Kamis ini yang penuh dengan sampah. Ya, sampah masyarakat.


0 komentar: