Sunday, March 16, 2008

Legal atau Legislative Drafting?

Dua minggu lalu saya mengikuti sebuah pelatihan perancangan perundang-undangan di Banda Aceh. Saya perhatikan label acaranya: pelatihan legal drafting, bukan legislative drafting. Menurut saya pemakaian istilah legal drafting ini kurang pas.

Kata legal berasal dari bahasa Inggris yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum".

Meski kadang kita menemukan padanan kata legal ini dengan kata law, namun sesungguhnya dua kata ini memiliki perbedaan jenis. Kata legal diartikan sebagai kata sifat, sedang law kata benda. Keduanya, kata legal dan law, sering juga diterjemahkan dengan hukum.

Terus apa beda istilah 'legal drafting' dengan 'legislative drafting'?

Saya kuliah di fakultas hukum. Salah satu mata kuliah pokoknya adalah 'legal drafting'. Saya ambil mata kuliah ini sekira semester delapan menjelang tugas akhir. Mata kuliah 'legal drafting' ini menjadi syarat untuk mengambil mata kuliah pilihan.

Saya ingat kelas ini diajar oleh Heru Suroso, sepertinya seorang dosen tamu di kampus. Dia mengajar tiap Selasa sore dengan mahasiswa rata-rata semester lama. Suroso mengajar kelas ini dengan metode satu arah. Mata kuliah ini teknis sekali.

Di mata kuliah 'legal drafting', Suroso memberikan kisi-kisi bagaimana membuat sebuah peraturan perundang-undangan. Bagaimana menulis konstitusi atau undang-undang yang diamandemen. Ini berbeda teknis penulisannya dengan aturan yang baru sama sekali.

Dosen itu juga menerangkan isi dari konsiderans 'menimbang' atau 'mengingat' sebagai sebuah alasan sebuah peraturan dibuat. Di bagian 'mengingat' sistematika penulisannya harus urut dari jenis peraturan yang paling tinggi ke rendah. Tidak boleh keliru.

Saya saat itu tidak menyadari bahwa secara terminologis, nama mata kuliah 'legal drafting' itu kurang tepat. Legal drafting memiliki arti luas. Ia bisa dimaknai sebagai draft dokumen hukum macam surat perjanjian, kontrak, anggaran dasar, atau putusan hakim.

Begitu lulus, Maret 2005, saya langsung bekerja di PSHK sebagai redaktur jurnal. Organisasi ini sering memberikan pelatihan perancangan-perundang-undangan kepada anggota dewan atau staf perancang. Saya sesekali terlibat dalam acara beginian. Trainernya diambil dari para peneliti.

Pada 2005, PSHK memberikan pelatihan perancangan kepada beberapa fraksi DPR. Pelatihan diadakan di Hotel Aryaduta di Karawaci, Tangerang. Hotel ini luas dengan suasana yang menyenangkan. Kabarnya, hotel ini dimiliki oleh pengusaha warga negara Jerman.

Binziad Kadafi adalah salah satu trainer di pelatihan itu. Dia peneliti, dan juga ikut mendirikan PSHK pada 1998. Orangnya gemuk dan kalem. Gaya bicaranya tenang, tidak meledak-ledak.

Meski jadi trainer perancangan, namun sejatinya Kadafi konsen pada hukum pidana. Dia pernah menulis soal asas legalitas di jurnal JENTERA. Ia juga pernah menjadi koordinator riset advokat yang laporannya dibukukan dengan tajuk 'Advokat Indonesia Mencari Legitimasi'.

Kadafi memiliki pola makan yang konservatif. Ia kurang terbiasa dengan menu a la Barat seperti salad. Suatu saat kami pernah sarapan semeja di restoran Hotel Aryaduta. Kami mengobrol santai. Saya bertanya kepadanya mengapa PSHK memakai istilah 'legislative drafting', bukan 'legal drafting'?

Menurut Kadafi, istilah 'legislative drafting' itu terkait dengan fungsi legislasi dari dewan. Jadi ini soal perancangan peraturan perundang-undangan, bukan perancangan klausula kontrak atau perjanjian. Legislative drafting dengan demikian lebih spesifik dari legal drafting.

Saya rasa Kadafi benar. Kampus-kampus fakultas hukum yang masih menggunakan nama 'legal drafting' untuk mata kuliah perancangan peraturan perundang-undangan, perlu segera meralatnya dengan 'legislative drafting'. Agar nama sesuai dengan maknanya.

0 komentar: