Thursday, July 10, 2008

Lesson from the Ordinary People

Banyak pelajaran penting justru saya dapat dari orang di sekitar. Umumnya mereka bukan orang terpandang, bukan direktur sebuah perusahaan, tapi hanya orang biasa. Mereka mengajarkan saya tentang kerendahhatian dan tentang kesederhanaan.

Seorang tetangga rumah Depok, namanya Mas Pri, seorang bengkel mobil. Ia tinggal di sebuah bedeng sederhana yang disekat menjadi tiga ruangan. Di bedengnya yang berdinding seng bekas dan beratap asbes, Mas Priadi tiap hari bergelut dengan mobil rusak yang menjadi pasiennya. Entah soal mesin yang ngadat atau mempermak dan mengecat bodi mobil.

Priadi tinggal bersama dua orang anaknya yang mulai tumbuh besar dan seorang istri. Pekerjaan rutin kalau pagi menjelang adalah mengantar anak paling besar berangkat sekolah di Kalisari. Sekitar satu kilometer dari tempat tinggalnya itu. Sedang istrinya, kebagian tugas mencuci dan memasak. Kadang juga mengantar anaknya yang kecil.

Hidup di bedeng beralas keramik tentu bukan pengharapannya. Dia memiliki keinginan yang tak mustahil mampu dia wujudkan dalam waktu lama. Dia pernah bilang jika kelak anak sulungnya sudah masuk SMA, dia akan bikin rumah permanen. Tentu dengan status kepemilikan sendiri sementara bedengnya yang tampak reot itu masih mengontrak kepunyaan orang. Sekarang anaknya kalau tak salah sudah kelas enam sekolah dasar.

"Kalau sampai SMA saja nanti belum punya rumah sendiri, itu berarti warning," ujarnya suatu malam. Semangat keyakinan itu saya lihat mengiringi Mas Priadi bekerja. Tak ada jeda dirinya bongkar-pasang mesin ngadat. Keringat bercucuran tak dia hiraukan. Paling-paling cuma diseka tangan kirinya yang berlumuran oli bekas.

Kepada saya suatu malam, Mas Pri juga bercita-cita ingin memasukkan sulungnya itu ke sekolah menengah unggulan. Untuk mencapai hal ini, tentu ia tak main-main. Sebagai seorang ayah, Mas Pri juga punya bakat sebagai seorang pengajar. Bila malam tiba, pekerjaannya tak lagi mengutak-atik mesin tapi mengawasi anak-anaknya belajar. Mas Pri mengajari anaknya Bahasa Inggris. Katanya, materi yang diberikan guru sekolah tak selalu benar. Tentu saja sang anak dibuatnya setengah bingung antara mempercayai ayahnya atau mengikuti pendapat guru. Untuk itu, sebagai pengajar rumah Mas Priadi pernah menantang guru Bahasa Inggris anaknya berdebat.

Mas Priadi memang jago Bahasa Inggris. Saya mengetahui hal itu dari ceritanya sendiri maupun dari gaya bahasanya yang baik. Priadi muda dulu adalah seorang pemandu wisata di Bali. Di pulau seribu dewa itu dia membantu para turis yang hendak memahami sejarah atau cerita tertentu di sejumlah tempat keramat yang menjadi objek wisata di sana. Dan tak ada yang menyangka dia bertemu dengan gadis Kediri yang kelak dipersuntingnya jadi istri sekarang.

Kepiawaian berbahasa Inggris, gesit, terampil, suka menolong, dan mau hidup sederhana tampak menjadi pilihan utama istrinya ketika mereka memutuskan menikah. Itu yang pernah disampaikan Mas Pri malam itu ketika kami menyusuri Komplek Departemen Pertahanan, kawasan Cimanggis.


1 komentar:

Unknown said...

Mas Wiwid,
Storynya cukup inspiratif, aku suka. Terkadang kita memang kurang bersyukur dengan apa yang dikasi Tuhan. Bukannya sujud terima kasih dan bersyukur, malah bersikap rasanya hari nggak sempurna kalau tidak ada keluhan yang keluar dari bibir. Mengenal orang orang seperti Mas Priadi tidak hanya belajar mengenai optimisme yang dipunyai Mas Priadi dan keluarga tapi buat aku lebih menjadi sarana pembelajaran buat kita menilai diri kita sendiri, seperti apa sih kita, apa yang sudah kita capai, apa artinya kita buat orang lain, apakah keluhan kita itu bener bener "penting" kalau bahasa gaulnya anak sekarang hehehe... Aku tunggu postingan selanjutnya ya mas....