Wednesday, July 23, 2008

Siaran Euro 2008 dan Konglomerasi TV


Memang pesta bola Eropa itu telah usai. Gegap gempita sang jawara sudah tak terdengar lagi. Meski demikian, perhelatan Euro 2008 lalu setidaknya meninggalkan sejumlah catatan dalam penyiarannya di Indonesia.

Pertama, antusiasme orang Indonesia pada tontonan Euro 2008 cukup tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa begitu banyak orang yang menggandrungi sepakbola. Apa pun kadang rela dilakukan oleh para penggila bola agar dapat menikmati tontonan kelas dunia. Kecintaan pada sepakbola, pada sebagian orang, konon melebihi kecintaan kepada pasangan.

Tingginya antusiasme pemirsa bisa terkonfirmasi melalui sebuah survei yang dikeluarkan AGB Nielsen Media Research, akhir bulan lalu. Sebut saja survei terhadap jumlah pemirsa laki-laki. Bila dibanding siaran yang sama 2004 lalu, jumlah pemirsa laki-laki dewasa (di atas 20 tahun) yang menonton Euro 2008, naik 128 persen!

Atau tengok survei perbandingan siaran Euro dengan tayangan reguler. Disebutkan dalam survei itu, penyiaran turnamen empat tahunan antarnegara Eropa itu, menyedot tambahan hampir tiga kali lipat pemirsa reguler!

Beberapa pertandingan bahkan mendapat audience share lebih dari 20 persen. Artinya, ia ditonton lebih dari seperlima jumlah pemirsa pada waktu yang bersamaan. Misalnya saja, Portugal vs Turki (22.8%), Belanda vs Italia (24.6%), Swiss vs Portugal (28.7%), Yunani vs Spanyol (39%), Austria vs Jerman (40%), dan yang paling tinggi Perancis vs Italia (50.9%).

Tingginya tingkat kepemirsaan ini sangat dimungkinkan karena waktu penayangan siaran Euro pada malam jelang dinihari. Ini adalah jam tidur waktu Indonesia. Pada jam-jam tersebut tentu jumlah pemirsa TV sangat sedikit bila dibandingkan dengan jam-jam prime-time.

Kedua, apa makna angka-angka itu buat konglomerasi TV dan juga buat publik? Sepintas hasil survei hanyalah deretan angka di permukaan. Namun setidaknya bila kita lihat lebih dalam, ia mewakili sebuah gambaran yang hanya mendatangkan untung segelintir orang.

Di Indonesia saat ini, industri TV dimiliki oleh beberapa konglomerat saja yang umumnya sangat dekat dengan penguasa. Penguasa menjalin hubungan saling menguntungkan dengan pemilik TV karena peran TV sangatlah strategis. Lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia mengandalkan TV sebagai sumber informasi utama ketimbang radio, suratkabar, majalah, atau internet. TV dengan demikian menjadi sarana efektif untuk membentuk citra politik penguasa.

Sementara pengusaha, di dalamnya juga pemilik TV, memerlukan koneksi dengan penguasa untuk menjamin stabilitas kelangsungan usahanya. Hubungan pemilik TV dengan penguasa, dengan demikian, adalah hubungan mutualisme alias saling menguntungkan. Klop!

Publik pemirsa dinomorsekiankan. Relasi macam ini mudah dipahami tapi perlu dikritisi. Bila kita menilik sejarah, kita tahu, industri TV muncul tidak atas disain strategi demi kepentingan publik. Namun industri ini lahir dari rahim penguasa yang lebih mempertimbangkan kepentingan bisnis dan politik anak-anak Soeharto. RCTI sejak lahir dimiliki oleh Bambang Triatmodjo, SCTV senantiasa dikontrol oleh Siti Hediati atau Titiek, sedang TPI muncul lebih pada permintaan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut. Begitu pula para kroni Soeharto juga mengontrol stasiun-stasiun TV lainnya.

Ketika Soeharto mundur pada Mei 1998, struktur konglomerasi agak bergoyang meski tak sampai hancur berantakan. Anak-anak Soeharto mulai agak menjauhkan diri sementara waktu dari dunia bisnis meski hal itu terlihat sebagai bagian dari strategi mempertahankan kekuasaan. Kontrol atas TV diserahkan kepada para fund manager yang relatif berjarak dengan Soeharto. Mereka para kroni baru yang bertugas mengubah citra buruk bisnis-bisnis Cendana.

Di tangan para konglomerat baru inilah, sejumlah perusahaan Keluarga Cendana, termasuk bisnis mereka di sektor TV, melakukan ekspansi. Hary Tanoesoedibjo, seorang taipan Tionghoa asal Surabaya berkongsi dengan Bambang Tri menjalankan Grup Bimantara, yang dua tahun lalu berubah menjadi Global Mediacom, di bawah naungan Bhakti Investama. Perpaduan keduanya saat ini mengontrol sejumlah majalah, suratkabar, jaringan radio dan tiga stasiun TV yakni RCTI, Global TV, dan TPI. Khusus untuk sektor media, Global Mediacom menampungnya dalam satu holding-company tersendiri dengan nama Media Nusantara Citra (MNC).

MNC tampaknya sadar melihat besarnya penggila bola di Indonesia sebagai pasar potensial TV. Tampaknya antusiasme yang tinggi masyarakat sepakbola Indonesia itu menjadi pertimbangan utama MNC (bukan TPI, RCTI, atau Global TV secara sendiri-sendiri) berani mengeluarkan sekira Rp 120 miliar guna membeli hak siar Euro lalu. Pertimbangannya selalu saja soal duit, duit, dan duit.

Antusiasme pemirsa yang tinggi tentu merupakan lahan basah untuk meraup iklan dan sponsorship. Menurut majalah SWA tak kurang dari tujuh perusahaan yang antusias beriklan selama Euro 2008. Ada Dji Sam Soe, McDonald's, Indosat, Roncar, Extra Joss, Djarum Super, dan sampo Clear. Bila satu perusahaan membayar Rp 20 miliar maka modal hak siar sudah kembali, demikian tulis majalah SWA. Ini belum ditambah dengan varian bisnis MNC berupa short message service (sms) premium yang mereka miliki lewat Infokom Elektrindo.

Tiadanya aturan hukum yang mengatur monopoli isi siaran membuat TV menjelma menjadi media berdagang para konglomerat. Prinsip demokrasi atas keberagaman isi siaran dicederai oleh kepentingan ekonomi-politik pemilik modal yang mengatur TV. Dari siaran Euro 2008 lalu kita dapat berkaca. Bila tak segera diperjelas dalam tataran operasional, tampaknya model-model siaran bersama akan terus berulang. Terlebih industri TV kini kian terlilit tali segelintir konglomerasi besar.

1 komentar:

Anonymous said...

Di negeri ini tak ada yang tahu cara berdagang gaya Malaysia kecuali MNC, tapi sayangnya dia juga keteter terus. Jangan kuwatir, uang tidak kenal ras atau batas negara...