Wednesday, January 17, 2007

Hendro Main ke Rumah

MINGGU pagi kemarin, saya menerima pesan singkat yang agak mengejutkan. Sang pengirim menanyakan kabar dan minta alamat rumah saya. Saya tercenung sebentar, tidak kuatir. Pengirim tersebut teman saya dari kampung. Namanya Hendro Cahyo.

Di kampung, rumahnya tak jauh dari rumah saya. Dekat sekali. Paling bila dihitung sekitar 300 meter, seberang jalan. Waktu kecil kami tiap hari bertemu karena kami seperguruan mengaji di mushalla kampung. Pengasuhnya sama: Almarhum Mbah Haji Nur Ali.

Kami pun sempat satu kos di Jogja selama lima tahunan. Dia kuliah di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" milik sebuah yayasan tentara, saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Namanya teman, kami biasa saling bantu. Kadang saya pinjam motor, dia pinjam duit. Minta pulsa sampai komputer untuk bikin skripsi.

Dia lulus tak lama setelah saya wisuda, Maret 2005 lalu. Setelah saya pindah ke Jakarta sementara dia masih di Jogjakarta, praktis komunikasi langsung kami berkurang. Pernah dia kirim sms memberi kabar kalau dia sudah bekerja di sebuah penerbitan di Klaten dan ditempatkan di Padang selama dua bulan.

Sempat pula setahun lalu, Hendro ikut melayat ayah saya. Sebagai sesama perantau kalau bertemu pasti ada saja yang kami bicarakan. Dan sekali waktu dia memang sudah berkeinginan ingin bekerja di Jakarta tinggal di tempat tunangannya.

Sampai datanglah pesan singkatnya Minggu kemarin. Dia bertanya alamat rumah saya. Arahnya mana bila dari ITC Kuningan? Berapa kilometer jaraknya?

Saya balas pesannya: "Dari Kngn lurus ke sahardjo tebet puter balik ambil arah Psr Mgg. Smp psr mgg lurus lwt underpass ke arah depok. Jlnnya pinggir rel. Smp pertigaan kelapa dua belok kiri arah rmh sakit brimob."

"Ok," balasnya. Saya akhirnya menunggu kedatangannya pagi itu.

Jam 2.30 siang, Hendro kirim sms bilang kalau dia sudah di depan rumah sakit "Bhayangkara Brimbo". Saya pun menjemputnya. Di depan rumah sakit, di bawah pepohon, Hendro duduk dengan tunangannya. "Aku mau sempat kelancor (saya tadi sempat kelewatan)," katanya. Dia naik Honda Tiger yang dibawanya dari Jogja.

Di rumah, kami pun mengobrol tanya kabar. Menurut ceritanya, dia sudah di Jakarta sejak setelah Lebaran lalu. Artinya, dia sudah tiga bulan di Batavia ini, tapi baru sekali ini bertemu. Sebuah proses yang penuh perhitungan bukan? Soal waktu, kesibukan, jarak. Terlebih konteks Batavia yang masyarakatnya kompleks. Jangankan sekarang, saya dengan Hendro, tak jarang kita dengar kalau ada seseorang meninggal, belum tentu tetangga rumahnya tahu.

Pertemuan siang saya dengan Hendro itu bisa jadi merupakan pertemuan anak kampung yang berpisah sementara waktu. Dan identitas sekampung ini yang menautkan saya dengan Hendro. Apa maknanya? Ia yang menjadi inti komunikasi kami. Keterkaitan pesan antar pelaku komunikasi.

Sampai jam 6 sore, kami berbincang perkembangan teman-teman, saudara di kampung, soal pekerjaan, sampai masalah persiapan resepsi. Istri saya duduk ikut mengobrol santai. Ditemani sirup strawberri, rambutan, crispi, dan biskuit kaleng.

Hendro dan Tari mau menikah.

0 komentar: