Sunday, January 14, 2007

Skripsi dan Hambatan Akademik

WEKA Swastika Swardhani, teman dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia mengirim email beberapa waktu lalu menanyakan apakah saya bisa membantu memikirkan skripsinya. Dengan nada kesal, Weka memuntahkan segala masalah yang sekarang dia hadapi.

Ide dasar skripsinya kira-kira adalah tinjauan psikologis dampak korban pembangunan Plasa Ambarrukmo Jogjakarta. Tempat ini dipilihnya karena relatif dekat. Di samping itu, pembangunan mal ini juga pernah diangkat di laporan utama majalah mahasiswa Himmah, tempatnya beraktivitas.

Temanya ini terbilang di luar mainstream pemikiran yang dikembangkan di almamaternya yang cenderung dominan dengan psikologi psikis individual.

Weka angkatan 2002 di kampusnya. Seingat saya, sudah dua tahun dia bergelut dengan skripsi ini. Tak ada perkembangan. Dalam email terakhirnya, dia mengatakan bahwa dosen pembimbingnya tidak memahami tema yang diajukan. Akibatnya, tema yang diajukan belum kunjung disetujui. Nah loh!

Bagi saya ini hal aneh. Bagaimana seorang dosen ditunjuk untuk membimbing tugas akhir, kalau tema yang dipilih tidak ia kuasai? Apa dasar penunjukan dosen pembimbing? Bukankah ini justru berakibat negatif bagi peserta didik? Bayangkan dalam dua tahun berjibaku ini, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Apa yang seharusnya sudah bisa dikerjakan oleh orang macam Weka?

Saya menyusuri remang-remang memori terkait dengan kasus Weka ini. Saya secara pribadi juga mengalami hal sama, meski lain persoalan. Saya mengambil tema aspek kebebasan informasi dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di kampus kami yang berlabel "Islam" mensyaratkan tiap tugas akhir harus terkait dengan masalah "Islam".

Ini diindikasikan tiap ujian skripsi, perlu dijelaskan argumentasi keterkaitan tema yang bersangkutan dengan Islam. Tiap peserta didik juga ditanya baca tulis Al-Quran, (sarat yang menurut saya, kurang relevan). Jika tidak bisa menjawab, --selain tidak menguasai tema--maka siap-siap mendapat nilai tidak sempurna.

Ada satu lagi contoh serupa di kalangan pegiat majalah kampus Himmah. Yakni sahabat saya, Anugerah Perkasa, yang sekarang sudah bekerja di Bisnis Indonesia. Nugi juga merasakan bagaimana tugas akhir menjadi faktor penghambat aktivitas akademiknya. Sampai-sampai saya pada kesimpulan sementara kalau skripsi cenderung menjadi penghambat studi.

Sadar, tentu ini adalah kesimpulan minor. Saya belum riset secara mendetail. Namun setidaknya dalam konteks pegiat majalah mahasiswa Himmah, kesimpulan ini benar adanya.

***


BAHKAN dalam konteks lebih luas lagi, skripsi jstru jadi kerikil bagi rezim berkuasa. Bila ada pemikiran atau temanya sekalipun yang bertentangan dan kritis terhadap pola pikir yang dikembangkan rezim, yang bakal terjadi adalah pemberangusan. Rezim Soeharto dalam hal ini adalah jagonya. Ribuan buku kiri dilarang beredar. Disita. Diberangus. Komunisme dilarang diajarkan di sekolah-sekolah.

Tak terkecuali sebuah skripsi karya Iswandi dari Universitas Brawijaya Malang. Iswandi alumnus Fakultas Ilmu Administrasi tahun 1990an. Tugas akhirnya mengambil tema bukan komunisme melainkan bisnis militer. Semasa mahasiswa, Iswandi aktif di pers mahasiswa fakultas, Dianns.

Saya bertemu dengan Iswandi pada akhir 2001. Saya waktu itu mengikuti workshop jurnalisme sastrawi yang diadakan Dianns bekerjasama dengan Institut Studi Arus Informasi. Iswandi bertindak sebagai salah satu pemateri. Orangnya kalem, pendek, tubuhnya agak tambun.

Skripsi Iswandi mendeskripsikan bagaimana militer di masa Soeharto berbisnis. Tentara melakukannya lewat beberapa yayasan militer yang sampai sekarang masih banyak yang eksis. Macam Yayasan Eka Paksi milik tentara angkatan darat.

Skripsi Iswandi ini menimbulkan masalah bagi rezim yang saat itu sedang kuat-kuatnya. Ganjaran yang diterima, Iswandi tidak diluluskan. Skripsi itu dianggap tidak pernah ada. Meski demikian, karyanya akhirnya diterbitkan Rosdakarya Bandung pada 1998, begitu Soeharto jatuh. Judulnya "Bisnis Militer Orde Baru."

Saya beli buku bersampul hijau ini karena tertarik judulnya. Saya tidak tahu dimana buku tersebut berada sekarang. Sejak mobilitas Jakarta-Jogjakarta-Kudus yang saya lakukan awal 2005 lalu, saya tak ingat lagi buku ini terselip dimana.

Bila ditinjau dari aspek penghambat, mungkin banyak soeharto-soeharto kecil yang sekarang tampil di kampus. Siap memberangus, menolak pemikiran di luar mainstream, menghambat studi.

3 komentar:

Anonymous said...

Ass..
hai,lam kenal y mas.aq alumni psikologi uii 2003 niy.pas baca2 posting td,bener jg tuh.dosen seharusnya pny kompetensi dlm ngangkat tema skripsi mhsnya.tp setau aq siy,d uii tuh stp mhs yg ngajuin judul lgsg dtentuin k dosen mn yg memang pny kredibilitas tinggi dlm tema yg pngen qt angkat.so mbak wekanya jg kali yg 'bermasalah'.dah dpt kartu merah lum?d uii psikologi tuh,klo 1 thn judul yg qt angkat g kelar2,dia wajib dpt 'kartu merah' n ganti judul n otomatis ganti dosen.mgkn aja mbak weka dah ganti judul tp lum ganti dosen yg berkompeten. gud luck,salam y bwt mbak weka.kliatannya tau d sm mbak weka,jarang kekampus ni anak hihi..

Wiwid said...

Dyasandria yang baik..

Saya kurang tahu perkembangan skripsi Weka sekarang. Namun satu hal yang menjadi masalah dalam kasus Weka adalah mengapa dosen pembimbingnya tidak memahami psikologi sosial korban seperti tema yang diangkat dalam skripsinya? Saya tidak tahu siapa nama dosen itu, namun dari apa yang disampaikan Weka (saya yakin banyak mahasiswa mengalami hal sama) ini suatu kenyataan dimana banyak dosen tidak paham masalah skripsi yang dihadapi. Ini soal kemampuan sekaligus proses penunjukan dosen pembimbing.

Soal lain, saya tidak percaya orang yang rajin ke kampus secara otomatis ia akan lebih pandai dari orang yang jarang ke kampus. Anda tidak menyertakan aspek lingkungan dan 'jalanan' dalam membentuk pengetahuan dan pemikiran seseorang. Mau contoh? Ingat Iwan Fals dulunya bukan seorang sarjana musik, namun ia musisi jalanan.

Kampus menerapkan absensi ketat dengan kehadiran minimal 75 persen merupakan satu hal perlu dilihat dari sisi kritik. Kewajiban ini menunjukkan bahwa kampus menggunakan instrumen aturan yang sah untuk memaksa mahasiswa meramaikan kampus meski banyak mahasiswa sadar sebenarnya banyak sumber pengetahuan lain yang bisa mereka datangi selain kampus. Kampus semakin tertinggal dalam hal ini, oleh karenanya pimpinan kampus sebisa mungkin memaksa mahasiswa duduk manis di bangku kuliah.

Anonymous said...

terima kasih atas perhatian kawan-kawan (khususnya kawan-kawan himmah dan kang wiwid yang memberi kontribusi berarti untuk skripsi saya). sayang sekali baru sekarang saya menemukan tulisan ini (sebelumnya memang sudah saya cari-cari setelah mb tuti bercerita tentang tulisan ini).

skripsi saya sedang masuk ke bab 3, menentukan metode apa yang akan saya ambil untuk penelitian ini, sambil terus mengubah di sana-sini bab sebelumnya.

saya memang membuang waktu terlalu lama untuk skripsi ini, lebih karena masalah individu, yang kurang tangguh saat mengalami benturan pola pikir dengan dosen pembimbing. saya memang sudah mendapat kartu merah, tapi kasus saya memang anomali, judul ini masih bisa saya pertahankan. menurut saya birokrasi untuk mengganti judul ini bukan solusi kalau masalahnya adalah perbedaan mindstream. memang, dosen pembimbing saya kompeten untuk membimbing saya pada tema skripsi ini, dengan catatan, untuk parameter psikologi uii.

sebelumnya saya sempat berganti judul, tentang orientasi keagamaan mahasiswa uii. rencananya saya ingin mendapatkan informasi tentang orientasi keagamaan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia , bagaimana perannya dalam membentuk mindstream kehidupan beragama, dan bagaimana peran UII sebagai lembaga pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam pada hal tersebut. tetapi kebanyakan dosen tidak memahami maksud proposal dan presentasi saya. saya baru teringat, paradigma di kampus ini berbeda dengan paradigma yang saya pelajari dari himmah dan pengetahuan yang saya dapat dari luar. sejak kuliah akhir dan skripsi, saya memang jarang ke kampus kecuali ke perpustakann. apa ini jadi parameter baik-buruknya mahasiswa? ah, naif sekali.

setelah saya pikir ulang, penelitian tema tentang orientasi keagamaan tersebut akan melenceng jauh dari rancangan awal saya saat membaca penelitian-penelitian dosen-dosen yang 'ditawarkan': tentang keagamaan secara praksis dan ritual. kemudian saya berbalik pada judul awal.

penelitian tentang dampak psikologis pembangunan plaza ambarrukmo ini juga tidak seperti yang saya harapkan. sebelumnya saya berbicara tentang propaganda pembangunan yang membawa kesejahteraan dan kemajuan. saya membandingkan penelitian-penelitian dvelopmentalisme dengan penelitian dan teori dependensi. tapi rupanya antusiasme ini harus saya redam, karena sepertinya (tanpa mengurangi rasa hormat), pembimbing saya memiliki paradigma yang berbeda. penelitian dan teori di dalam psikologi yang saya temukan memang menganut teori developmentalisme. saya rasa, untuk kelancaran akademik, mau-tidak mau, saya beradaptasi saja untuk secepatnya meninggalkan kampus yang menurut saya, tidak mencerdaskan ini.

salam