Tuesday, March 27, 2007

Menjelang Berangkat ke Solo

Pada 7 Maret lalu, saya pergi ke Solo untuk mengikuti sebuah focused group discussion (FGD) yang akan diadakan keesokan harinya. Acara ini termasuk dalam rangkaian riset saya mengenai representasi dan partai politik.

Hari itu, saya akan berangkat siang pukul 14.00 waktu Jakarta. Saya akan berangkat bareng Rita Tambunan, koordinator riset. Sementara Antonio Prajasto berangkat malam hari.

Sedari pagi saya sudah siapkan pakaian ganti dan keperluan kecil lainnya di dalam ransel saya berwarna kuning berbalut hitam. Saya suka pakai ransel karena alasan praktis dan terkesan dandy. Saya memakai tas model begini sejak kelas 2 sekolah menengah atas, dan itu terbiasa sampai sekarang.

Ke Solo, saya hanya bawa baju satu stel saja karena memang cuma sehari di sana. Karena akan berangkat siang, saya pikir, saya masuk kantor dulu dan berangkat ke bandara habis makan siang. Seperti biasa dari rumah, saya dan istri, berangkat pukul 07.00 pagi dan mengantar dulu ke kantor istri di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat.

Belum sampai di Pecenongan, saya merasakan telepon genggam saya bergetar tanda ada telepon masuk. Saat itu tak saya angkat karena memang perjalanan tinggal sebentar lagi. Tanggung. Kalau memang penting, sang penelpon pasti akan menghubungi saya kembali.

Getar hand-phone berhenti sebelum saya sampai kantor istri. Tak berselang lama, telepon genggam merk Sony-Ericsson yang saya taruh di kantong celana kanan kembali bergetar. Saya sudah sampai depan kantor istri. Di layar tampak tertera inisial penelpon: My Ibuk. Dia adalah ibu mertua saya. Saya langsung angkat dan berbicara dengannya.

Suara Ibuk saat itu agak panik. Terkesan was-was. Dia menanyakan kabar dan posisi Diyat, adik ipar saya yang saat itu tinggal di rumah Depok. Ibuk menanyakan keberadaan Diyat karena kuatir. Pagi itu pukul 07.00, katanya, pesawat Garuda penerbangan Jakarta-Jogjakarta hangus terbakar di Bandara Adi Sutjipto Jogjakarta. Garuda merupakan maskapai penerbangan paling mahal dan dikenal luas sebagai maskapai terbaik di Indonesia.

Dari Ibuk lah saya pertama kali mendengar terbakarnya Garuda. Tak kurang dari 21 orang tewas dalam peristiwa naas itu. Termasuk di antaranya Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, mantan rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) periode 1986-1990. Prof. Koesnadi juga tercatat sebagai pendiri kehormatan PSHK, tempat saya bekerja sekarang, bersama almarhum Prof. Daniel S. Lev, indonesianis dari Universitas Washington Amerika Serikat.

Setelah peristiwa terbakarnya pesawat Garuda, publik pun sadar bahwa harga tiket mahal tak menjamin keselamatan penumpang. Buktinya kasus terbakarnya Garuda saat itu. Sebelumnya awal tahun ini, pesawat Adam Air jurusan Surabaya-Manado lenyap dan puing-puingnya ditemukan di perairan Sulawesi, Mandala terbakar di Medan pada 2005 lalu, Lion Air nyungsep ke kuburan di dekat Bandara Adi Sumarmo Solo tahun lalu. Munir pejuang hak asasi manusia mati diracun di Garuda, September 2004. Huhh!

Sepertinya yang ada sekarang tinggal berharap saja. Ini yang bikin saya repot dan sedikit kuatir di kala nyawa tak lagi bisa dijamin keselamatannya oleh yang berkuasa (bukan Yang Maha Kuasa).

Diselingi suasana sunyi khitmad, saya menikmati penerbangan Garuda dengan pikiran tegang. Penerbangan ke Solo memang sempat ditunda dua jam, dan syukur semuanya selamat.

0 komentar: