Wednesday, January 31, 2007

Perpisahan Camila Amalia

PERPISAHAN biasanya identik dengan keharuan, pesan dan kesan, dan sedikit perayaan. Ini terjadi Kamis siang ini saat pesta perpisahan Camila Amalia dengan kawan-kawan sekantor.

Camila Amalia, biasa kami panggil Lia, akan pindah bekerja di Bank Indonesia mulai bulan ini.

Perayaan diadakan secara sederhana dengan menggelar makan siang bareng. Nasi langgi dibungkus daun pisang. Isinya abon. Udang. Ayam. Telur dadar iris panjang. Sambel merah dan daun kemangi. Nikmat. Mak nyuss..

Bagi Lia, acara perpisahan ini bertepatan dengan setahun dia bekerja di PSHK. Selama masa itu, dia merasa mengalami masa-masa menyenangkan. Ada suasana kebersamaan. Kesederhanaan. Kehangatan. Tiga hal ini yang membuat berat untuk meninggalkan PSHK.

Dia berterima kasih kepada semua kawan-kawan kantor yang telah bekerja sama selama ini. "Buat Ronal, terima kasih dengan alunan musik dugemnya, meski sebenarnya saya tak begitu suka," kata Lia berkomentar soal Ronal, kawan sebelah meja kantornya. "Pun demikian buat semua. Ole, Pak Andi, Mas Danang, Mas Aria, Mbak Erni, Mas Wiwid, Mas Amin, Anna, Mas Ery yang lucu.

"Juga Mas Rival yang saya anggap sebagai kakak," kata Lia. Spontan ini disambut ger-geran oleh yang lain seolah ada yang janggal. Rival yang duduk paling ujung di sebelah tumpukan makanan, secara menggelikan mengambil satu kotak makanan lagi. "Biasa.. kakak, boleh tambah lagi dong," kata Rival.

***


LIA alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Orang tuanya juragan batik Pekalongan. Semasa kuliah, Lia aktif di sebuah penerbitan mahasiswa. Mengikuti training jurnalistik, meliput, dan menganalisis masalah-masalah hukum untuk media kampusnya.

Di PSHK, jabatannya peneliti. Selama setahun berkarir, ia sudah ikut memantau beberapa rancangan undang-undang seperti RUU Kebebasan Informasi Publik, RUU Kementrian Negara, dan RUU Pemerintahan Aceh.

Sebagai pemantau dia harus berjibaku di Senayan. Mencari dokumen, risalah, sampai membangun relasi dengan staf sekretariat. Pekerjaan ini memang tidak gampang. Tak jarang dia terbentur pada budaya birokrasi yang memandang dokumen sebagai rahasia negara yang tidak bisa diakses publik.

Dengan kondisi dan tiadanya jaminan hukum menyangkut kepastian akses informasi ini, perlu pintar-pintar mencari celah agar mendapat bahan yang dicari. Biasanya Lia melakukan kontak intensif dengan anggota parlemen, memanfaatkan koneksi atau staf kesekretariatan untuk menyiasatinya.

Memang tak semua birokrat punya watak tertutup. Ada juga birokrat yang gugup ketika berhadapan dengan aktivis macam Lia. Suatu saat, dia ditugaskan untuk mewawancarai seorang birokrat eselon 2 sebuah departemen untuk kepentingan riset PSHK. Dia mendatangi dengan santai instansi yang dituju. Setelah menyatakan maksudnya, Lia kemudian melanjutkan dengan mulai wawancara. Kaset sudah dipasang. Tape perekam dinyalakan. Klik. Wawancara pun mulai berjalan.

Saat itu dengan rileks, Lia mulai memancing informasi seputar apa yang ingin ia dapatkan. Namun birokrat tampaknya kurang tenang. Grogi seperti ketakutan. Ketika wawancara, sang birokrat memegang sebuah dokumen untuk bahan menjawab. Tangannya seperti gemetaran. Tanpa disadari... Uuupss. Lembaran dokumen yang dibawa birokrat terjatuh di lantai.

Lia tertawa kecil melihatnya.

"Masa dia biasa dialog dengan menteri, tapi begitu ketemu LSM birokrat itu langsung ciut dan grogi," kata Lia pada saya.

***


DI kantor kami, struktur organisasi terbagi dalam tiga direktorat: operasional, dokumentasi dan informasi, serta direktorat program. Ini merupakan pengembangan struktur yang diadakan setelah terpilihnya kembali Mbak Bibip sebagai direktur eksekutif PSHK. Sebelumnya, segregasi struktur hanya dibagi dalam dua bidang: peneliti dan non peneliti.

Direktorat operasional dikepalai oleh Eryanto Nugroho, master hukum lulusan Utrech University. Di bawahnya ada tiga divisi yang masing-masing dikepalai oleh manajer. Yakni divisi keuangan, umum, dan sumber daya manusia.

Sementara dalam direktorat dokumentasi dan informasi terdapat divisi penerbitan dan perpustakaan. Direktorat ini dipimpin Rival Ahmad. JENTERA yang saya tangani berada dalam divisi ini.

Aria Suyudi mengepalai direktorat program yang tugas intinya adalah menangani riset yang dikerjakan PSHK. Dia dulu wakil direktur eksekutif. Erni Setyowati, peneliti yang sudah bekerja tujuh tahunan untuk PSHK duduk sebagai deputi direktur. Lia, secara struktural berada dalam gerbong direktorat ini.

Di lembaga kami, ketiga direktorat tidak dipisahkan secara ketat. Penelitian tidak hanya dikerjakan oleh direktorat program meski semua bermuara di sini. Beberapa personel di luar direktorat program masih diperbolehkan terlibat dalam proyek riset. Ada kalanya juga, peneliti kami minta menulis di JENTERA yang berada di bawah divisi penerbitan.

Lia, misalnya. Dia pernah menulis soal kebebasan informasi publik kaitannya dengan kepentingan ekonomi-politik swasta. Dia menguraikan bagaimana sejatinya badan publik yang wajib menyediakan informasi tidak hanya dari kalangan pemerintah. Namun kalangan swasta juga perlu diterapkan.

Saya merasa kualitas tulisannya bagus. Alurnya jalan. Bahasanya populer. Analisisnya tajam. Saya waktu itu tak banyak melakukan editing. Saya berharap Lia akan tetap menulis seperti itu. Meski cuma di blog pribadi.

Wednesday, January 24, 2007

My Little Sister



YUYUN berbaju merah sedang duduk menunggu saya saat wisuda, Maret 2005 lalu. Dia adik saya paling kecil. Di sampingnya sepupunya, Buya. Sementara Todik, adik saya nomor dua, tidak kelihatan.

Monday, January 22, 2007

Eulogi Setahun Lalu

MENURUT jadwal, Jumat sore besok saya akan bertolak pulang ke Kudus. Kali ini saya sendirian karena istri masuk kantor Sabtu-nya. Saya akan berada di Kudus sampai Minggu sore. Hanya dua hari saja di sana.

Ini semua demi sebuah acara selamatan setahun meninggalnya ayah saya, M. Subiyanto. Beliau meninggal karena mendadak sakit pada sebuah pagi setahun lalu.

Beliau sudah lama mengidap penyakit semacam stroke ringan, namun itu tidak membuatnya sakit berat. Apalagi menyerempet maut. Dengan kondisi begitu, praktis bapak tidak bisa beraktivitas. Dia hanya makan, minum, nonton tivi, atau tiduran. Bapak masih saja bisa tertawa, sedih, meski kalau bicara tidak terlalu lancar.

Saat itu saya tidak punya firasat buruk apa pun. Saya sedang berada di Jakarta, tempat saya bekerja. Pukul 06.45, setahun lalu, telepon genggam saya tiba-tiba berdering. Di ujung sana, Lik Amin menanyakan kepada saya apa bisa pulang ke rumah sekarang?

Saya belum tahu maksudnya saat itu. Saya sedang berpikir apa saja yang harus saya kerjakan di kantor hari itu dan seminggu ke depan, jika saya pulang. Saya ingat, saya harus membantu menyiapkan sebuah training drafting untuk kantor.

"Kalau bisa segera," kata Lik Amin makin bikin saya penasaran. "Bapakmu sakit, semua saudara sudah pada kumpul di rumah." Ada apa ya? tanya saya dalam hati.

"Ya udah, kalau begitu ibu suruh telepon ke aku saja," pintaku ke Lik Amin.

"Tidak bisa, dia lagi nemenin bapakmu." Aku masih belum tahu persis apa yang terjadi di rumah.

Tak lama, Todik, adik saya nomor dua menelpon. "Mas, cepet pulang. Bapak sakit!" Saya jawab singkat: "Ya udah, aku cari kereta apa bus ntar." Saya sedang menduga, bapak sakit mendadak.

Pagi itu Jakarta diselimuti awan gelap. Gerimis mulai membesar. Namun kos saya masih lengang. Belum ada tanda-tanda teman kos yang bangun. Lalu saya pergi mandi. Saya meraung pelan di kamar mandi. Saya menangis mengingat bapak. Sebagai anak, saya merasa belum sempat membalas budinya.

Kepala saya pusing. Lapar tidak saya rasakan. Hujan tidak saya hiraukan. Saat itu, saya berpikir jika Tuhan memberi satu kesempatan dalam hidup, saya memohon diberi kesempatan bertemu dengan bapak untuk terakhir kalinya.

Namun, Tuhan tidak pernah mengabulkan permintaan saya itu. Tidak apa-apa. Semoga almarhum diterima di sisi-Nya. Itu saja. Tidak lebih.

Sunday, January 21, 2007

Hari Libur dan Dua Pesta Pernikahan

LIBUR minggu ini sepertinya tidak berlaku bagi saya dan istri. Biasanya kami santai di rumah, istirahat, mengurusi taman, menyapu, mengepel, atau masak besar, namun Sabtu-Minggu kemarin menjadi hari yang penuh aktivitas di luar rumah.

Sabtu pagi pukul 10, dari biasanya menyapu dan mengepel, kali ini kami harus pergi ke Lebak Bulus untuk menemui Dama, adik Henny teman kami semasa kuliah di Jogja. Dama mau mengasih barang titipan Henny sebagai kado perkawinan kami.

Sebenarnya sudah lama kami janji dengan Dama untuk bertemu, namun waktu saja yang kebetulan belum cocok. Kami berdua bekerja Senin sampai Jumat. Ditambah dua sabtu terakhir, istri saya masuk kerja dari pagi sampai sore. Dia sedang mengerjakan stock-opname barang di kantornya.

Sementara Dama, sehari-harinya kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat. Sabtu lalu kebetulan kalender merah. Libur. Kami pun janjian bertemu di Kentucky Fried Chicken bawah Carrefour Lebak Bulus. Pukul 11.15 kami bersua dan akhirnya makan siang bareng. Dama mengajak seorang teman kampusnya.

Henny menitipkan Dama sebuah kado tikar pandan khas buatan Pantai Cermin Medan buat kami. Henny pun mengirimkan sebuah surat dan foto pertunangannya. "Sudah lama aku nggak menerima surat begini, loh," kata istri saya.

Dengan Dama, istri saya mengobrol panjang lebar soal keluarganya dan pertunangan Henny. Henny memang teman dekat istri saya sejak kuliah. Mereka mengalami suka duka bersama. Pada awal 2004, mereka berdua mengadu nasib bareng di Jakarta, tinggal di gang senggol di sekitar Kramat. Pernah juga di Kalideres. Saya tahu karena ketika masih pacaran, istri saya rutin memberi kabar tiap hari.

Saat itu saya masih berjibaku kuliah di kampus. Dengan sms tiap hari, saya rasa Jakarta-Jogja seperti tak berjarak.

Dama juga menceritakan soal rencana pernikahan Henny tahun depan. Kami senang karena dengan rencana tersebut, berarti teman kami telah maju melangkah dalam hidup. Fase menikah. Dama juga saya kasih ancer-ancer rumah kami di Kelapa Dua. Yah, siapa tahu dia main ke rumah untuk sekadar jalan-jalan.

Pukul 13.00 kami pun berpisah. Siang itu, saya dan istri terjebak hujan disertai angin cukup kencang. Kami naik motor sehingga kami tidak berani nekat menerjang hujan. Kami menunggu di mall situ kurang lebih sejam setengah sebelum hujan benar-benar reda.

Pukul 14.30 kami dengan basah kuyup sampai di rumah.

***


MINGGU, 21 Januari sore pukul 16.30. Kami bersiap pergi ke pesta pernikahan dua tempat sekaligus. Pertama, pesta Natalia, teman kantor istri saya sedang yang kedua resepsi Mas Andreas-Sapariah. Waktu pestanya sama: 19.00-21.00. Namun tempatnya terpisah amat jauh.

Pesta Natalia berada di Wisma Angkasa Pura, Kemayoran Jakarta Pusat. Banyak orang yang hadir. Pakaian rapi. Wangi. Mewah. Kambing guling. Dimsum. Sup Jagung. Empek-empek. Di lokasi pesta, kami bertemu dengan Elly dan Sri, teman kantor istri. Mereka makan bareng. Saya cuma ambil sup jagung karena pertimbangan praktis.

Di Kemayoran kami hanya setengah jam. Itu sudah membuat saya ketar-ketir kuatir datang amat telat di resepsi Mas Andreas. Perjalanan Kemayoran ke Palmerah jauh. Kami mengebut lewat Pasar Baru ke perempatan Gajah Mada. Belok kiri lurus melewati Thamrin, menuju le lorong bawah Jalan Soedirman. Dari situ kami menuju ke barat ke arah Palmerah.

Sesampai di parkir Apartemen Permata Senayan, tempat resepsi Mas Andreas, sudah pukul 20.35. Saya merasa sudah sangat telat. Resepsi ini merupakan perayaan pernikahan mereka yang kedua, mengingat pesta sebelumnya mereka langsungkan di Pontianak, kota asal Sapariah.

Begitu masuk tempat pesta, kami pun disambut mempelai pria. Bagi saya pribadi, Mas Andreas ini lebih dari seorang teman. He is like my relatief than a friend. Saya merasa banyak berhutang budi dengannya.

Mas Andreas memberikan kesempatan kepada saya mengikuti kursus jurnalisme sastrawi, tinggal di apartemennya. Dia juga membantu saya mencarikan pekerjaan. Memberikan perhatian, masukan, dan semangat dalam hidup saya. Mengenalkan saya dengan banyak orang. Selalu mengingatkan untuk sabar. Rendah hati. Menulis bagus. Kursus Bahasa Inggris.

Tiap bertemu, tidak ada yang lain kecuali diskusi tentang apa pun. Mulai dari negara Indopahit, media yang tidak beres, rezim korup, pembunuhan rakyat sipil, nasionalisme, Aceh, sampai cerita tentang keluarga kami. Dia tempat saya bertanya, curhat, atau berkeluh kesah. Dia seperti dokumen berjalan.

Semalam, Mas Andreas mengenakan stelan jas hitam. Pakaiannya agak ketat mirip pakaian Jet Lee di film-film kung fu Hongkong. Sapariah mengenakan kebaya krem dengan kerudung yang serasi.

Pesta berlangsung ramai dan meriah. Di sana saya bertemu Mbak Indar, Artine Utomo, Esti, Nugi dan pasangannya, Eva, Fiqoh, Yani, Bintang, Imam, fotografer Iqbal, Buset, Fahri, Mbak Linda, Kang Agus dan Veby, Hendra, Turyanto, Andrie, dan teman-teman yang lain. Mereka orang-orang Pantau.

Saya merasa bahagia dengan pernikahan Mas Andreas dan Sapariah ini. Saya terharu. Kami pulang pukul 21.35. Tak ada kata-kata yang bisa terucap selain, "Selamat..selamat. Semoga Mas Andreas dan Sapariah bahagia. Sampai maut memisahkan..!"

Well..tak terasa, libur begitu singkat. Sekarang saya sudah di meja kerja.

Wednesday, January 17, 2007

Hendro Main ke Rumah

MINGGU pagi kemarin, saya menerima pesan singkat yang agak mengejutkan. Sang pengirim menanyakan kabar dan minta alamat rumah saya. Saya tercenung sebentar, tidak kuatir. Pengirim tersebut teman saya dari kampung. Namanya Hendro Cahyo.

Di kampung, rumahnya tak jauh dari rumah saya. Dekat sekali. Paling bila dihitung sekitar 300 meter, seberang jalan. Waktu kecil kami tiap hari bertemu karena kami seperguruan mengaji di mushalla kampung. Pengasuhnya sama: Almarhum Mbah Haji Nur Ali.

Kami pun sempat satu kos di Jogja selama lima tahunan. Dia kuliah di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" milik sebuah yayasan tentara, saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Namanya teman, kami biasa saling bantu. Kadang saya pinjam motor, dia pinjam duit. Minta pulsa sampai komputer untuk bikin skripsi.

Dia lulus tak lama setelah saya wisuda, Maret 2005 lalu. Setelah saya pindah ke Jakarta sementara dia masih di Jogjakarta, praktis komunikasi langsung kami berkurang. Pernah dia kirim sms memberi kabar kalau dia sudah bekerja di sebuah penerbitan di Klaten dan ditempatkan di Padang selama dua bulan.

Sempat pula setahun lalu, Hendro ikut melayat ayah saya. Sebagai sesama perantau kalau bertemu pasti ada saja yang kami bicarakan. Dan sekali waktu dia memang sudah berkeinginan ingin bekerja di Jakarta tinggal di tempat tunangannya.

Sampai datanglah pesan singkatnya Minggu kemarin. Dia bertanya alamat rumah saya. Arahnya mana bila dari ITC Kuningan? Berapa kilometer jaraknya?

Saya balas pesannya: "Dari Kngn lurus ke sahardjo tebet puter balik ambil arah Psr Mgg. Smp psr mgg lurus lwt underpass ke arah depok. Jlnnya pinggir rel. Smp pertigaan kelapa dua belok kiri arah rmh sakit brimob."

"Ok," balasnya. Saya akhirnya menunggu kedatangannya pagi itu.

Jam 2.30 siang, Hendro kirim sms bilang kalau dia sudah di depan rumah sakit "Bhayangkara Brimbo". Saya pun menjemputnya. Di depan rumah sakit, di bawah pepohon, Hendro duduk dengan tunangannya. "Aku mau sempat kelancor (saya tadi sempat kelewatan)," katanya. Dia naik Honda Tiger yang dibawanya dari Jogja.

Di rumah, kami pun mengobrol tanya kabar. Menurut ceritanya, dia sudah di Jakarta sejak setelah Lebaran lalu. Artinya, dia sudah tiga bulan di Batavia ini, tapi baru sekali ini bertemu. Sebuah proses yang penuh perhitungan bukan? Soal waktu, kesibukan, jarak. Terlebih konteks Batavia yang masyarakatnya kompleks. Jangankan sekarang, saya dengan Hendro, tak jarang kita dengar kalau ada seseorang meninggal, belum tentu tetangga rumahnya tahu.

Pertemuan siang saya dengan Hendro itu bisa jadi merupakan pertemuan anak kampung yang berpisah sementara waktu. Dan identitas sekampung ini yang menautkan saya dengan Hendro. Apa maknanya? Ia yang menjadi inti komunikasi kami. Keterkaitan pesan antar pelaku komunikasi.

Sampai jam 6 sore, kami berbincang perkembangan teman-teman, saudara di kampung, soal pekerjaan, sampai masalah persiapan resepsi. Istri saya duduk ikut mengobrol santai. Ditemani sirup strawberri, rambutan, crispi, dan biskuit kaleng.

Hendro dan Tari mau menikah.

Sunday, January 14, 2007

Skripsi dan Hambatan Akademik

WEKA Swastika Swardhani, teman dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia mengirim email beberapa waktu lalu menanyakan apakah saya bisa membantu memikirkan skripsinya. Dengan nada kesal, Weka memuntahkan segala masalah yang sekarang dia hadapi.

Ide dasar skripsinya kira-kira adalah tinjauan psikologis dampak korban pembangunan Plasa Ambarrukmo Jogjakarta. Tempat ini dipilihnya karena relatif dekat. Di samping itu, pembangunan mal ini juga pernah diangkat di laporan utama majalah mahasiswa Himmah, tempatnya beraktivitas.

Temanya ini terbilang di luar mainstream pemikiran yang dikembangkan di almamaternya yang cenderung dominan dengan psikologi psikis individual.

Weka angkatan 2002 di kampusnya. Seingat saya, sudah dua tahun dia bergelut dengan skripsi ini. Tak ada perkembangan. Dalam email terakhirnya, dia mengatakan bahwa dosen pembimbingnya tidak memahami tema yang diajukan. Akibatnya, tema yang diajukan belum kunjung disetujui. Nah loh!

Bagi saya ini hal aneh. Bagaimana seorang dosen ditunjuk untuk membimbing tugas akhir, kalau tema yang dipilih tidak ia kuasai? Apa dasar penunjukan dosen pembimbing? Bukankah ini justru berakibat negatif bagi peserta didik? Bayangkan dalam dua tahun berjibaku ini, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Apa yang seharusnya sudah bisa dikerjakan oleh orang macam Weka?

Saya menyusuri remang-remang memori terkait dengan kasus Weka ini. Saya secara pribadi juga mengalami hal sama, meski lain persoalan. Saya mengambil tema aspek kebebasan informasi dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di kampus kami yang berlabel "Islam" mensyaratkan tiap tugas akhir harus terkait dengan masalah "Islam".

Ini diindikasikan tiap ujian skripsi, perlu dijelaskan argumentasi keterkaitan tema yang bersangkutan dengan Islam. Tiap peserta didik juga ditanya baca tulis Al-Quran, (sarat yang menurut saya, kurang relevan). Jika tidak bisa menjawab, --selain tidak menguasai tema--maka siap-siap mendapat nilai tidak sempurna.

Ada satu lagi contoh serupa di kalangan pegiat majalah kampus Himmah. Yakni sahabat saya, Anugerah Perkasa, yang sekarang sudah bekerja di Bisnis Indonesia. Nugi juga merasakan bagaimana tugas akhir menjadi faktor penghambat aktivitas akademiknya. Sampai-sampai saya pada kesimpulan sementara kalau skripsi cenderung menjadi penghambat studi.

Sadar, tentu ini adalah kesimpulan minor. Saya belum riset secara mendetail. Namun setidaknya dalam konteks pegiat majalah mahasiswa Himmah, kesimpulan ini benar adanya.

***


BAHKAN dalam konteks lebih luas lagi, skripsi jstru jadi kerikil bagi rezim berkuasa. Bila ada pemikiran atau temanya sekalipun yang bertentangan dan kritis terhadap pola pikir yang dikembangkan rezim, yang bakal terjadi adalah pemberangusan. Rezim Soeharto dalam hal ini adalah jagonya. Ribuan buku kiri dilarang beredar. Disita. Diberangus. Komunisme dilarang diajarkan di sekolah-sekolah.

Tak terkecuali sebuah skripsi karya Iswandi dari Universitas Brawijaya Malang. Iswandi alumnus Fakultas Ilmu Administrasi tahun 1990an. Tugas akhirnya mengambil tema bukan komunisme melainkan bisnis militer. Semasa mahasiswa, Iswandi aktif di pers mahasiswa fakultas, Dianns.

Saya bertemu dengan Iswandi pada akhir 2001. Saya waktu itu mengikuti workshop jurnalisme sastrawi yang diadakan Dianns bekerjasama dengan Institut Studi Arus Informasi. Iswandi bertindak sebagai salah satu pemateri. Orangnya kalem, pendek, tubuhnya agak tambun.

Skripsi Iswandi mendeskripsikan bagaimana militer di masa Soeharto berbisnis. Tentara melakukannya lewat beberapa yayasan militer yang sampai sekarang masih banyak yang eksis. Macam Yayasan Eka Paksi milik tentara angkatan darat.

Skripsi Iswandi ini menimbulkan masalah bagi rezim yang saat itu sedang kuat-kuatnya. Ganjaran yang diterima, Iswandi tidak diluluskan. Skripsi itu dianggap tidak pernah ada. Meski demikian, karyanya akhirnya diterbitkan Rosdakarya Bandung pada 1998, begitu Soeharto jatuh. Judulnya "Bisnis Militer Orde Baru."

Saya beli buku bersampul hijau ini karena tertarik judulnya. Saya tidak tahu dimana buku tersebut berada sekarang. Sejak mobilitas Jakarta-Jogjakarta-Kudus yang saya lakukan awal 2005 lalu, saya tak ingat lagi buku ini terselip dimana.

Bila ditinjau dari aspek penghambat, mungkin banyak soeharto-soeharto kecil yang sekarang tampil di kampus. Siap memberangus, menolak pemikiran di luar mainstream, menghambat studi.

Wednesday, January 10, 2007

Edisi Permulaan

Saudara, Sahabat, Kawan...

Surat ini merupakan posting pertama saya di blog sederhana ini. Namanya juga edisi permulaan-cum-perkenalan. Saya tidak ingin menjual kecap, bermanis-manis untuk berebut jadi nomor satu, namun saya ingin berbagi cerita dengan Anda tentang apa pun. Urusan negara yang amburadul, hak asasi yang terus dilanggar, aparat yang gampang disuap, partai yang korup, media yang menginformasikan sampah. Huh!!

Saya memulai aktif posting hari ini bukan tanpa sebab. Ini hari kesebelas Januari. Ada yang spesial di hari ini. Bukan ulang tahun Indosiar milik taipan Salim, tapi bertepatan dengan ulang tahun istri saya, Dwi Setya Ningrum.

Saya dedikasikan ini sebagai salah satu kado ulang tahun pujaan hati saya.
Terima kasih.

WIWID