Sunday, May 6, 2007

Parpol dan Masalah Keterwakilan

pic: arsip-jatim

Hari-hari belakangan, publik berharap-harap cemas menunggu keluarnya draf Rancangan Undang-Undang bidang Politik, yang termasuk di antaranya RUU Partai Politik (Parpol). Rancangan ini ditujukan untuk mengganti UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

Inti rancangan mengarahkan sistem kepartaian kita pada sistem multipartai sederhana. Polemik pun muncul. Ada dua hal secara umum yang menyeruak, yakni pertama, adanya peningkatan syarat administratif pendirian partai dibanding ketentuan tahun 2002 lalu. Kedua, adanya penambahan syarat yang sama sekali baru tatkala akan mendirikan partai politik.

Yang termasuk dalam kategori pertama antara lain adanya peningkatan syarat dari awalnya 50 orang menjadi seratus orang. Sedang sebaran kepengurusan juga naik dari 50 persen jumlah provinsi, 50 persen kabupaten/kota yang di provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen kepengurusan di tingkat kecamatan menjadi 66 persen jumlah provinsi, 50 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan. Sementara yang termasuk syarat kategori kedua adalah keharusan menyetor dana sebesar Rp 5 miliar ke bank pemerintah sebagai deposit.

Yang menjadi pertanyaan apakah dengan penyederhanaan parpol, demokrasi akan berjalan dengan baik dan rakyat mendapatkan ketenangan secara politik? Dalam arti lain, apakah dengan banyaknya partai peserta pemilu menjadi masalah yang serius dalam kehidupan demokrasi? Bukankah Indonesia pernah mengalami masa-masa pemilu baik diikuti oleh partai politik yang hanya segelintir dan jumlah partai politik yang luar biasa besar? Tapi kenyataannya rakyat masih saja berkutat dalam penderitaan berkepanjangan. Benarkah parpol menjadi inti permasalahan demokrasi yang dihadapi Indonesia?

Representasi Politik

Perubahan sistem politik yang ada, dari sistem otoriter Soeharto ke masa transisi sekarang, bisa kita lihat secara sederhana dengan adanya peningkatan jumlah parpol. Namun ironis, hal ini tidak mengubah kondisi riil rakyat bawah. Bisa dikatakan parpol telah gagal memenuhi kewajibannya untuk menyerap dan mengagregasi kepentingan masyarakat. Hal demikian ini menandakan kita berada dalam situasi demokrasi yang defisit (democratic deficit).

Menurut Schugurensky (2004), defisit demokrasi tumbuh sejak kepercayaan publik terhadap politisi dan institusi politik menurun, banyak partai dan wakil rakyat (representative in democracy system) yang kehilangan hubungan dengan yang diwakili (represent).

Representasi pada akhirnya menjadi persoalan utama demokrasi yang sedang kita hadapi. Semakin tidak diakomodasinya persoalan representasi semakin besar masalah yang dihadapi demokrasi. Parpol sebagai salah satu institusi representasi telah secara sistematis dibajak oleh elite dan menjadikannya tidak representatif terhadap kepentingan rakyat banyak. Partai memang penting, namun kita harus realistis dengan mengatakan bahwa parpol yang ada sekarang merupakan bagian dari masalah keterwakilan.

Dalam konteks ini, ide menyederhanakan jumlah parpol lewat RUU Parpol, untuk sementara perlu dikritisi. Kita tidak perlu terjebak dalam romantisme masa lalu bahwa dengan jumlah partai sedikit kondisi sosial-politik lebih stabil, yang pada kenyataannya koruptif.

Yang harus dilakukan justru sebaliknya. Perlu bagi para pengambil kebijakan untuk membuka seluas-luasnya partisipasi rakyat dalam berpolitik. Bukan malah menutup rapat-rapat. Para pengambil kebijakan diharapkan mampu melihat hal ini secara jenial, bahwa dengan menutup pelan-pelan pintu partisipasi politik, maka demokrasi akan mati muda.

Saya mengutip sebuah survei yang diluncurkan pertengahan Maret oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang masalah representasi aspirasi pemilih sebagai bukti. Dalam hasil riset itu dinyatakan hanya 31 persen saja partai yang merepresentasikan kelas sosial pemilih. Sisanya mengatakan partai tidak representatif.

Ini merupakan realita empirik yang terjadi di masyarakat. Seyogianya, yang diperlukan untuk mengatur sistem kepartaian adalah bagaimana menjamin representasi itu hadir dalam kehidupan parpol. Antara lain mengatur kewajiban relasi intensif antara perwakilan (representative) dengan yang diwakili (represent). Atau mendemokratiskan parpol dengan semacam konvensi yang fair dimana orang di luar kepengurusan partai mempunyai kesempatan ikut bertanding.

Selain itu, perlu juga mengakomodasi secara nasional adanya parpol lokal seperti di Aceh. Langkah ini penting untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan daerah yang tidak terserap oleh parpol 'nasional' yang berpusat di Jakarta.

Sehingga partai menjadi representasi nyata kepentingan masyarakat, tidak malah membelenggu dan mengisolasinya.

(Widiyanto)
Redaktur Pelaksana Jurnal Hukum JENTERA PSHK. Tulisan ini pernah dimuat di suratkabar Jurnal Nasional pada Sabtu, 5 Mei 2007.

0 komentar: